Oleh: Budi P. Hatees*
PIRAMIDA.ID- Apa yang membuat puisi Chairil Anwar yang tak banyak itu tetap dibaca hari ini, sementara puisi Sutan Takdir Alisjahbana yang sudah menulis lebih dahulu dari Chairil tidak begitu diketahui publik? Bahkan, puisi dua kawan Chairil Anwar dalam Tiga Menguak Takdir — Rivai Apin dan Asrul Sani — hampir tak pernah dibaca hari ini.
Saya tak akan menjawab pertanyaan itu. Sudah banyak orang menjawab pertanyaan itu. Saya hanya akan bercerita tentang Batavia abad ke-20 sebagai sebuah kota metropolitan yang diangankan generasi kelahiran 1920-an sebagai tempat untuk mengubah nasibnya.
Chairil Anwar salah satu generasi itu, lahir di akhir dekade 1920-an. Dia tinggal di daerah, Sumatra Timur, dan besar di Kota Medan. Kota yang dibangun Guru Patimpus itu, pada abad ke-20, mulai kehilangan pesonanya sebagai kota yang tumbuh dari harum tembakau.
Anak-anak muda terpesona Batavia sebagai sebuah surga, merantau ke sana untuk mengejar impian sebagai orang kota yang sukses. Mereka terispirasi para pedahulunya, orang-orang dari Sumatra Timur — terutama Tapanuli — yang merantau ke Batavia untuk melanjutkan sekolah ke jenjang lebih tinggi dan kemudian menjadi tokoh-tokoh pergerakan nasional dengan kualitas intelektual yang mumpuni.
Sepuluh tahun sebelum dekade 1920-an, orang-orang Tapanuli telah mengubah visi hidupnya menjadi manusia yang akan tercerahkan apabila mengenyam pendidikan tinggi. Mereka tak lagi merantau ke Tanah Deli (Doli) sebagaimana ayah dan kakeknya untuk bekerja di maskapai-maskapai perkebunan tembakau, tapi memutuskan ke Batavia karena industrialisasi berkembang pesat dan sumber kehidupan sangat beragam. Pertumbuhan ekonomi melonjak ditopang sektor industri, jasa, transportasi, perdagangan, dan sewa menyewa (perumahan).
Terinpirasi oleh hal itu, generasi dekade 1920-an — dalam usia relatif muda (belasan tahun atau tak sampai 25 tahun) — kemudian bertolak ke Batavia. Setiap orang, datang dengan latar belakang yang berbeda, tapi tujuannya sama: mengubah peruntungan nasib.
Chairil Anwar datang, pada awalnya, karena kecewa atas perceraian orang tuanya. Ke Batavia adalah pelarian bagi Chairil Anwar. Dia menolak hidup sebagai anak pejabat di zaman Belanda, dan memilih “terlunta-lunta” (saya kasih tanda kutip, karena Chairil belum tentu memilih pilihan untuk terlunta-lunta di Batavia).
Ayah Chairil Anwar seorang pejabat dalam birokrasi pemerintahan Belanda, lalu memutuskan menikahi perempuan lain, dan Chairil kecewa atas keputusan itu. Bersama ibunya, Chairil ke Batavia. Tinggal di rumah Sutan Sjahrir, kerabat dekat dari pihak ibu yang berkultur Minangkabau. Di Batavia, dia mulai hidup sebagai kerabat Sutan Sjahrir, seorang intelektual yang pernah diasingkan ke Banda Naira oleh Belanda.
Di Batavia, Chairil bergaul dengan para perantau lainnya, yang datang dari daerah. Sebagai orang Sumatera Timur, yang kental dengan budaya Melayu dan memakai bahasa Melayu, Chairil tetap sebagai orang Melayu dengan ciri khas yang kental pada bahasa sehari-harinya, Melayu Medan. Sementara kawan-kawannya, dalam pergaulan sehari-hari, berkomunikasi dengan bahasa Melayu sekolahan (Melayu tinggi).
Dampak Kongres Pemuda Indonesia pada 28 Oktober 1928, yang menyepakati soal bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan (meskipun soal bahasa itu baru ditegaskan pada Kongres Pemuda Indonesia ke-2 tahun 1953), membuat bahasa Melayu tinggi diasumsikan sebagai bahasa Indonesia dan semua orang memakai bahasa Melayu sekolahan itu.
Ketika Chairil Anwar di Batavia, almanak menujuk dekade 1940-an. Belanda berkuasa, dan orang-orang tak bicara tentang bahasa Indonesia, tetapi bahasa Melayu sekolahan. Lewat Balai Pustaka, bahasa Melayu sekolahan itu diinternalisasikan sebagai nilai atau standar kepatuhan terhadap pemerintah berkuasa, dan para intelektual nasional mengamininya dalam pidato-pidato politik mereka.
Para intelektual berbahasa Melayu sekolahan bukan hanya dalam keseharian, tapi juga dalam karya tulis. Mereka yang menghasilkan puisi, menulis puisi memakai bahasa Melayu sekolahan. Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawan (pengecualian terhadap Amir Hamzah dengan sajak-sajaknya), membangun citra diri sebagai orang berpendidikan.
Mereka yang berpendidikan itu, menulis karya sastra (sajak dan novel) seperti karya sastra yang mereka baca. Mereka pembaca karya sastra berbahasa Belanda, ditulis oleh orang Belanda, dan mereka merasa Belanda adalah kiblat. Gerakan pembaharuan dalam sastra Belanda (The Tiger) mereka adopsi sebagai gerakan pembaharuan dalam sastra kita, dan memperkenalkan kwatrin dalam sajak.
