Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- “Indonesia adalah klaster manusia yang dengan sadar dan sengaja membangun satu sistem pendidikan nasional berhadapan dan berlawanan dengan sistem pendidikan kolonial penjajah,” demikian suatu kali Daoed Joesoef mengakhiri pidatonya.
Maka, mendidik adalah melawan kolonial. Dan, pendidikan adalah alat mencapai sekaligus menjaga kemerdekaan. Baik kemerdekaan pikiran, tanah dan masa depan. Dengan mendidik dan pendidikan kita akan lestarikan peradaban ini. Yang cara mengisinya tentu dengan memupuk suburkan nilai-nilai keindonesiaan.
Di sini, pendidikan menjadi salah satu upaya paling strategis untuk membentuk jiwa bangsa dan nilai keindonesiaan baik secara formal, informal, maupun nonformal. Ketiganya harus berjalan bersamaan dan terintegrasi. Dengan demikian, warga negara tidak mudah goyah menghadapi serbuan modernisasi yang semakin melupakan budaya bangsanya.
Menurut Daoed Joesoef, selain jalur dan metoda pendidikan, penanaman nilai keindonesian juga dapat ditempuh melalui komunitas-komunitas warga negara. Karenanya, kita perlu lembaga pengendali untuk mencegah kemungkinan terjadinya multi penyimpangan dalam menafsirkan keindonesiaan. Juga diperlukan suatu gerakan nasional yang masif dan diselenggarakan secara bijak. 4 hal itulah cara kita mencetak dan mentradisikan karakter keindonesiaan.
Pendidikan karakter, menurut Daoed Joesoef adalah pendidikan holistik, yang membentuk anak menjadi warganegara bukan sekedar penduduk. Sebab, penduduk yang dimaksud pak Daoed hanya sekedar menumpang tinggal. Sedangkan menjadi warganegara adalah bukan hanya lahir dan tinggal tetapi juga bertanggungjawab atas kelangsungan dan martabat negaranya.
Bagaimana seorang Daoed Joesoef sampai demikian canggih menemukan akar-akar pemikiran kebangsaan dan keindonesiaan? Jelas karena ia seorang sekolahan yang sangat serius dan tekun membaca.
Tapak sekolahnya keren. Ia lulus sarjana dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1959. Lalu meneruskan ke Universitas Sorbonne, Perancis. Di negeri itu, ia meraih dua gelar doktor sekaligus, yakni Ilmu Keuangan Internasional dan Hubungan Internasional (1967) serta Ilmu Ekonomi (1973).
Pulang ke Indonesia, ia ikut mendirikan Center for Strategic and International Studies (CSIS) pada 1971. Di sana ia menjadi ketua sekaligus memupuk kecintaannya pada diskusi, riset dan menulis. Takdirnya kemudian terkenal sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang cukup diingat dalam sejarah Indonesia, meski menjabat satu periode saja.
Jika kita baca seluruh karyanya, akan didapati sejumlah konsep penyelenggaraan negara dengan pendekatan multidisipliner. Konsep itu terdiri dari pembangunan ekonomi nasional, pertahanan keamanan dan pembangunan pendidikan plus kebudayaan.
Dalam konteks teorisasi kebudayaan, Daoed Joesoef layak disebut sebagai “man of culture.” Sebab, begitu tinggi ia mengusung kebudayaan sebagai ontologi kedaulatan keindonesiaan. Dengan kebudayaanlah semua pendidikan, pembangunan dan tekhnologi kita dikembangkan.
Di luar itu, ia kuat literasi dan bernas dalam berpikir serta bertindak karena memiliki kedisiplinan dan komitmen untuk menggunakan nalar yang objektif sekaligus konstruktif bagi kehidupan bersama. Kehidupan menjadi Indonesia, agensi pancasila.
Untuk alasan itu, ia menjelaskan bahwa kebijakan-kebijkan pendidikan yang dibuatnya sebagai upaya membangkitkan kembali esensi manusia yang bernalar. Segenap siswa dituntut untuk kembali pada jati dirinya sebagai “man of analysis”, bukan sebagai “manusia umum dan biasa-biasa.”
Siswa dengan demikian akan belajar dan berpikir sekaligus. Sebab belajar tanpa pikiran adalah membuang tenaga; sebaliknya pikiran tanpa belajar adalah sia-sia belaka (2017).
Belajar dan berpikir (membaca dan riset) harus terus dilakukan sebab untuk menjadi manusia yang berimbang (to become balanced persons), tiga unsur dalam diri kita harus diberi makan, yaitu badan (the body), pikiran (the mind) dan jiwa (the soul).
Maka, manusia yang tidak memedulikan bacaan, kata Daoed Joesoef, “akan selalu ketinggalan dari buah pikiran yang terbaik dan terbaru. Juga tersisih dari perluasan pengalaman dan kehidupan yang terbuka.”
Tesisnya soal “kekayaan benda (kapital)” juga menarik. Ia yakin bahwa kapital akan habis, tetapi kekayaan pikiran tetap melekat pada kita walaupun dibagi dengan orang lain. Tetapi, bila tidak dibagi dengan orang lain, kekayaan pikiran juga akan habis, bisa hilang lenyap dengan sendirinya karena kita sendiri, lama-lama bisa tidak mengingatnya lagi.
Dan, ingatlah bahwa salah satu jalan yang ampuh, salah satu sumber yang tak pernah kering, dari kekayaan pikiran ini adalah buku, sedangkan cara menggali sumber itu adalah membaca dan riset serta diskusi.
Sebagai pengagum Mohammad Hatta: ekonom, negarawan, muslim yang taat dan melihat Indonesia tak hanya dibangun satu golongan, Daoed mengikuti jalan pikirannya: membangun Indonesia secara holistik. Bukan partikular seperti hari ini.
Menurutnya, jika Indonesia tidak hanya membangun ekonominya saja maka kita akan berkembang subur dalam taman sarinya internasionalisme, seperti diidamkan Soekarno. Dari sini kita paham, ia adalah filosof yang ikut dengan serius meletakkan nalar dan nilai-nilai keindonesiaan dengan sangat jenius dan berkelanjutan.
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).