Endang Rukmana*
PIRAMIDA.ID- “Kulitmu nampak sangat hijau dan glowing!” ucapmu, terkesima saat menatap sosoknya di layar kaca. Dia terlihat sangat lucu dan licin.
“Tentu saja, aku kan seekor katak!” ucapnya galak, membuatmu terkekeh geli.
“Ya ya, aku tahu kok perbedaan seekor kodok dan katak.”
“Jadi, sekarang kau benar-benar percaya, bahwa aku seekor katak?”
“Hmm, belum, tidak semudah itu.”
“Hah? Aku harus bagaimana lagi, Alfonso?” jerit Katak Betina itu.
“Bisa saja kamu menaruh katak itu di depan layar ponselmu, sementara kamu yang bersembunyi dan memegang ponselnya!” tuduhmu, diikuti seringai nakal.
“Tidak ada siapa-siapa di kamar ini, selain aku!”
“Aku tidak percaya, Maemunah!”
”Lalu maumu apa, Bambang?” geram Katak Betina, seraya menunjukkan gigi-gigi kecilnya. Berbeda dengan kodok yang benar-benar ompong, katak memang memiliki gigi.
“Aku mau kita bertemu!”
“Tapi untuk apa?”
“Untuk membuktikan apakah kau benar-benar seekor katak dan apakah kau benar-benar mencintaiku!”
“Aku memang mencintaimu, tapi kita tidak mungkin bersatu! Mengertilah, Alfonso!”
“Kenapa kau sepesimis itu tentang masa depan hubungan kita?”
“Arrgghhh…! Karena aku berbeda denganmu—aku seekor katak betina, bodoh!” hardiknya. Namun tentu saja hal semacam itu tidak akan membuatmu mengurungkan niat untuk menemuinya. Cinta memerlukan pembuktian dan cinta harus diperjuangkan! pekikmu di dada.
*
Kalau bukan karena dongeng sialan itu, mana mungkin kamu bisa jatuh cinta padanya? Sebuah dongeng tolol tentang seorang gadis yang mencium seekor katak jelmaan Sang Pangeran! Kamu berpikir itu juga akan berlaku sebaliknya, jika kamu tulus mencium seekor Katak Betina yang kamu kenal di facebook.
Pacaran online juga bukan perkara yang mudah buatmu, apa lagi di tengah maraknya kasus kejahatan dan drama online belakangan ini. Kamu sudah bisa membayangkan bully-an macam apa yang akan menghajarmu bertubi-tubi jika dirimu sampai terlibat percintaan online.
“Pacaran online itu sangat menyedihkan dan mengerikan! Bagaimana mungkin kau bisa jatuh cinta pada seseorang yang sama sekali tidak kau kenal di dunia nyata? Bagaimana jika dia menipumu? Bagaimana jika dia seorang pembunuh?” Kamu membaca kembali postingan tersebut. Bukan, itu bukanlah postingan temanmu ataupun seorang seleb medsos yang hobi nyinyir. Itu adalah postinganmu sendiri.
“Pasangan yang sehari-hari bersamamu saja bisa tergelincir dan oleng kesetiaannya. Apa lagi sekadar pacar online, yang cuma kangen-kangenan lewat chattingan saja? Jatuh cinta boleh, bodoh jangan!” tulismu lagi di dinding facebook-mu itu.
Berkali-kali kamu mengatakan pada dirimu sendiri untuk tidak akan pernah jatuh cinta pada seseorang dari sosmed. Namun kamu juga tahu, cinta datang bisa dari mana saja, tanpa perlu memberikan isyarat dan pertanda.
Namanya Dian Adinda, cukup indah untuk nama seekor Katak Betina. Kamu sebetulnya hampir yakin seratus persen bahwa Dian adalah seekor katak. Tentu saja karena selama kalian dua tahun berteman di facebook Dian hanya menggunakan sebuah foto Katak Betina yang sangat menyebalkan sekaligus menggemaskanmu itu.
“Jadi kamu tinggal di Rangkasbitung?”
“Ya, aku lahir dan besar di sini. Apa saja yang kau tahu tentang kotaku, Alfonso?”
“Rangkasbitung itu ibu kota Kabupaten Lebak, kan?”
“Betul. Lalu?”
“Aku pernah Study Tour ke Baduy Dalam saat SMA. Kami transit terlebih dahulu di Stasiun Kereta dan Terminal Rangkasbitung, sebelum melanjutkan perjalanan dengan mobil Elf menuju pintu masuk Ciboleger, Kecamatan Leuwidamar.”
“Yup, Baduy memang menjadi salah satu daya tarik daerah kami.”
