Emi Lidia Nadeak*
PIRAMIDA.ID- Pada tanggal 16 Juli lalu berbagai elemen mahasiswa dan buruh di berbagai daerah melakukan aksi demonstrasi untuk menolak disahkannya RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Sebelumnya, gelombang dan suara penolakan terhadap kehadiran RUU ini juga sudah kerap digaungkan.
Seperti kita tahu, gembar-gembor kehadiran dan wacana Omnibus Law Cipta Kerja sendiri sudah mulai ada sejak pelantikan rezim pemerintahan Jokowi periode II dengan dalih untuk memperkuat perekonomian Indonesia.
Tak berselang lama, pemerintah mengeluarkan draf Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (CILAKA) yang diubah namanya menjadi Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja dan sudah diserahkan ke DPR RI untuk dibahas dan akan segera disahkan.
Sedari awal, kehadiran Omnibus Law di Indonesia banyak menuai kritik dan perdebatan karena dianggap aturan di dalamnya cenderung berpihak pada kepentingan pengusaha dan investor.
Ditambah lagi, penyusunan dan pembahasa RUU ini juga terkesan seperti ditutup-tutupi dan tidak transparan, maka menjadi sangat masuk akal ketika seluruh elemen masyarakat Indonesia mencurigai pembuatan RUU Cipta Kerja ini.
Dalam uraian pembahasannya, RUU Cipta Kerja atau Omnibus Law ini dicanangkan akan merivisi 1.224 pasal pada 79 Undang-undang yang mencakup 11 kluster, seperti mencakup peyederhanaan perizinan; persyaratan investasi; ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan dan perlindugan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi pemerintah; pengenaan sanksi; pengadaan lahan; investasi dan proyek pemerintah; kawasan ekonomi, dan kawasan industri.
Format aturan ini menggunakan metode revisi melalui mekanisme Omnibus Law, yaitu dengan menggabungkan beberapa UU di mana salah satunya UU Ketenagakerjaan, yakni dengan mengubah, menggabungkan, dan menghapus pasal-pasal yang menurut penguasa tidak relevan untuk diberlakukan lagi karena tidak sesuai teks dan konteks menurut situasi yang berkembang.
Namun dalam rancangannya, aturan ini banyak diisi pasal-pasal bermasalah dan merugikan masyarakat. Terlebih terhadap buruh perempuan. Rancangan undang-undang ini cenderung dianggap berwatak patriarkal. Bahwa buruh perempuan dianggap lemah dan dipandang sebelah mata, sering kali mendapat perlakuan deskriminasi baik itu dari hubungan kerja sampai dengan masalah upah termasuk menjadi korban pelecehan seksual.
Menurut ketentuan umum Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, buruh perempuan adalah tergolong tenaga kerja sekaligus tergolong pekerja atau buruh sebagaimana didefenisikan pada bab I ketentuan umum Pasal 1, 2, dan 3.
Buruh perempuan dan laki-laki memiliki kedudukan yang sama. Artinya adanya kesetaraan gender pada setiap buruh/pekerja.
Bahkan buruh perempuan juga mendapatkan pengaturan khusus mengenai perempuan, yakni di Pasal 76, Pasal 81, Pasal 82. Meskipun begitu, tentu saja perlindungan kepada kaum perempuan masih rendah.
Dan, sialnya, akses perlindungan tersebut justru semakin minim dengan hadirnya Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini.
Karenanya, Terkait RUU Cipta Kerja ini, ada beberapa hal dampak terkait perlindungan buruh terhadap kaum perempuan:
- RUU Cipta Kerja dirancang untuk menundukkan, mengeksploitasi yang lemah dan tak berkuasa demi menghasilkan keuntungan berlipat-lipat bagi pengusaha. RUU ini akan menyingkirkan perempuan dan meneguhkan ketidakadilan gender;
- RUU Cipta Kerja akan semakin mengeksploitasi dan melemahkan pekerja perempuan dalam perundingan kerja. Satuan waktu kerja dan jangka waktu kerja yang diubah, menitikberatkan kepada kesepakatan kerja oleh pemberi kerja akan memberikan keistimewaan lebih kepada pengusaha dan membuat pekerja perempuan semakin lemah. Belum lagi Pasal 93 ayat 2 mengubah Pasal 93 UU Ketenagakerjaan yang menghilangkan kewajiban pengusaha membayarkan cuti maternitas. Selain itu juga perubahan pasal ini menurunkan kualitas hak bahkan bisa hilang sebagian hak buruh untuk mendapatkan upah ketika sakit, ketika menikah, menikahkan dan menghitankan anak, membaptis anak, istri melahirkan atau keguguran kandungan, suami/istri, orang tua/mertua, atau anak atau menantu meninggal dunia, anggota keluarga dalam satu rumah meninggal dunia;
- RUU Cipta Kerja mengancam kedaulatan perempuan atas pangan. Kedaulatan perempuan untuk merawat dan menghidupi kehidupan dengan memproduksi pangan sendiri selaras dengan alam di tanah air Indonesia, akan terancam. Kemudahan maksimal bagi investor tidak hanya akan merampas tanah dan pesisir, tetapi juga memaksa perempuan dan komunitas masyarakat bergantung pada industri pangan.
Dengan demikian, bagi buruh/pekerja khususnya perempuan pada Omnibus Law RUU cipta kerja tidak memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada kaum perempuan, serta justru mengarah kepada kemunduran kualitas hak untuk mendapatkan pekerjaan bagi buruh/pekerja.
Dengan hal tersebut kita lihat jelas bahwa penguasa hanya mementingkan kekuasaan tanpa memikirkan keselamatan, perlindungan, kesejahteraan bagi kaum buruh/pekerjanya. Karenanya, perempuan harus turut bersuara untuk menolak kehadiran Omnibus Law Cipta Kerja ini.
Penulis merupakan mahasiswa dan founder di Komunitas Kartini Indonesia (Kokasi).