Thompson Hs*
PIRAMIDA.ID- Sebelum 2020 berakhir, beberapa berita dan komentar terkait kunjungan Sandiaga Uno ke Danau Toba muncul begitu saja di linimasa Facebook saya. Banyak mengira diangkatnya Sandiaga Uno menjadi Menparekraf bukan suatu kejutan, apalagi jika dikaitkan sepak terjangnya dalam beberapa Pilkada.
Kasarnya, Sandiaga Uno wajar mendapat upah menjadi Menparekraf atau menjadi menteri lainnya karena berkontribusi memenangkan pasangan-pasangan tertentu.
Dinamika respon atas kunjungan awalnya ke Danau Toba cenderung mendapat dukungan, selain memunculkan respon lainnya, terutama soal pencemaran Danau Toba. Khusus soal pencemaran itu mungkin terkait langsung dengan Menparekraf jika Danau Toba mau dijadikan ekowisata.
Sebagai salah satu destinasi super prioritas, konsep pariwisata Danau Toba kelihatannya belum terjelaskan. Meskipun sudah ada 2 badan yang bisa terkait untuk menjelaskan itu, yaitu: Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT, sejak 2016) dan Badan Pengurus Geopark Kaldera Toba (BP GKT, sejak 2015 dan dipermasalahkan pada 17 November 2020).
Pikir-pikir, apa hubungan pencemaran Danau Toba dengan Menparekraf jika konsep pariwisatanya bukan ekowisata.
Mestinya pencemaran Danau Toba layak dipersoalkan kepada Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup agar semua pencemar lingkungan itu dapat ditegur, jika tidak dihentikan izinnya.
Konon pula Bank Dunia atau IMF ingin Danau Toba dapat dihentikan dari segala pencemaran. Namun, apakah uang dapat menghentikan pencemaran atau cukup dengan berkoak-koak? Tentu saja yang dapat melanggengkan pencemaran karena uang dibutuhkan banyak pihak yang terkait dengan Danau Toba.
Bahkan uang tidak steril antara pencemaran dan tidak karena segala uang yang terkait Danau Toba cukup jarang terlihat dalam berbagai plank.
Danau Toba terkena dampak pandemi Covid-19. Target kunjungan turis sudah pasti menurun pada 2020. Sehingga sejak masa New Normal tersisa kemungkinannya hanya 5 bulan.
Awal Agustus 2020 air Danau Toba kelihatan mulai jernih di beberapa titik, namun di zona keramba tidak dapat dipastikan kejernihannya.
Dua Badan Belum Menghasilkan
BPODT ditakuti sebagai perampas tanah masyarakat, selain diharapkan dapat membantu sejumlah kegiatan pariwisata di Kawasan Danau Toba (KDT). Dengan hadirnya BPODT perhatian terhadap perampasan tanah masyarakat seperti kasus baru, padahal tidak.
Ada perampasan tanah masyarakat juga oleh Toba Pulp Lestari (TPL). Kehadiran TPL dan merusak hutan ternyata sudah melebihi masa Perang Sisingamangaraja XII melawan kolonial. Dibandingkan dengan BPODT yang kehadirannya akan terus mencari investasi pariwisata kelihatan menjadi objek baru untuk dihujat, sehingga struktur di dalamnya tidak sekuat di TPL, yang secara diam-diam boleh dikatakan tidak setuju dengan kehadiran BPODT.
Bagaimana dengan Regal Springs, nama baru Aquafarm yang menjadi salah satu perusak kualitas air Danau Toba; apakah diam-diam juga tidak setuju dengan kehadiran BPODT?
Regal Springs memang tidak merampas tanah masyarakat, sehingga dibandingkan dengan BPODT dan TPL posisinya masih aman. Yang masih lebih bermasalah di sekitar Danau Toba kelihatannya adalah tanah. Sedangkan air tetap tergantung kepada kecairannya. Namun BPODT masih kalah sama TPL dan Regal Springs. Satu per satu jajaran direktur di BPODT tidak dapat diharapkan untuk menjadi pemenang atas TPL dan Regal Springs.
Empat tahun yang sudah dilakukan oleh BPODT masih mengerjakan apa yang belum dikerjakan oleh dinas-dinas pariwisata di 8 kabupaten di KDT dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Sumatera Utara. Kerja utama BPODT yang konon memancing masuknya investasi pariwisata, kelihatan mengalami keguguran pada 2020, tahun keempat setelah kehadirannya. Sisa waktu 20-an tahun lagi jika dipertahankan kekuatan BPODT masih tergantung kepada pemerintah pusat.
Lawan-lawannya di lapangan kelihatan tak tertandingi karena soal tanah 350-an hektar saja tidak bisa dituntaskan. Padahal tanah itu atas rekomendasi Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup.
Kita akan melihat sepak terjang BPODT pada tahun 2021 dengan perubahan direktur utama dan struktur di dalamnya.
Bagaimana pula dengan BP GKT; kemana dia lebih akur? Badan ini belum terlalu dianggap bermasalah karena tidak mengganggu tanah masyarakat dan Ulayat. Namun sebagai penggerak Geopark Danau Toba, BP GKT sudah pasti lebih akur kepada dunia, terutama dunia UNESCO dan pengakuannya atas Danau Toba sejak Juli 2020.
Saya turut bergembira ketika Danau Toba resmi diterima sebagai anggota Geopark UNESCO pada Juli 2020 lalu. Namun karena pandemi Covid-19 kegiatan atau program BP GKT turut tertunda, laiknya seperti dalam instansi lain pemerintah yang menyerap anggaran untuk urusan pandemi itu.
Kompakkah BPODT dengan BP GKT? Mestinya itu perlu dijawab oleh Sandiaga Uno dalam kunjungan awalnya ke Danau Toba. Saya kira Menparekraf sebaiknya berkordinasi langsung kepada kedua badan itu di lapangan agar keduanya benar-benar efektif, bermanfaat, dan menghasilkan.(*)
Penulis merupakan sastrawan Sumatera Utara. Direktur Pusat Latihan Opera Batak (PLOt).