“Selain itu aku pernah membaca buku Max Havelaar karya Mulatuli, kisahnya mengambil latar cerita Kabupaten Lebak di masa kolonialisme Belanda.”
“Namanya kami abadikan menjadi Jalan Multatuli. Bukan hanya itu, di sini juga dibangun Museum Multatuli dan “Perpustakaan Saidjah dan Adinda”. Nama aslinya Edward Douwes Dekker, dia seorang pejabat Hindia Belanda yang menaruh simpati pada nasib rakyat pribumi. Mereka bukan hanya menjadi korban kolonialisme, tapi juga keserakahan feodalisme pribumi.”
“Bagaimana menurutmu tentang kisah cinta Saidjah dan Adinda dalam buku tersebut? Kira-kira mereka pasangan yang nyata atau sekadar tokoh fiktif yang diciptakan Multatuli?”
“Saidjah dan Adinda terpisah karena keadaan yang sangat gila saat itu. Saidjah yang harus bekerja merantau ke kota, meninggalkan Adinda. Sementara Adinda yang berjanji menunggu kepulangan Saidjah terpaksa pergi mengikuti ayahnya bergabung dengan kelompok pemberontak. Mereka memang tidak bisa bersatu saat itu. Namun, aku sangat yakin, mereka akan bersatu di dimensi dan kehidupan yang lain.”
“Wow. Untuk seekor Katak Betina, kau cukup terpelajar!” pujimu, sayangnya itu tampak berlebihan.
“Heh, apa maksudmu?”
“Hah? Memangnya aku ngomong apa?”
“Kalau kau kagum aku pintar untuk ukuran seorang perempuan, berarti kau seorang misoginis! Kalau kau menekankan kekaguman karena aku seekor katak, berarti kau rasis! Speciesis! Mbelgedes!” balasnya berapi-api dengan membubuhkan selusin emoticon angry.
Awalnya gambar Katak Betina itu tampak sangat aneh. Namun seiring keakraban yang terjalin di antara kalian, kamu—entah apa yang merasukimu—merasa bahwa Katak Betina dalam gambar itu sangat cantik. Seekor katak dengan bibir bergincu, pita merah di atas kepala, sedang asyik mengulum sebuah lollipop.
Entah kenapa dan kapan awalnya, kamu merasa merinding dan bergairah setiap kali melihat gambar Katak Betina itu mengulum lollipop. Apa kata dunia, jika orang-orang sampai tahu, kamu kerap membayangkan dirimulah lollipop yang sedang dikulum itu. Mungkin ayahmu sendiri akan membubuhkan racun di makananmu, jika dia sampai mengetahui betapa kotor isi kepalamu.
“Itu benar gambar dirimu?” tanyamu melalui messenger, untuk yang kesekian kalinya.
“Tentu saja! Kenapa kau masih mempertanyakannya? Kau pikir aku pembohong?” balas Dian disertai emoticon marah.
“Hehehe. Maaf, aku hanya masih sedikit tidak percaya.”
“Kau hanya perlu mengimaninya, Alfonso! Percayalah pada setiap kata-kataku atau kau pergi saja dari hidupku!” tulis Dian, diakhiri dengan emoticon sebelah alis diangkat.
“Siapa memangnya, yang melukis dirimu?”
“Mamaku, dia sangat pandai melukis dan merajut!”
“Papaku seorang pengusaha kuliner, dia bukan hanya pandai memasak tapi juga menulis cerita. Aku sangat suka membaca tulisan-tulisannya, terutama jika itu tentang diriku. Hahaha.”
“Ya ya ya, tapi aku tak menanyakannya, Alfonso. Simpan saja informasi itu untuk dirimu. Nyahahaha…!” Tak puas, Dian menyertakan sebaris emoticon tertawa brutal, disertai air mata.
“Jahat sekali, kau, Maemunah. Dasar, Katak Penyihir!” balasmu, geram.
“Oh, tentu saja! Aku sangat jahat, dan berbahaya; bukankah aku telah berhasil membuatmu tertarik, penasaran dan tergila-gila? Alfonso, jatuh hati pada seekor katak betina di sosmednya! Nyahaha…! Ya Lord, kenapa aku merasa sangat bahagia!” Lagi, dia mengakhiri kalimatnya dengan sederet emoticon tawa.
“Kau memang psikopat!”
“Mungkin! Terserah, yang penting aku bahagia! Hahaha.”
Pepatah bilang cinta lahir karena terbiasa. Begitupun yang terjadi padamu dan katak betina online bernama Dian itu. Keanehannya justru menjadi misteri yang memikatmu. Perempuan cerdas dan menantang dalam tubuh seekor Katak Betina.
