Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- Mereka bertemu di Ayodya. Kota purba penerima wahyu dan manik-manik terbaik di dunia. Antara bangku-bangku dan buku. Di sela riset dan senyum pilu pengungsi Afganistan. Bertukar senyum dan alamat. Selanjutnya sekeranjang sejarah.
Ini kencan ke dua lima. Uta punya cerita buat pacarnya.
Sambil bersedekap, mulut manisnya berucap mantera panjang seperti sabda-sabda sang Nabi.
“Dulu, Senin, 17 Agustus 17M. Telah ditemukan satu buntelan lontar. Benderang dan memberi energi positif. Sebuah kitab: manuskrip enigmatis. Sesuatu yang setelah diinskripsi ternyata berisi kaidah dan wawasan yang berjumlah lima. Manuskrip itu berisi metoda tentang pengetahuan rahasia untuk mewujudkan transformasi sebuah negara.”
Sebuah ilmu bagaimana bangsa purba yang harus menyusuaikan diri di arus global. Sebuah metoda super keren untuk civil society menempuh dan mengayuh selamat di antara kapitalisme dan etatisme.
Sejauh ditemukan ternyata inti manuskrip tersebut menjejer lima wawasan mondial dan semesta.
Masing-masing wawasan berisikan pemahaman tentang alam raya dan peningkatan spiritual, kapital-sosial dan intelektual suatu masyarakat agar mencapai puncak-puncak kesadaran eko-antro-theocentris.
Hubungan resiprokal antara alam raya, manusia dan sang pencipta.
Kau ingin tahu isi wawasan-wawasan itu? Tanya Uta dengan lembutnya. Tangannya mengusap tangan pacarnya. Romantis. Dramatis dan ritmis.
Kasih. Manuskrip ini dikenal dengan lima dasar statis. Ia inspirasi. Dan, wawasan pertamanya adalah wawasan keadilan. Inilah wawasan utama yang menjadi ultima. Ke dalam dan ke luar. Adil yang sosial. Keadilan secara bahasa adalah seimbang, lurus, konsisten. Antonimnya adalah zalim (berbuat jahat).
Secara hukum, keadilan adalah ungkapan akan konsistensi atas dasar kebenaran dengan menjauhi setiap tindakan yang dilarang oleh undang-undang.
Dus, adil artinya sama berat-sama ringan; tidak berat sebelah; netral atau; keputusan yang berpihak kepada kebenaran; berpegang pada kebenaran; tidak sewenang-wenang; efesien, cepat, tepat, benar dan pener.
Adil merupakan ungkapan dalam perkara pertengahan antara dua sisi (pelit dan boros). Siapa yang adil akan menjauhi segala bentuk dosa besar, tidak melakukan dosa kecil secara terus menerus dan selalu berfikir positif serta cenderung kepada kebaikan plus keselarasan dengan kemutlakan realisasi bagi seluruh tumpah darah, manusia dan alam indonesia.
Keadilanlah yang akan memastikan bertahan atau runtuhnya sebuah peradaban dan negara. Sebab, dalam keadilan dipastikan tak ada kemiskinan dan ketimpangan.
Wawasan keadilan dengan demikian mengubur keculasan bin oligarki, pencurian bin konglomerasi, kejahiliyahan bin begundalisme.
Inilah wawasan yang kini diabsenkan walau ada partai bernama keadilan dan ada pasalnya dalam pancasila.”
Uta berhenti sejenak. Menatap pacarnya sendu. Lalu bertanya, “kasih, mau tahu wawasan berikutnya? Tunggu yah. Ciumi dulu aku, nanti kuteruskan.”
Kini. Kita masuk pada kertas kedua yang bertuliskan wawasan kedua: yaitu wawasan kerakyatan. Ini tentu merupakan asas kebangkitan intelektual baru yang sedang berlangsung dalam budaya umat manusia sebagai alternatif dari feodalisme, wahyuisme, koncoisme, sukuisme, ras dan darah biru (klan).
Artinya, kekuasaan publik harus disemai, dibuat, digerakkan dan ditradisikan oleh, dari dan untuk kita semua. Tidak pandang bulu.
Tentu ini merupakan kesadaran profan yang dibawa oleh gerakan massa yang kritis dan terdiri dari individu-individu yang menjejaki kelangsungan intelektual, kesehatan spiritual dan menaburkan sosial-kapital: yakni sebuah praktik perjalanan yang di dalamnya mereka telah dituntun oleh peristiwa-peristiwa jenius dan ikhlas. Merekalah rakyat yang tertranformasi menjadi warga-bangsa dan berujung menjadi warga-negara; bercitarasa warga-dunia.
Proses integral ini dipilih karena persatuan menjadi ontologi; hikmah menjadi epistemologi; kebijaksanaan menjadi aksiologi. Kerakyatan dalam keluasan yang selalu diperbaharui demi rakyat yang merdeka, mandiri, berdaulat, modern dan martabatif menjadi kinerja resiprokal yang hangat, menyenangkan dan berdimensi bahagia bersama.
Wawasan selanjutnya menyusul jika ada yang kau tanya. Dan, kita lanjutkan di perjalanan rindu berikutnya.
