Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- “Berapa orang jahat di dunia ini?” Tanyamu sambil melirik padaku.
Aku gelagapan dengan pertanyaan yang tak tertebak sebelumnya. Ini jenis ujian tak genting di saat tak penting. Makanya kujawab seenaknya saja. “Ada dua, jawabku sambil melihat mukanya yang matanya meneteskan air mata.”
“Dua? Tanyamu.” Kamu terdiam dan kembali meneruskan. “Kok dua. Siapa sajakah itu?”
“Yang berjanji hidup denganku dan memilih menikah dengan temanku; serta yang kedua, kamu.” Mendengar jawabanku, kamu melotot dan mendesir kaku, “kok aku?”
“Sebab, kamu mencintaiku tetapi tak pernah mengucapkannya padaku,” jawabku seenaknya saja sambil menyelonjorkan kaki yang kaku; rentangkan tangan yang pilu.
Bergetar mulutmu bergumam, “kamu ngawur dan asal berpuisi. Kamu seenaknya saja memfitnah, padahal fitnah lebih kejam dari pengkhianatan dan ciuman.”
Tiba-tiba, setelah bertrilyun detik bercakap, kamu menyanyi. Di depanku, di bawah gemuruhnya hati, di antara jagat galaksi, dan menuju keentahan yang mana yang tak ada dalam kitab suci.
Lirik lagu yang sering kudengar di Hummer mobilku berkumandang,
“Aku yang lemah tanpamu/ Aku yang rentan karena/ Cinta yang telah hilang/ Darimu yang mampu menyanjungku/
Selama mata terbuka/ Sampai jantung tak berdetak/ Selama itu pun aku mampu/ Untuk mengenangmu/ Darimu kutemukan hidupku/ Bagiku kaulah cinta sejati/
Bila yang tertulis untukku/ Adalah yang terbaik untukmu/ Kan kujadikan kau/ Kenangan yang terindah dalam hidupku/ Namun takkan mudah bagiku/ Meninggalkan jejak hidupku/ Yang telah terukir abadi/ Sebagai kenangan yang terindah/ Darimu kutemukan hidupku/ Bagiku kaulah cinta sejati/“
Mendengarnya menyanyi, aku terduduk; menangis terguguk; begitu kikuk walau tak ngantuk. Sebab, berjuta tahun lalu, kuberharap dia crank (menyempal). Tak romantis apalagi nostalgis. Tapi, kini hariku terbunuh oleh nyanyiannya yang sendu. Mengingatkanku pada kawan yang kini jadi presiden lugu dan lucu.
Ia yang hidup terjajah dalam desain besar ekonomi bersendikan neoliberalisme: menyembah pasar yang mentah bahkan busuk. Mendesain politiknya tidak deliberatif apalagi demokrasi subtantif. Cenderung moneycrazi. Desain hukumnya semakin membela oligarki, kartel dan begundal.
Desain tradisinya metropolis dan irasional kecuali minatnya pada industri lendir. Tidak berangkat dari akar-akar kejeniusan lokal. Desain agamanya psudo-fundamentalis. Bukan agama pembebasan yang membela si miskin dan marjinal.
Aku tidak minat pada cinta semu. Aku anti pada kecantikan palsu. Sebab, yang kuminati adalah pertarungan ide dan gagasan. Sehingga, aku horny dengan kecerdasan dan luasnya pengetahuan.
Jadi yang kutuju bukan polesan ataupun salon; bukan citra dan tipu-tipu belaka.
**
Hidup pada akhirnya hanya festival perjalanan yang sering tak terpahami kecuali setelah terlewati. Hidup memang berkonsekwensi pilihan dan perlawanan. Pilihan untuk menjalani dengan siapa dan perlawanan demi sekeping kebahagiaan.
The pursuit of happyness, kata ‘Paman Mamarika’.
Tapi, ada satu tesis yang sulit dilupa soal bahagia ini. Yaitu kalimat singkat dari Bob Dylan (1998), “kesuksesan bukanlah kunci dari kebahagiaan. Sebaliknya kebahagiaan adalah kunci dari kesuksesan. Bila kau menyintai apa yang kau lakukan dan merasa bahagia melakukannya, maka kau pasti sukses.”
Pertanyaannya adalah, “apakah kita mengerjakan yang kita cintai atau menyintai yang kita kerjakan.”
Lalu, kupeluk ia sambil berbisik lembut di kuping kanannya yang wangi bak kasturi, “kasih, hidup cuma sekali. Betapa bodohnya orang yang menjalani tanpa orang yang dicintainya. Betapa bodohnya orang yang mati tanpa di sisi orang yang mencintai dan dicintainya. Hidup cuma sekali. Ayok rayakan agar kita bahagia.”
Dan, bahagia itu sederhana: misalnya saat membaca surat cinta dari teman remaja yang kita taksir tapi tak sempat mengucapkannya; ternyata ia mengalami hal yang sama, cintanya tak sempat terkatakan karena dikejar mata pelajaran.
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).