“Aku suka padamu, Dian,” ujarmu pada akhirnya, setelah selama ini kalian saling menggoda dan bercakap-cakap baik di kolom komentar, messenger dan WhatsApp.
“Aku juga suka padamu, Alfonso. Wajah dan suaramu menggemaskan. Hahaha.”
“Jadi, apakah ini artinya kita pacaran?” tegasmu.
“Memangnya selama ini kita kau anggap apa, hah?’
“Aku hanya tidak ingin kegeeran, Dian. Mudah saja orang merayu dan berkata-kata nakal di era medsos ini,” jelasmu, nampak cemas.
“Tapi apa kau yakin, jatuh cinta pada seekor katak sepertiku?” Dian mengakhiri pertanyaannya dengan emoticon sebelah alis terangkat.
“Aku tidak peduli kamu seekor katak, lembu atau babi sekalipun,” balas Alfonso.
“Tapi kita belum pernah bertemu, Alfonso. Apakah kau sungguh-sungguh padaku?”
“Ya, aku yakin. Aku menginginkanmu.”
“Hahaha, dasar budak hormon! Baiklah.”
“jadi kita pacaran?”
“Ya, pacaran online.”
**
Minggu pertama hubungan kalian tentu saja surga bagai tercipta di bumi. Hal-hal remeh dan sederhana menjadi begitu berkesan. Bahkan sekadar bernapas pun kamu merasa perlu mengabarinya.
“Pagi, Neng Dian,” sapamu di whatsapp.
“Pagi, Aa Alfonso.”
“Sudah makan?”
“Sudah.”
“Pakai apa?”
“Aa nanti jijik dengarnya.”
“Lho, kenapa?”
“Aku seekor katak, ingat?”
“Memangnya apa sarapan seekor katak betina cantik sepertimu?”
“Aku sedang diet, jadi tadi aku baru saja menyantap tiga ekor lalat hijau.”
***
Tak ada sebuah hubungan yang bebas drama dan konflik, meskipun pacarmu hanya seekor Katak Online.
“Tadi siapa sih, yang berbalas komenan berantai dengan kamu?” tanyamu, terdengar posesif.
“Ciyeee, Aa cembulu? Ciyeee, yang cembulu.”
“Aku gak cemburu, aku cuma ingin tahu, dia itu siapanya kamu?”
“Kasih tau gak, ya. Ehe.”
Lain waktu dirinya yang merajuk padamu, hanya karena ada seorang temanmu yang rajin memberikan love react di setiap postingan dan komentarmu.
“Itu siapa sih, yang selalu ngelove postingan kamu?”
“Oh, itu, cuma teman kok, kenapa? Kamu cemburu ya? Ciyeee, Dian cembulu.”
“Aku gak cemburu, cuma jijik aja lihatnya! Kalian kenal di mana? Siapa duluan yang invite di facebook?” cecarnya dengan lusinan emoticon dan sticker angry.
“Kasih tau gak, yaaa? Ehe.”
“Ish, nyebelin banget sih. Akutu gak suka rahasia-rahasiaan! Aa pasti selingkuh, ya? Brengsek!” hardiknya, lantas segera memblokir nomer whatsapp-mu.
****
Semakin hari kamu merasa Katak Betina-mu itu semakin menyebalkan dan berusaha menjauh darimu. Terutama ketika semakin banyak drama terjadi dan hubungan kalian semakin ter-ekspose. Sementara pada saat yang sama kamu justru semakin jatuh cinta dan terobsesi padanya. Kamu harus segera bertemu dengannya, jika tidak ingin mati gila!
“Sayang, kita benar-benar harus bertemu,” katamu putus asa.
“Kau sungguh keras kepala!” balasnya, tentu saja kau tak memedulikannya.
“Aku harus memastikan apakah dirimu seekor katak dan apakah cintaku padamu asli atau hanya rasa penasaranku saja.”
“Baiklah, jika kau tetap memaksa, Alfonso. Aku harap kau tidak akan menyesalinya!”
“Senin ini ayahku ada keperluan di Rangkasbitung, aku akan ikut bersamanya.”
“Temui aku di bawah salah satu pohon trembesi paling rindang di Alun-Alun Kota Rangkasbitung, selepas senja.”
“Copy that, Beib!” serumu, seraya melompat-lompat gembira.
*****
Hari pertemuan yang kamu nantikan pun tiba. Jika berangkat sendiri, ayahmu biasa menempuhnya dengan menaiki Kereta Api jurusan Jakarta – Rangkasbitung dari Stasiun Manggarai. Tetapi membawamu serta akan sangat merepotkan jika ditempuh dengan kereta api. Maka kali ini ayahmu membawa kendaraan pribadi.
