Hizkia Ronaldus Silalahi*
PIRAMIDA.ID- Seperti kita ketahui bersama, hingga hari ini kasus pandemi COVID-19 belum juga selesai. Terhitung, hampir setengah tahun sudah COVID-19 mewabah di Indonesia. Dampaknya pun telah menghampiri seluruh lini kehidupan kita, termasuk dunia pendidikan.
Untuk mengantisipasi penyebab virus kepada anak-anak atau peserta didik, maka pemerintah mengambil kebijakan untuk meniadakan pembelajaran secara tatap muka dan diganti dengan pembelajaran jarak jauh atau daring (dalam jaringan).
Hal ini tentu menjadi tantangan bagi para guru, terutama guru-guru angkatan tua yang akan mencapai masa pensiun, tentu hal ini akan membuat mereka kelabakan.
Selaku salah satu pendidik, saya sendiri pun mengakui, awal dimulainya penerapan pembelajaran daring, kami sesama rekan guru masih bingung mau berbuat apa, sebab ini jauh dari hal apa yang kami bayangkan. Ini relatif tantangan baru bagi kami.
**
Beberapa waktu lalu, linimasa media sosial viral dengan sebuah screenshot percakapan guru dan orang tua peserta didik yang ingin meminta uang sekolah yang belum dibayar.
Namun sangat disayangkan, orang tua tersebut justru merespons dengan mengirim foto uang dan menuliskan di teks percakapan itu, “Anak saya dikasih tugas lewat WA, materi lewat WA, belajarnya di rumah yang ngajari orangtua, masa bayar SPP, enggak boleh lewat WA.”.
Kebanyang gak ketika Anda membaca chat tersebut?
Emang dipikir kita para guru ingin seperti ini?
Emang dipikir kita guru gak susah ngajar dengan seperti ini?
Tapi itu pun, lupakan tentang hal tersebut. Saya di sini ingin menyampaikan bahwa kami guru saat ini sudah menjadi vlogger. Keren enggak itu! Hahahaha
Kini guru tidak lagi belajar bagaimana menguasai kelas agar anak-anak dapat menerima pembelajaran dan menerima penjelasan materi yang diberikan oleh guru.
Iya, guru saat ini harus berhadapan dengan kamera. Bila biasanya guru selalu berhadapan dengan papan tulis, kapur atau spidol dan penghapus, saat ini guru harus berhadapan dengan kamera untuk merekam penjelasan tentang materi pembelajaran yang akan diberikan kepada siswa.
Tentu hal ini membuat guru menjadi canggung dan bingung bagaimana menjelaskan apa isi materi pembelajaran.
Bahkan, asal kawan-kawan tahu, kami selalu mengulang-ulang merekam agar hasilnya bagus dan maksimal.
Karena pada saat merekam dengan peralatan seadanya, sudah pasti akan selalu ada kekurangan, entahlah itu suaranya yang hilang, kepalanya gak nampak, atau belum lagi ketika ada gangguan suara-suara dari luar.
Dan guru harus mempelajari bagaimana mengedit video ajar tersebut agar bagus dan menarik untuk dilihat oleh siswa serta dimengerti dan dipahami penjelasannya oleh siswa.
Pelatihan-pelatihan pun saat ini yang diterima oleh guru tidak lagi pelatihan untuk membuat RPP, cara menguasai kelas, kurikulum dan yang lainnya.
Saat ini pelatihan yang diberikan adalah bagaimana cara membuat video ajar yang baik saat mengajar daring.
Akhirnya video ajar yang dibuat guru untuk pembelajaran daring dimasukkan ke dalam You Tube. Siapa tahu menjadi tambahan pemasukan. Ha ha ha!
Tapi tahu kah kalian, berbagai hal tersebut sesungguhnya tidak akan mampu menggantikan kepuasan suasana interaksi dan tatap muka di kelas. Iya, kami merindukan suasana sekolah, suasana saat marah di kelas, saat ketawa bersama di kelas.
Itu semua tidak ada kami dapatkan di depan kamera saat pembelajaran daring.
Ada yang mengatakan ini zamannya 4.0 yang semuanya serba digital. Benar memang. Tapi ini bukan soal kita menolak atau tidak mampu mengikuti ritme kemajuan industri 4.0.
Namun, ini soal kemampuan pedagogik, bagaimana kami yang berhadapan dengan kamera dapat menentukan tingkat keberhasilan proses dan hasil pembelajaran peserta didiknya. Yang tahu hanyalah orang tua, itu pun kalau orang tua memantau pembelajaran anaknya.
Kini kami tidak lagi belajar atau mengasah kompetensi pedagogik, namun kini kami para guru mengasah kemampuan kami untuk berhadapan dengan kamera dan menjadi editor yang handal. Demikianlah!
Penulis merupakan tenaga pendidik salah satu Sekolah Menengah Kejuruan di Pematangsiantar.