Airin Calandra*
PIRAMIDA.ID- Terpaksa kuhentikan motor, di salah satu minimarket yang berjarak 1 km dari rumahku. Hujan disertai petir membuatku harus mengalah, untuk tidak memaksakan diri menembus lebatnya air yang dicurahkan Tuhan untuk umatnya sore menjelang malam ini.
Namun, tidak enak rasanya berteduh tanpa membeli apa-apa. Kuambil gelas kertas yang memang disediakan untuk menampung kopi instan, dari mesin otomatis yang disediakan pihak minimarket, untuk para pecinta kopi yang berbelanja di tempat itu.
Cappucino, pilihan utamaku. Kopi dengan campuran krim susu, ditambah dua cup kecil gua cair yang diberikan kasir, cukuplah menghangatkan tubuhku yang sedikit kebasahan tadi.
Hujan belum menampakkan tanda-tanda berhenti, justru debitnya semakin bertambah. Sementara, azan magrib telah berkumandang. Untung saja aku sedang tidak sholat. Sambil meminum sisa kopi dari kursi di dalam minimarket, aku mendengar samar kasir perempuan yang tadi melayaniku mengatakan banjir pada rekannya.
Aku melihat ke arah mereka kebingungan, karena dari arah depan tidak ada tanda-tanda air memasuki pintu minimarket.
“Air masuk dari belakang, Kak.” Sepertinya dia mengetahui kebingunganku.
Benar saja, air semakin banyak mengalir.
Bagaimana ini?
Segera kuhabiskan sisa kopi, lalu meminta ijin membawa kursi ke halaman minimarket dan kuletakkan di tempat kosong di belakang galon air dan tabung gas yang tersusun rapi.
Di sisi kiri, kulihat seekor kucing tidur di atas ganset merasa terusik dengan kehadiranku dan seorang pria yang baru datang untuk berteduh juga.
Kucing itu menghampiriku dan mengeong-ngeong, seakan sedang meminta sesuatu padaku.
“Laparkah?” tanyaku pada hewan comel berwarna hitam ke abu-abuan dengan ekor panjang, dan berjenis kelamin betina dengan perut sedikit buncit. Namanya binatang, sudah tentu dia hanya menjawabku dengan eongan.
Aku kembali masuk ke dalam minimarket, melewati genangan air untuk mencari makanan kucing. Terlebih dahulu kutanyakan, apakah ada kabel yang menjuntai ke bawah keoada salah satu karyawan sedang mengangkat kardus.
Setelah membayar makanan kucing tadi, aku pun menuangnya di lantai halaman yang belum terjamah air. Kucing itu makan dengan lahapnya. Setelah itu mengulurkan kepalanya seakan sedang mengucapkan terima kasih.
Tak cukup dengan aksinya itu, dia meletakkan tangan depannya ke pahaku. Aku tahu, dia ingin dibelai. Kuturuti maunya hingga beberapa saat.
Tiba-tiba saja, dia melompat ke pangkuanku, lalu ke atas tabung gas. Mengendus-endut, lalu melihatku dengan pandangan tajam sambil mengeong tak tentu.
Awalnya aku tidak begitu perhatian, tapi tingkahnya tidak mau berhenti. Aku jadi teringat sebuah peristiwa yang kebaca di media sosial, di mana seekor kucing menyelamatkan majikannya dari kebakaran hebat. Kata mereka, firasat kucing sangat tajam. Seketika bulu kudukku berdiri.
“Apakah akan terjadi kebakaran?” tanyaku pada kucing itu yang masih berdiri dan mengeong di atas tabung gas.
“Dari tabung gas, atau listrik?”
Kucing itu hanya mengeong.
Sudah kayak orang gila aku menanyainya, sementara pria yang tadi datang menatapku tegang, seakan dia juga cemas. Lalu pria itu pergi, menambah kecemasan dalam diriku.
Sudahlah, aku ikut pergi juga. Aku ingin memberi tahu karyawan minimarket, tapi ada ragu, karena bisa saja mereka akan menertawakanku.
Sudahlah, aku pulang saja.
Baru saja aku duduk di motor dan memasukan kunci, tiba-tiba listrik padam. Cepat-cepat kuhidupkan motor, yang penting pergi dari sini dan terhindar bahaya walau keadaan gelap gulita.
Lampu motorku, seakan tak mampu membelah gelapnya malam, yang ditambah mati lampu, kularikan pelan dari pada aku terjatuh atau lebih fatal lagi menabrak atau tertabrak.
Sesampainya di gerbang masuk komplek, ada peringatan bahwa air telah menggenangi jalan. Aku harus melewatinya, sebelum air bertambah tinggi. Untungnya rumahku agak ke atas, jika komplek bawah terendam kawasanku masih aman.
Aku pun menerobos air yang sudah melewati pijakan kaki motor matik gendutku.
Jangan mati, jangan mati, jangan mati.
Sepanjang jalan aku berharap mesin motor tidak mati. Hingga akhirnya sampai ke rumah dengan keadaan selamat.
Keesokan harinya, tidak ada kejadian apa-apa di minimarket itu. Namun aku bersyukur lekas pulang, karena jika lebih lama aku akan tidur di jalan karena air telah setinggi leher orang dewasa.
Penulis merupakan member di Komunitas Bisa Menulis.