“Kalung namamu bagus,” sapanya, di bawah sebuah pohon trembesi di Alun-Alun Kota Rangkasbitung.
Kamu memandang padanya dengan takjub, seekor katak hijau sebesar mangkok mie ayam, sebelum akhirnya kamu dapat menjawab, “Terima kasih. Ayahku yang memberikannya, agar jika aku hilang mudah ditemukan.”
“Manja sekali.” Mata bulat katak betina itu melirikmu, seolah tengah mengejekmu.
“Hey, ini bukan soal manja. Tapi soal keamanan! Kau juga tahu, banyak orang yang tidak suka padaku!”
“Karena kau menyebalkan?”
“Tentu saja bukan! Kau lihat sendiri, wajahku ini tampang anak baik-baik!” protesmu, “mereka membenciku karena memandangku rendah dan najis.”
“Ya, harus aku akui itu, kau sangat lucu dan manis.” Kamu melihat Katak Betina itu tersipu.
“Ah, terima kasih. Kau juga, Katak Betina yang lucu, genit dan menggemaskan!” Kamu mulai terlihat terlalu excited.
“Iyuuuh. Hentikan gombalanmu itu, Alfonso. Rasanya menjijikkan mendengarnya dari mulutmu dan lidahmu yang menjulur-julur itu!”
“Jadi di mana, mama kamu sekarang?”
“Tadi siang kami mengunjungi Perpustakaan Saijah Adinda, sekarang mungkin sedang menghadiri sebuah seminar di Museum Multatuli. Bagaimana dengan papamu?”
“Persis. Papaku juga melakukan hal yang sama dengan ibumu. Sepertinya mereka memiliki hobi dan kepentingan yang sama di kota ini.”
“Menarik. Semoga mereka bertemu.”
“Memangnya kenapa kalau mereka bertemu?”
“Siapa tahu jodoh. Hihihi.”
“Kenapa kamu jadi membicarakan mereka? Bagaimana dengan hubungan kita?”
“Hubungan kita tidak akan bisa kemana-mana, Alfonso. Kau sudah lihat sendiri kan, aku seekor Katak Hijau Betina. Kita bukan hanya beda kelamin, tapi juga species, jadi sangat mustahil kita bersatu. Kita telah melakukan cinta terlarang yang akan dikutuk oleh dewa-dewi dan seisi bumi! Kau tahu itu!”
“Cinta itu buta, Sayang.”
“No, cinta itu harus pakai logika, Mukidi!”
“Kalau cinta pakai logika, mana mungkin aku bisa mencintaimu hingga lintas species seperti ini?”
“Itu bukan cinta, itu gila!”
“Aku ingin memeluk dan menciummu, bolehkah?” Kamu mengabaikan protesnya.
“Apa? Ini di tempat umum! Kau sudah gila, dasar budak hormon!”
“Aku bahkan terbiasa menjilati kelaminku di tempat umum, apanya yang salah? Bahkan menurut mereka itu hal yang cute!” banggamu, seraya mengibaskan ekor.
“Hentikan, Alfonso! Orang-orang akan berteriak histeris, merekam kita dan akan membuat video tak senonoh kita viral! Percayalah, pemandangan seekor anjing menunggangi seekor katak betina bukanlah hal lucu! Hentikan, kataku, kau sudah sinting!” Kamu melihatnya semakin panic saat dirimu mulai medekat, mengendus, kemudian berusaha merengkuhnya. Orang lain tentu akan melihatnya sebagai upaya seekor anjing gila mengawini seekor katak hijau.
******
“Jadi, kaukah Dian?”
“Bukan, Dian kan anakku.” Dia melirik Katak Hijau yang berada di sudut kamar itu. “Aku Adinda,” sambungnya.
“I see. Alfonso juga anakku.” Pandanganmu beralih menatap seekor anjing Labrador berwarna coklat yang tak mau jauh-jauh dari si Katak Hijau.
“Anakmu genit sekali, membuat anakku gugup.”
“Aku juga genit.”
“Ya, kau juga membuatku gugup.” Dia tertunduk, menahan senyumnya. “Lalu, siapa namamu?”
“Aku Saidjah, Adinda. Kali ini, tak kan kubiarkan takdir mempermainkan kita …,” katamu, seraya merengkuh tubuh dan memagut bibirnya.
Penulis merupakan seorang cerpenis dan novelis. Karya buku terbarunya berjudul “Valterra”. Pemilik usaha kuliner “Ayam Geprek Dewek”. Tinggal di kota Serang, Banten.