PIRAMIDA.ID- Di tengah pandemi COVID-19, anak muda mendapat hiburan baru dengan hadirnya “Clubhouse”, media sosial berbasis diskusi audio yang viral pada awal tahun ini, terutama di kalangan profesional muda.
Seperti pengalaman media sosial pendahulunya yakni Twitter, Snapchat, dan Facebook saat pertama muncul, pertumbuhan pengguna Clubhouse diiringi berbagai perdebatan.
Masalah utama yang juga menjadi perdebatan publik adalah terbatasnya akses Clubhouse hanya pada iPhone – yang penggunanya hanya 3,4% dari total pengguna smartphone di Indonesia. Media sosial ini dianggap bersifat eksklusif untuk kalangan kelas sosial menengah-atas saja.
Paul Davidson dan Rohan Seth sebagai pendiri Clubhouse mengatakan perusahaannya tengah berupaya membuka akses aplikasi ini untuk pengguna Android.
Tapi, apakah dengan dibukanya akses aplikasi ke pengguna Android akan serta merta membuat Clubhouse menjadi lebih inklusif?
Menurut kami, jawabannya tidak. Kami melihat ini dari masih tingginya bias kelas dalam penggunaan media sosial di Indonesia.
Akses pada ruang diskusi digital minim, bahasannya pun berpotensi bias kelas
Dalam waktu dekat, Clubhouse memang kemungkinan akan merilis versi Android, ditambah lagi akan muncul aplikasi serupa lain seperti Twitter Spaces.
Namun, tetap saja belum semua warga Indonesia bisa berpartisipasi dalam diskusi publik yang terjadi di platform digital dan media sosial.
Survei global dari Pew Research Center pada tahun 2019 mencatat bahwa di Indonesia, 72% lulusan Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Sekolah Menengah Atas (SMA) lebih mungkin menggunakan media sosial dibandingkan dengan 23% dari mereka yang berpendidikan lebih rendah.
Artinya, kesenjangan aksesnya dari segi pendidikan sangat besar yakni 49%.
Dominasi kelompok orang yang berpendidikan tinggi juga cukup kuat dalam mendiskusikan isu dan kebijakan publik di media sosial. Padahal kurang dari 15% dari penduduk Indonesia yang berusia 20-39 tahun mengenyam pendidikan tinggi.
Lebih jauh lagi, karena ruang diskusi digital aksesnya masih terbatas bagi sebagian besar warga Indonesia, pembahasannya pun berpotensi didominasi oleh agenda dari mereka yang bisa mengaksesnya – kelas menengah atas.
Kehadiran Clubhouse akan semakin menunjukkan betapa lebarnya kesenjangan ini.
Clubhouse sendiri memungkinkan penggunanya berinteraksi lebih mudah dengan direktur perusahaan start-up, aktivis, politisi, hingga tokoh idola mereka. Hal ini memungkinkan berkurangnya batasan atau sekat untuk berinteraksi dengan individu yang dulunya dianggap ‘tidak terjangkau’ oleh masyarakat umum.
Sayangnya, diskusi yang membawa topik-topik isu sosial-politik di Clubhouse tidak jarang mendapat kritik dari publik. Beberapa waktu lalu, warganet mengkritik diskusi tentang banjir di Jakarta yang diadakan selebriti hingga pebisnis sukses – yang mungkin tidak pernah mengalami kebanjiran.
Fenomena ini mengikut tren terdahulu terkait diskusi media sosial yang bias kelas.
Beberapa akademisi, misalnya, mengamati bagaimana media sosial kerap dijadikan wadah untuk mengkritik selera musik dan acara televisi masyarakat miskin. Tentunya, diskusi ini terjadi pada berbagai platform media sosial di mana akses bagi kelompok yang dikritik sangat minim.
Alih-alih bersifat produktif dan menginspirasi, diskusi justru bisa menenggelamkan suara dari kelompok marjinal yang tidak terwakili dalam ruang diskusi tersebut.