Kasih. Pelan dan khidmat, kini kita melangkah ke tengah. Membuka gulungan ketiga adalah wawasan kebersatuan. Bagi masyarakat plural, ini kunci.
Sebuah negara tidak akan berwibawa jika tidak berisi warga jenius penemu solusi masa depan. Dan, sebuah kejeniusan tidak akan menggebrak dunia jika tidak melakukan revolusi. Tetapi, revolusi hanya akan berhasil jika telah menemukan kata manteranya: bersatu kita teguh; bercerai runtuh.
Inilah playmaker dalam tiga ranah: mental, nalar, konstitisional.
Dalam kebersatuan, hal-hal ketololan tidak dibicarakan. Sebab ketololan identik dengan kejelekan. Dalam kebersatuan, perihal kepandaian selalu menjadi agenda pembicaraan. Sebab kepandaian identik dengan perbaikan.
Tetapi, ultima kebersatuan itu ada pada manusia-manusia jenius. Sebab kejeniusan identik dengan pencarian terobosan. Kejeniusan melewati peristiwa pendek dan ecek-ecek dengan menghadirkan gagasan-gagasan bernas.
Dalam wawasan kebersatuan berlakulah hukum keberhasilan, “berbahagialah mereka yang menjadi merdeka dengan pikiran bersama, bersuka-ria dengan sekolah bersama, dan bermartabatif dengan negara keadilan serta berkurikulum dalam bangsa berkesejahteraan bersama.” Ini wawasan holupis kuntul baris. Sesuatu yang urgen tapi tercecer di antara sumur, dapur, kasur dan pupur.
Wawasan berikutnya akan tersaji jika ada nyawa. Sebab, untuk membaca saja, aku sudah muak. Juga muak dengan hidup lucu-lucu penuh drama.
***
Kasih. Lempeng keempat ini tulisan jenius. Sebab ia menjadi wawasan keempat yang menggerakkan, yaitu wawasan keberadaban.
Tentu saja ini satu sinergitas atas sember-sumber purba, kini dan masa depan serta olah rasa, raga, cipta, karsa dan karya.
Wawasan ini merupakan kemajuan kebersatuan dan gotong-royong lahir batin berdimensi pada sikap sopan santun, budi bahasa, dan kebudayaan kita semua.
Kebangkitan wawasan ini mewakili penciptaan sebuah pandangan dunia baru dan lebih lengkap karena meruang mewaktu dalam semesta Indonesia yang raya.
Peristiwa-peristiwa keburukan dan kerakusan akan berhenti karena kehadiran wawasan keberadaban yang multidimensi ini. Generasi baru akan lahir untuk mengatasi pemain lama berbaju baru dan pemain baru bermental lama.
Wawasan keberadaban membukakan indra kita kepada tujuan hidup manusia yang sesungguhnya di atas muka bumi ini serta sifat nyata dari alam semesta plus kondisi riil negara yang kita pijak bersama.
Keberadaban membentuk peradaban luhur yang berisi identitas terluas dari seluruh hasil budidaya manusia serta mencakup seluruh aspek kehidupan jeniusnya yang berdentum.
Dengan beradab, kita melaksanakan peradaban. Dengan peradaban, kita ukir kemanusiaan yang waras dan welas asih.
Kasih. Sampailah kita di altar kelima. Satu wawasan yang khas bangsa timur: spiritualitas. Inilah wawasan ketuhanan. Inilah ontologi. Sebab agama itu epistemologi dan moral itu aksiologi.
Satu wawasan yang sering disempitkan, dijualbelikan dan disalahgunakan padahal maha luas. Saking luasnya bahkan air laut yang dijadikan tinta tak akan cukup untuk menuliskannya.
Ini jenis wawasan yang sering ditaruh di sudut-sudut comberan karena butuh mental atlantik untuk menerapkannya: butuh pahlawan. Bukan sekedar presiden atau kepala pemerintahan.
Ketuhanan yang inklusif, yang membebaskan, memajukan, memuliakan keadilan dan persaudaraan adalah wawasan purba yang harus dikurikulumkan kembali saat kita lupa dan berkubang dosa.
Inilah wawasan ketuhanan yang lapang dan toleran serta memberi semangat kegotong-royongan dalam seluruh ultima berwarga, bernegara, berbangsa, dan bersemesta.
Warga dan bangsa ini sudah lama melepaskan diri dari sumber energi yang lebih besar: dengan mengkhianati ketuhanannya, membunuh nuraninya.
Seringkali kita cenderung menjual murah, memanipulasi dan memaksa sesama untuk tunduk dan patuh. Ketika berhasil menguasai orang lain dengan cara tersebut, kita merasa lebih kuat, hebat, bangga dan serakah. Lahirlah perang berenergi fundamentalis yang sangat serakah.
Padahal, keserakahan adalah penyebab dari semua konflik antarmanusia; antar negara; antar bangsa dan antar peradaban. Dan, wawasan kelima akan mengobati serta mencerahkannya jika diseduh dengan madu pikiran, ucapan dan tindakan kesahajaan.
Kasih. Uta bertanya serius, “mana mendoannya? Kok tak ada sesuatu selain rindumu yang lucu.”
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).