Oleh: Budi P. Hutasuhut*
PIRAMIDA.ID- Meilani melihat punggung laki-laki tua itu saat melangkah menjauhinya, punggung yang sama selalu dilihatnya setiap kali laki-laki tua itu muncul, dan dia lebih mengenali punggung itu daripada wajahnya. Seandainya suatu hari laki-laki itu muncul tiba-tiba dan menyodorkan wajahnya, maka dia sangat yakin tidak akan mengenalinya. Tapi laki-laki tua itu selalu datang dengan cara yang sama, memunggunginya, dan pergi juga dengan cara yang sama setelah menyampaikan sesuatu atau sekadar menanyakan kabarnya.
Dan, setelah itu, laki-laki tua itu akan menghilang seperti biasa, seperti asap dipukul angin, lalu dia akan mendapati dirinya di atas tempat tidurnya, masih berusaha mencari laki-laki tua itu sebelum kesadaran menjemputnya.
“Mimpi itu lagi, laki-laki tua itu lagi,” pikir dia.
Dia bangkit dari tempat tidur, duduk di sisi tempat tidur itu mengembalikan kesadarannya, lalu melihat jam dinding. Di luar malam telah larut dan di dalam kamarnya dia tahu akan sulit memejamkan mata kembali.
*
BERTAHUN-TAHUN lalu, saat sedang tertidur pada suatu malam yang belum sepenuhnya larut, tiba-tiba dia tersentak dan tubuhnya nyaris jatuh dari tempat tidur seandainya bukan kakinya yang pertama kali meluncur ke lantai semen rumahnya yang kasar di Sepauk. Refleks Lan Ni berdiri menjaga keseimbangan tubuh dan menaruh pantatnya di sisi tempat tidur sambil mengingat-ingat mimpi yang baru dialaminya, dan ingatannya begitu lekat merekam suara serak mesin Dong Feng tua yang meraung saat menyedot dan menyemprotkan air ke dinding-dinding tanah galian. Suara itu berubah dalam waktu singkat menjadi ledakan dasyat, dan dia melihat Alim, suaminya, berteriak-teriak begitu panik sambil menunjuk mulut sebuah lubang galian yang runtuh dan menenggelamkan beberapa buruh di lokasi penambangan yang terletak di Sagatani itu.
Lan Ni bangkit dari sisi tempat tidur dan gelisah memikirkan makna mimpinya, tapi dia tidak kunjung bisa mengambil simpul hingga dua hari kemudian dia baru bisa memahami makna sesungguhnya dari mimpi itu ketika Oyon muncul di bingkai pintu. “Alim!” Suara parau Oyon tak selesai mengucapkan kalimat, disambut Lan Ni dengan raungan tangis yang melengking. Para tetangga sontak, berhamburan dari rumah mereka dan menghampiri rumah Lan Ni. Mereka ikut bersedih ketika tahu nasib buruk yang mendera Alim di penambangan liar dan tubuhnya tertimbun material lobang tambang galian bersama beberapa buruh lainnya.
Tidak sampai tiga bulan, para tetangga di Sepauk sudah melupakan insiden di lokasi penambangan liar di Sagatani itu ketika Lan Ni bersanding dengan Oyon di pelaminan. Para tetangga memuji Oyon sebagai pemimpin yang bertanggung jawab karena memilih menikahi istri dari almarhum buruh yang bekerja di tambang miliknya, dan tak seorang pun pernah mempertanyakan kenapa hanya istri Alim yang dinikahi Oyon dan istri buruh lain yang juga mati dalam insiden itu tidak pernah disantuninya.
*
BERTAHUN-TAHUN lamanya tidak pernah ada seorang pun yang mengajukan pertanyaan itu hingga suatu hari tiba-tiba muncul seorang laki-laki tua di pintu gerbang rumah Oyon yang mewah di Kota Singkawang dan menyatakan ingin bertemu dengan Oyon karena ada urusan di lokasi penambangan Sagatani yang harus diselesaikan. Dua satpam bertubuh tegap memastikan kalau laki-laki tua itu bekerja untuk Oyon, lalu mengantar tamu itu untuk menemui Meilani.
Gadis itu sendirian di dalam rumah karena Oyon dan istrinya sedang ke Kota Pontianak untuk menyelesaikan satu urusan penting yang tidak bisa diwakilkan kepada siapa pun karyawan yang bekerja pada beberapa perusahaannya. Sekali sepekan Oyon dan istrinya selalu pergi ke Kota Pontianak, membawa kendaraan sendiri dan di dalam kendaraan itu bertumpuk peti besi berisi gumpalan-gumpalan emas hasil dari beberapa lokasi penambangan liar yang dikelola perusahaan-perusahaan Oyon. Satu peti besi itu diniatkan Oyon untuk dibagi-bagikan kepada beberapa orang pejabat pemerintah yang sangat membantu usahanya selama ini, sedang peti lainnya akan dibawanya ke sejumlah bank yang menyimpan seluruh harta bendanya sejak lama.
