Oleh: Budi P. Hatees*
PIRAMIDA.ID- Dia pernah merasakan menjadi anak orang kaya sampai usianya 13 tahun, semua keinginannya terpenuhi, dan dia merasa hidupnya sangat bahagia. Dia sombong karena semua kemewahan yang dimilikinya sampai suatu hari ayahnya mengalami kecelakaan dan semua harta mereka terkuras untuk biaya pengobatan si ayah. Setelah semua harta habis, termasuk rumah mereka yang digadaikan kepada Baginda Sangap, ayahnya pun meninggal dunia.
Dua hari setelah ayahnya dimakamkan, bertepatan pada hari penutupan yasinan, Baginda Sangap mewanti-wanti agar mereka segera pindah. Laki-laki yang selama ini berkawan akrab dengan almarhum ayahnya, berkata: “Uang yang dipinjam untuk membiayai pengobatan ayahmu sudah seharga rumah ini, tapi saya akan memberi Rp5 juta lagi sebagai tanda bahwa saya prihatin atas nasib kalian.”
Tidak tahan jatuh miskin dan harus menyewa rumah, abangnya, anak paling tua, Pardomuan, merasa malu dan memutuskan merantau entah ke mana. Pardomuan masih kelas dua SMA dan dia tinggalkan sekolahnya tanpa pesan apapun. Kakaknya, Tiurnai, anak kedua yang masih kelas tiga SMP, memutuskan kabur bersama pacarnya, tapi pacarnya malah menolak menikahinya dengan alasan masih mau sekolah. Tiurnai tambah kecewa dan menegak racun hama, tapi usaha bunuh dirinya gagal membunuhnya. Dia dibawa ke rumah sakit dan terpaksa ibunya berutang lagi untuk biaya pengobatannya.
Dia sendiri jatuh kasihan kepada ibunya. Tiap hari dia dapati ibunya menyesali nasib buruk yang dideritanya, menyalahkan Tuhan yang terlalu dasyat memberikan ujian, dan pada suatu pagi dia menemukan ibunya sudah gantung diri di kusen pintu. Pada hari bersamaan dengan kematian ibunya, Tiurnai juga meninggal karena tak mendapat pengobatan yang maksimal dari pihak rumah sakit.
**
Dia pernah merasakan menjadi anak orang kaya sampai usianya 13 tahun, dan dia pernah hidup sangat menderita sampai usianya 20 tahun.
Setelah ibu dan Tiurnai dimakamkan, dia tak punya siapa-siapa lagi. Dia hanya punya Pardomuan, tapi entah di mana keberadaan abangnya. Dia putuskan akan mencarinya, dan dia meninggalkan kampungnya pada suatu malam, menumpang truk yang hendak menuju Bukit Tinggi. Dia dengar Pardomuan juga menumpang truk yang bergerak ke arah Bukit Tinggi dan dia yakin akan bertemu Pardomuan di sana.
Di Bukit Tinggi, dia tak bertemu Pardomuan. Hidupnya jauh lebih sengsara dari yang pernah dia alami. Dia didera kelaparan yang hebat, dan rasa lapar itu membuatnya takut mati. Ketakutan pada kematian membuatnya bertekad melawan rasa takut itu dengan segala cara, dan dia akhirnya memilih jalan yang sesat menurun orang-orang yang tak pernah kelaparan.
Suatu hari polisi menangkapnya karena merampok. Dia berhasil lolos setelah membunuh seorang polisi dan menyandera seorang anak kecil. Dia melarikan diri ke Jambi, tapi di sana dia berkelahi dengan seorang preman dan menikam orang itu. Dia kabur dan akhirnya singgah di Lampung meskipun sebetulnya dia ingin ke Bangka atau Belitung. Dia pikir, menyeberangi laut dan tinggal di sebuah pulau akan lebih aman, tetapi seorang kawannya menyarankan agar dia pergi ke Lampung dan tinggal bersama keluarga perambah hutan yang ada di provinsi itu.
Dia akhirnya tiba di Mesuji, mula-mula dia bekerja sebagai buruh tani. Pekerjaan itu sangat menyiksanya. Dia putuskan menerima ajakan salah seorang kawan untuk merambah hutan milik negara, mematok tanah itu dan menjualnya kepada siapa saja yang mau membayar. Dia kemudian dikenal sebagai pengusaha tanah, dan dia melindungi siapa saja yang membeli tanah dari dia.
Pada suatu hari, perusahaan pemilik hak guna usaha (HGU) atas tanah yang telah diperjualbelikannya hingga di atas lahan itu berdiri sebuah perkampungan, mengajukan gugatan agar pemerintah mengosongkan lahan tersebut karena mereka hendak membuka usaha agrobisnis. Polisi dikerahkan untuk mengusir warga, dia maju ke depan mengajak warga memberikan perlawanan.
Perang terjadi dan banyak korban jiwa. Dia diidentifokasi sebagai otak kerusuhan dan dia jadi buronan. Dia melarikan diri ke Jakarta, kemudian bertemu dengan seseorang bernama Pardomuan.
**
Dia pernah merasakan menjadi anak orang kaya sampai usianya 13 tahun dan dia pernah merasakan menjadi penjahat sampai usianya 20 tahun. Kini dia berdiri di hadapan Pardomuan, abangnya yang meninggalkannya saat usianya 13 tahun, dan dia harus menghukum laki-laki itu karena berkhianat pada organisasi.
Dia memegang pistol yang baru diberikan Bang Togu, pimpinan organisasi yang telah menyelamatkannya dari kejaran polisi.
Pardomuan yang membawanya bertemu dengan Bang Togu, dia juga yang meminta Bang Togu agar menerima adiknya sebagai anggota. “Aku terima,” kata Bang Togu, lalu menugasinya memungut uang hasil penjualan narkoba dari sejumlah bandar yang ada di Jakarta. “Jangan pernah berkhianat!”
Dia berterima kasih dan tak pernah menyangka kalau Pardomuan justru yang berkhianat. Abangnya melaporkan operasi mereka kepada polisi, dan polisi berhasil menggagalkan sejumlah transaksi.
“Kau habisi dia!” kata Bang Togu setelah memberikan pestol. “Pengkhianat harus mati.”
Dia menembak Pardomuan sambil mengenang seluruh keluarganya yang telah mati. Tapi dia tidak menangis.(*)
Penulis merupakan seorang Sastrawan. Aktif menulis esai dan puisi di berbagai media. Untuk info lanjut, penulis aktif di akun FB: Budi P Hutasuhut.