Oleh: Rina Adriani Silalahi*
PIRAMIDA.ID- Aku menatap ke bawah, tertegun selama hampir lima detik. Angka pada layar timbangan digital miliknya menampilkan bobot 50 kg. Dahiku mengernyit dan di saat bersamaan bibirku kulipat ke dalam. Sudah hampir dua bulan aku tidak makan nasi, pikirku.
Bukan, bukan karena aku memilih melakukan diet ketat, atau sedang melakukan detox seperti yang banyak dilakukan artis dan selebgram. Beberapa hari belakangan aku baru menyadari ada perubahan pada tubuhku. Berat badanku berkurang 3 kg selama kurun waktu 2 bulan.
Perdebatan yang berlangsung selama lima belas menit itu menghasilkan dampak yang negatif terhadap fisik dan psikisku. Nyaris setiap hari ku mengingat peristiwa memilukan itu. Aku sama sekali tidak berniat untuk menentang mamak. Yang ku lakukan saat itu hanyalah meluruskan hal yang keliru, namun ditanggapi dingin oleh mamak.
Mamak tipikal orang tua yang sulit untuk menerima ktitik. Jangankan menerima, mendengar kritik saja beliau enggan. Beliau sosok yang tidak terbuka terhadap masukan.
Selama ini mamak turut merawat kedua buah hatiku bahkan sejak hari saat mereka kulahirkan di sebuah klinik bersalin dibantu tenaga bidan yang berpengalaman. Mungkin karena merasa berjasa maka tanpa disadari beliau selalu mengungkit kembali apa yang sudah diperbuatnya.
Sementara aku? Aku seorang janda berusia 40 tahun yang menafkahi anakku sejak dalam kandungan seorang diri, namun nyaris tak pernah aku mengeluh. Aku bekerja untuk diriku, untuk anakku, dan turut membantu orang tuaku.
Idealnya statusku sebagai janda layak untuk dibantu baik secara moril maupun material. Namun lagi-lagi aku tak pernah mau menengadahkan tanganku meminta-minta layaknya pengemis. Aku menolak untuk melakukannya.
Kurasakan kepalaku pusing, aku bergegas masuk ke kamarku. Lalu mulai menganalisa mengapa mamak begitu emosional bahkan tega menamparku. Hal yang tak pernah dilakukannya sejak aku kecil. Seluruh kekecewaannya ditumpahkan padaku. Aku tak melakukan kesalahan.
**
Pagi itu entah mengapa bahasa tubuh mamak tampak berbeda. Aku menangkap sesuatu yang janggal. Saat aku mengolah lauk untuk Rangga, anakku yang berusia lima tahun, tiba-tiba saja mamak melontarkan kalimat bernada menyindir.
Aku bukanlah pribadi yang mudah baper, namun ini sudah kelewat batas. Kepada siapa lagi kalimat sindiran itu dialamatkan kalau tidak kepadaku? Pagi itu kami hanya berdua berada di dapur berukuran luas 8 meter.
Wadah tempat makan binatang peliharaan kami menjadi awal picu perdebatan kami. Pagi itu kusuguhkan susu basi ke dalam wadah dan seperti biasa ludes oleh hewan berkaki empat itu. Entah mengapa tiba-tiba mamak mengumpat.
“Bodoh, bodoh,” ulangnya sambil memegang wadah makan hewan peliharaan itu. Aku heran sekaligus merasa tidak enakan karena aku yang memberikan susu basi kepada hewan peliharaan kami. Tapi sejauh ini tidak ada masalah ketika kusuguhkan susu basi.
Dalam benakku kala itu, kalau memang mamak keberatan, kenapa mamak tidak melarangku sebelum-sebelumnya.
“Bilang lah mak,” ucapku kala itu.
“Kalau sebelumnya mamak sampaikan kan tidak perlu mamak marah seperti ini,” terangku. Tapi mamak tampaknya tak terima dengan kalimatku. Mungkin menurutnya aku terlalu mengajarinya.
Ya, mamak memang tipe orang tua yang menganggap aku ini anaknya yang harus selalu menuruti kata-katanya. Bila aku menentang kata-katanya, itu sama dengan melawan. Padahal, berbeda pendapat dan menyampaikan pendapat berbeda dengan melawan. Aku letih dengan karakter mamak yang satu ini.
Bahkan emosi mamak semakin tersulut. Beliau semakin mengungkit jasa yang telah dilakukannya termasuk melahirkan dan membesarkanku di tengah keterbatasannya. Aku pun tak mau kalah, dengan nada bergetar kuucapkan bila aku bisa memilih aku tak ingin lahir dan tumbuh dari keluarga seperti ini.
Namaku Sonya, seorang janda cerai hidup dengan mantan suami pecandu narkoba. Hidup menumpang dengan orang tua kandung setelah menikah dan memiliki anak memang menghadirkan cerita tersendiri.
Aku sudah mulai mencari rumah kontrakan supaya aku bisa leluasa mengurus buah hatiku tanpa intervensi orang tua. Anakku bertumbuh semakin besar. Dia butuh lingkungan bermain, lemari untuk menyimpan pakaiannya serta kamar tidur nya sendiri. Dia butuh ruang berekspresi. Atau setidaknya aku bisa bebas di rumahku sendiri. Aku tahu orang tuaku menyayangiku.
Padahal bukan aku tak berkontribusi di rumah. Semampuku telah kuberi perhatianku. Hal positif apapun yang kuperbuat tak bermakna. Masak salah tidak masak juga salah.
Dalam batinku, aku tetap bersyukur meski masih saling terbatas dengan mamak. Hubunganku dengan mamak masih kaku. Kami masih bertegur sapa seperlunya.
Entah sampai kapan, aku sendiri tidak tahu. Tak ada yang menang di antara kami kecuali ego. Segera aku bangkit dari dipanku, aku teringat kompor yang masih menyala untuk merebus kacang hijau sesaat sebelum aku tertidur.(*)
Penulis merupakan lulusan Fakultas Ekonomi USU yang memiliki minat di bidang menulis. Penulis lahir 33 tahun lalu dan menggunakan nama reena_adriani pada akun media sosialnya. Pada kesempatan sebelumnya, penulis sudah menelurkan berbagai artikel opini dan juga puisi.