Meilani memberitahu kepada laki-laki tua itu kalau Oyon dan istrinya tidak bisa dipastikan kapan pulang, karena suami-istri itu bisa saja berubah pikiran saat di Kota Pontianak dan melanjutkan perjalanan mereka ke kota-kota lain. Tak jarang, tanpa perencanaan, baik Oyon maupun istrinya mendadak ingin pergi ke Jakarta atau malah ke Kuala Lumpur dan mereka segera memesan tiket pesawat. Tapi laki-laki tua itu mengaku datang bukan untuk menemui Oyon dan istrinya, melainkan untuk memastikan apakah Meilani tumbuh seperti yang diharapkannya selama ini.
Meilani tak paham maksud laki-laki tua itu dan meminta agar tamunya itu berbicara tidak berbelit-belit. “Kalau tidak aku akan panggil penjaga agar menyeretmu keluar dari rumah ini,” ancamnya.
“Tidak perlu.” Tamunya membelai janggot panjangnya, menatap Meilani dengan mata sedih. “Aku akan pergi dengan sendirinya.” Tamunya membalik tubuh, menyeret langkah yang pincang, tertatih-tatih di halaman rumah. Punggung laki-laki tua itu melengkung, membuat langkahnya menjadi begitu sarat. Tapi, punggung itu justru membangkitkan ingatan Meilani kepada seseorang yang selalu datang ke dalam mimpinya selama ini.
“Tunggu!” Meilani berteriak. Dia berlari menghampiri. “Apakah kau Alim? Apakah kau adalah orang yang selalu datang ke dalam mimpiku selama ini?”
Laki-laki tua itu tersenyum. “Aku sudah khawatir kau tak bisa lagi mengingatku, padahal kita sudah sangat akrab.”
Meilani memegangi tangan laki-laki tua itu, membawanya ke dalam rumah, menyuruhnya duduk di sofa. Dia sendiri mengambil tempat duduk di samping laki-laki tua itu, kemudian menatap tamunya dengan rasa takjub yang luar biasa. “Bagaimana kau bisa keluar dari mimpiku?” tanyanya.
“Ceritanya panjang.”
“Aku siap mendengarkannya.”
Laki-laki tua itu bercerita tentang sebuah ledakan di Sagatani beberapa tahun lalu, dan ia tak tahu bagaimana bisa selamat dari insiden itu. Saat ia sadar, ia sudah menjadi bagian dari masyarakat Dayak yang hidup di tengah-tengah belantara dan ia lupa banyak hal. Ia hanya ingat satu hal, wajah seorang gadis kecil bernama Meilani yang selalu muncul dalam mimpinya.
Cerita itu membingungkan bagi Meilani, tapi gadis itu tetap berusaha agar bisa mencernanya. Namun, seluruh usaha yang dilakukannya tetap tidak bisa membuat cerita itu menjadi rasional, dan mau tak mau dia membicarakan tentang laki-laki tua itu kepada ibunya. Dia sengaja bercerita saat ayahnya sedang pergi ke kantor.
“Alim!?” Ibunya kaget mendengar nama itu.
“Ya, Alim.” Meilani menegaskan. “Ia pernah datang kemari. Aku selalu bertemu dengan dirinya di dalam mimpi. Ia baik dan sangat menyayangiku.”
“Dimana ia sekarang?”
“Kalau ibu mau, aku bisa memanggilnya dalam mimpiku.”
*
LAN NI tidak segera menjawab. Dia mengkhawatirkan banyak hal seandainya Alim yang diceritakan Meilani ternyata Alim yang sama seperti yang dipikirkannya. “Bagaimana bisa?” Lan Ni mencoba meragukan ucapan Meilani. “Kau bicara dengan dirinya di dalam mimpimu, dan ia akan datang ke dalam kehidupan nyatamu?”
Meilani mengangguk.
“Apakah ia manusia seperti kita?”
Ditanya begitu, Meilani menjadi ragu. Dia menggeleng tak paham. “Aku akan tanyakan soal itu kepadanya.”
Tapi pada malam harinya, ketika Meilani bermimpi dan bertemu dengan Alim, saat itu Lan Ni justru sedang mengenang saat pertama kali bertemu Oyon. Waktu itu mereka sama-sama bersekolah di SMP Bruder di Kota Singkawang. Oyon anak saudagar kaya raya, yang membuatnya sangat angkuh, tapi Oyon selalu ramah kepada Lan Ni. Dia tahu Oyon menyimpan perasaan cinta kepadanya dari sikap ramah yang ditunjukkannya setiap kali mereka berpapasan. Tapi Lan Ni menganggap hal itu terlalu berlebihan, dan mustahil seorang Oyon yang kaya raya jatuh cinta kepada gadis miskin seperti dirinya.