Ketika anggota masyarakat kelas dominan (kelompok menengah ke atas) mendiskusikan isu yang merugikan kelompok masyarakat marjinal, niat baik saja tidak cukup.
Membuat ruang diskusi digital lebih inklusif
Untuk mewujudkan ruang digital yang tidak bias kelas, warganet bisa menarik inspirasi dari bagaimana dunia penelitian memperhatikan inklusivitas ketika membicarakan penelitian sosial-politik.
Sebagai peneliti, kami dilatih untuk berhati-hati terutama ketika membicarakan mengenai pengalaman hidup kelompok marjinal.
Ketika kami melakukannya, setidaknya terdapat 3 hal yang selalu kami perhatikan.
Pertama, menyadari privilese dari posisi pembicara dan mengungkapkan segala kemungkinan bias terkait pengetahuan yang mereka miliki.
Diskusi yang dilakukan bisa dimulai dengan memberikan konteks siapa saja pembicara yang hadir, dan apa saja keterbatasan pengetahuan yang mungkin dimiliki.
Membicarakan isu-isu perempuan dengan pembicara laki-laki, misalnya, dapat diawali dengan bahasan terbuka bahwa mungkin perspektif pembicara perlu dipertentangkan oleh perempuan yang memiliki pengalaman langsung terhadap isu yang diangkat.
Kedua, membuka kesempatan bagi individu marjinal untuk menyuarakan isu dan kebutuhannya sendiri dibandingkan harus diwakili kelompok lain.
Tidak ada pembicara yang lebih baik dibandingkan mereka yang memiliki pengalaman langsung dan pengetahuan yang mumpuni terkait isu yang diangkat, apalagi menyangkut pengalaman kelompok marjinal.
Untuk mengurangi bahasan yang penuh dengan asumsi dan prasangka, kesempatan sebaiknya diberikan langsung ke individu dari kelompok tersebut untuk berbicara.
Ketiga, memegang prinsip untuk sebisa mungkin tidak semakin membahayakan atau membawa ancaman kepada pembicara maupun pendengar dari topik yang dibicarakan.
Artinya, pihak yang terlibat dalam diskusi perlu senantiasa sensitif terhadap potensi bahaya yang mungkin muncul dari diskusi. Jangan sampai pesan yang disampaikan justru melanggengkan stigma dan kerentanan yang dialami individu atau kelompok yang dibicarakan.
Misalnya, stigma terhadap kelompok miskin yang dianggap pemalas dan tidak peduli terhadap lingkungan. Selain belum tentu kebenarannya, stigma ini tidak memberikan jalan keluar dan justru memperkuat perbedaan kelas sosial.
Saat ini, kami sedang mengembangkan kerangka berpikir feminis ‘knowing responsibly’ (mengetahui dengan penuh tanggung jawab). Kerangka berpikir ini mendorong kesadaran bagi mereka yang memiliki privilese untuk lebih rendah hati karena tentu ada modal sosial yang membuat mereka bisa “lebih paham” tentang suatu isu.
Kita pun perlu lebih memperhatikan apakah dampak materiil – seperti uang, honor, atau investasi lain – yang muncul akibat diskusi sosial-politik membawa manfaat untuk kelompok marjinal yang dibahas.
Mengingat semakin banyaknya bentuk pengawasan terhadap masyarakat sipil – apalagi dengan adanya polisi siber – kemunculan media sosial yang memberikan kesempatan untuk diskusi terbuka patut dirayakan di Indonesia.
Namun, eksklusivitas dari media sosial baru seperti Clubhouse memperlihatkan pentingnya keterbukaan akses diskusi bagi individu dari berbagai kelompok.
Clubhouse mungkin akan menjadi media sosial yang kian populer atau sekadar menjadi tren ‘selewat’ bagi kaum muda Indonesia. Namun, semangat membangun ruang diskusi digital yang inklusif adalah sesuatu yang harus terus dipelihara.(*)
The Conversation