Saat itulah Chairil Anwar muncul, tapi tanpa memakai bahasa Melayu sekolahan. Dia tak terdidik, MULO saja tak tamat. Bangku sekolahan dia ejek (anak sekoalh rendahan). Dia tak punya tradisi berbahasa Melayu sekolahan, tapi punya tradisi berbahasa Melayu Medan.
Tradisi berbajasa Melayu Medan itu yang dia pakai sehari-hari, juga dalam menulis sajak, juga dalam pidato kebudayaannya. Bahasa Melayu Medan nyaris tanpa eufemisme, karena bahasa diandaikan sebagai alat komunikasi untuk menyampaikan pikiran dan mengekspresikan diri. Yang penting dalam bahasa Melayu Medan, apa yang ingin disampaikan bisa dipahami orang lain dengan mudah. Tidak jadi soal jika diksi yang dipakai akan terdengar ganjil bagi mereka yang berbahasa Melayu sekolahan.
Bahasa Melayu Medan bukan bahasa yang lebelnya lebih rendah dari bahasa Melayu sekolahan, tidak pula hanya untuk bahasa di pasaran. Bahasa Melayu Medan memiliki diksi yang lebih lugas, tegas, dan sesuai dengan realitas sebagaimana telah ditunjukkan Amir Hamzah lewat sajak-sajaknya.
Namun, berbeda dengan Amir Hamzah yang seorang pangeran di kesultanan — mesti menjaga tutur dan kesantunan dan dengan sendirinya lebih memikirkan bagaimana lawan bicara mendengar– bahasa Chairil Anwar hanya perlu memikirkan bagaimana agar sesuatu bisa diekspresikan.
Bagi Chairil, bahasa bukan perkara santu dalam tutur, tapi persoalan apakah kata yang dipilih sudah berfungsi maksimal sebagai alat ekspresi.
Dalam sajaknya “Aku” yang ditolak Armijn Pane untuk diterbitkan di majalah yang dikelolanya, faktor utama penolakan itu karena diksi dalam sajak dinilai tak mempertimbangkan unsur kesantunan dalam rutur dan dikhawatirkan akan disalhtafsirkan oleh penguasa. Tentu, tafsir bahwa penguasa akan salah tafsir terhadap isi sajak “Aku”, datang dari Armijn Pane yang tidak akrab dengan bahasa Melayu yang bukan bahasa sekolahan. Dan Chairil dinilai sebagai bukan orang sekolahan.
Armijn Pane, meskipun dari Tapanuli, sangat akrab dengan tradisi pergaulan kaum priyayi Jawa. Dia juga punya tradisi berbahasa Melayu sekolahan, meskipun kemudian novelnya yang terkenal melakukan pembaharuan dalam perkara karakter tokoh. Dia ciptakan tokoh perempuan moderen dengan gaya hidup moderen.
Salah satu faktor yang membuat Armijn Pane kurang cun dengan sajak “Aku”, karena kalimat “aku ini binatang jalang dari kumpulannya terbuang”. Sajak dengan teknik biografis semacam ini, disalahtafsirkan Armijn Pane sebagai pernyataan pribadi Chairil Anwar yang pemberontak terhadap kemapanan. Tapi, justru karena bahasa yang tegas, terang, dan langsung pada pokok persoalan (tidak seperti bahasa sajak yang cenderung menyembunyikan dan meringkas realitas ke dalam metafora), sajak-sajak Chairil menjadi gampang dipahami.
Orang akan sukar memahami puisi berjudul “Teratai” karya Sanusi Pane yang dikhususkan untuk Ki Hajar Dewantoro.
di dalam kebun tanah airku
tumbuh sekuntum bunga teratai
tersembunyi kembang indah permai
tidak terlihat orang yang lalu
Hanya untuk menceritakan Ki Hajar Dewantoro, Sanusi Pane memakai diksi “teratai”. Bandingkan dengan sajak-sajak Chairil yang diniatkan untuk Ida Nasution. Dia tak perlu diksi untuk mengganti biografi Ida Nasution, dan dia cukup dengan kata “Ida” karena itulah realitas yang sesungguhnya.
Orang mengenal Ida Nasution meskipun orang-orang salah menafsirkan hubungan Chairil dengan Ida. Dengan sendirinya tafsir mereka terhadap sajak Chairil yang memakai diksi “Ida” menjadi tafsir yang keliru. Tidak ada percintaan di antara mereka sebagaimana percintaan Chairil dengan Mirat. Chairil dan Ida, dua pribadi yang berseberangan soal intelektual tapi beririsan dalam pekerjaan di bidang sastra, Chairil penyaor dan Ida seorang kritikus.
Kenapa sajak-sajak Chairil Anwar tetap dibaca sampai hari ini? Bagi saya, hal itu terjadi karena bahasa dalam sajak-sajak Chairil Anwar merekam riwayat bahasa yang akrab dengan masyarakat pembacanya. Sajak Chairil Anwar tak akan menarik seandainya bahasa Indonesia tidak sedinamis seperti hari ini perkembangannya.(*)
Penulis lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, pada 3 Juni 1972. Menulis esai di berbagai media dan terkumpul dalam sejumlah buku. Sehari-hari bekerja sebagai peneliti budaya, sosial, politik untuk Institute Sahata dan Tapanuli Database Center for Researd Culture and Social (Tapanuli Database).