Untungnya, di sekolah yang dikelola Gereja Katolik Santo Antonius itu, Lan Ni hanya bertahan setahun. Bukan lantaran Tuan Gustavo van Schimiller, bruder asal Nederland yang memimpin sekolah, itu kurang memberi perhatian kepada murid perempuan, tapi karena Lan Ni menolak peraturan pemerintah yang memaksa siapa saja yang memakai nama Tionghoa agar segera menggantinya dengan nama dari bahasa Melayu. Bagi Lan Ni peraturan itu mengada-ada, dibuat hanya untuk menghapus asal-usul dirinya juga orang-orang yang punya riwayat leluhur dari Daratan Tionghoa. Bagi dia, peraturan itu sangat tidak menghormati dan memaksa dirinya menyeka segala warisan yang diturunkan leluhurnya, dan memenjara pikirannya dalam lupa yang luar biasa sehingga tak ingat lagi perjuangan para leluhurnya yang sengaja datang dari wilayah Moiyan yang berbahasa Khek di daratan Tionghoa, untuk membangun perkampungan yang kemudian diberi nama San Keow Jong.
Lan Ni lebih memilih berhenti sekolah, lalu kembali ke orang tuanya di Kampung Sei Duri, di wilayah Bengkayang. Dari desa itu, jarak ke Kucing, Malaysia, tinggal sepelemparan batu. Ayahnya, Kun Djin Khim, yang baru pulang dari perbatasan sehabis belanja kebutuhan untuk toko kelontongan, begitu gembira saat melihat Lan Ni sudah ada di rumah. Ia setuju dengan keputusan Lan Ni berhenti sekolah, dan berkeyakinan kalau hidup tidak hanya ditentukan oleh sekolah, tetapi oleh para dewi. Ia pun memberi anak gadisnya itu keleluasaan mengelola toko kelontongan. Di luar kegiatan mengelola toko, Lan Ni belajar music tradisional Tionghoa, dan kadang memetik kecapi. Suara alat musik itu yang mempertemukannya dengan Alim.
Alim, anak Ko Khim Hiong, masih saudara jauh dari ibu Lan Ni, seorang pekerja tambang emas, mengikuti jejak leluhurnya yang datang ke San Keow Jong. Ia tinggal di Kampung Saliung, sengaja datang ke rumah Lan Ni untuk bermain. Ia terpesona pada permainan kecapi Lan Ni. Mereka kemudian berhubungan, lalu suatu hari Alim membawa orangtuanya untuk melamar Lan Ni.
Lan Ni kemudian menawarkan agar Alim bekerja dengan Oyon yang saat itu sudah mewarisi seluruh kekayaan almarhum ayahnya, dan mengelola sebagian besar lokasi tambang emas liar di beberapa tempat. Dia mengajak Alim menemui Oyon di Kota Singkawang, lalu memohon agar Oyon bersedia mempekerjakan Alim di salah satu tambang emas miliknya. Oyon setuju, kemudian Alim menjadi buruh tambang emas di Sagatani. Tapi, insiden ledakan di lokasi penambangan itu terjadi dan Alim….
Di dalam kamar tidur, Meilani menatap laki-laki tua itu sangat lekat.
“Kau adalah anakku?” Laki-laki tua itu akhirnya bisa mengucapkan kalimat yang sudah ditatanya selama bertahun-tahun. Tapi Meilani tak percaya dengan apa yang baru didengarnya.
“Kau mengada-ada.” Gusar Meilani. “Semua cerita ini mengada-ada. Ini tidak nyata. Ini hanya mimpi.”
“Tidak.” Laki-laki tua itu mencoba menjaga keyakinan Meilani. “Aku tak pernah memberitahu ibumu bagaimana perlakuan Oyon kepadaku selama di lokasi tambang. Perlakuan Oyon semakin kasar ketika ia tahu istriku melahirkan anak.”
“Aku tidak percaya.”
“Oyon marah karena aku menikahi ibumu, menikahi perempuan yang dicintainya sejak SMP tetapi ia tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya dan ia kecewa ternyata aku yang menjadi suami dari perempuan itu hanya seorang buruh tambang yang bekerja untuknya.”
“Tidaaaak!”
Lan Ni mengguncang tubuh Meilani, membangunkan anak gadisnya yang mengigau. Oyon yang belum sepenuhnya sadar mengucek-kucek kelopak matanya.(*)
Penulis merupakan Sastrawan. Menulis di berbagai media. Cerpen ini pernah disiarkan Majalah Horison edisi Oktober 2015.