Richad Hamonangan Sinaga, S.Pd.*
PIRAMIDA.ID- 17 Agustus 2020 lalu, rakyat Indonesia merayakan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75. Kata ‘merdeka’ juga dipakai oleh Nadiem Anwar Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia dalam slogan kebijakannya, yaitu “Merdeka Belajar”.
Walaupun sudah menginjak usia kemerdekaan ke-75, masih banyak masalah struktural yang terjadi di Indonesia, terlebih di tengah melandanya pandemi COVID-19. Salah satu masalah yang terjadi adalah proses kegiatan belajar mengajar yang harus dilakukan secara daring –bukan ”darting” alias “darah tinggi”– dan situasi “lockdown” bukan merdeka.
Kegiatan belajar mengajar secara daring memiliki dampak bagi guru, orang tua, dan siswa.
Dampak Daring
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan Surat Edaran bertanggal 24 Maret 2020 yang mengatur pelaksanaan pendidikan pada masa darurat penyebaran corona virus. Kebijakan “Belajar dari Rumah” ini tepat untuk mencegah penyebaran COVID-19 di lingkungan sekolah. Dan E-learning menjadi salah satu inovasi menarik bagi perkembangan pendidikan saat ini.
Hal ini terlihat saat ditetapkannya sistem pembelajaran jarak jauh (PJJ). Banyak sekali Guru dan siswa yang kewalahan –dan antusias— akan sistem daring. Banyak sekolah melakukan daring dengan aplikasi Google Classroom, Zoom dan Whatsapp.
Adapun kesan bingung bagi peserta didik dan guru saat pertama kali melakukan daring, tidak menciutkan mereka melakukan kegiatan belajar mengajar.
Namun, setelah kurun waktu 6 minggu dilakukan, ternyata banyak fakta baru yang dialami oleh guru. Guru kekurangan waktu mengajar dikarenakan waktu dalam mengabsen murid lebih banyak.
Kedua, ketidak-konsistenan murid, dan lamanya murid merespon pertanyaan yang guru berikan. Hal ini mengakibatkan guru tidak dapat menuntaskan silabus dan beberapa guru kesulitan dalam menggunakan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
RPP 1 halaman tidak cukup untuk meringankan tugas dari seorang guru, karena selain masalah waktu dalam mengajar, guru juga memiliki permasalahan kepada orangtua murid.
Kerugian yang dialami oleh orangtua murid, yakni harus membelikan anaknya sebuah handphone (HP) agar dapat mengikuti PJJ. Belum lagi aktivitas seorang ibu sebagai ibu rumah tangga (dan bekerja) mulai berkurang karena harus mendampingi anaknya saat mendapat tugas dari guru.
Orang tua juga harus mengeluarkan biaya pembelian kuota yang tidak murah. Selama proses kegiatan belajar mengajar secara daring, sebagian anak ada yang belum mengerti akan pelajaran. Waktu pembelajaran yang kurang dan ketinggalan mata pelajaran menjadi penyebab, sehingga anak harus les privat secara mandiri dan mengeluarkan biaya lebih.
Selanjutnya bagi peserta didik, dampak buruknya adalah perkembangan psikologis peserta didik. Ketika nanti mereka kembali ke sekolah, peserta didik cepat merasa bosan saat kegiatan belajar mengajar. Rasa malas yang mengakar, dan tidak berkarakter karena peserta didik merasa bebas karena selama ini tidak terikat peraturan yang ketat dari pihak sekolah.
Berdasarkan analisis penulis, bila kegiatan daring tetap dilakukan pada siswa tingkat TK, SD, SMP, SMA, maka dampak buruk yang diterima tidak sebanyak oleh siswa pada tingkat SMK.
Hal itu dikarenakan SMK adalah sekolah menengah kejuruan dengan sistem pembelajarannya adalah 40% teori dan 60% praktek. Siswa pada tingkat SMK seharusnya lebih banyak mendapatkan praktek dan bukan malah mendapatkan banyak teori.
Meskipun banyak dampak negatif dan kendala yang dialami oleh guru, orang tua, dan siswa, tampaknya Pak Nadiem tetap ingin menjadikan PJJ secara permanen.
Dampak Luring
Namun seiring banyaknya keluhan dari siswa-siswi, orang tua dan guru yang merasa bahwa kegiatan belajar mengajar dengan daring tidak efektif dan banyaknya daerah di Indonesia yang sudah dalam zona hijau dan kuning, banyak masyarakat bertanya-tanya mengapa kegiatan belajar mengajar dengan sistem luring atau tatap muka tidak diberlakukan di zona hijau dan kuning.
Kita memang tidak bisa menyangkal bahwa Pak Nadiem sudah melakukan banyak sekali usaha untuk memulihkan sistem pendidikan yang merdeka. Salah satunya ialah dengan menciptakan Kurikulum Darurat COVID-19. Selain itu juga, kebijakan untuk membuka sekolah di zona hijau dan kuning di tengah pandemi ini sedang ia paksain.
Namun fakta berbicara ada 51 santri positif COVID-19 di Ponpes Gontor 2, Ponorogo, Jawa Timur; 5 guru Ponpes di Karawaci, Kota Tangerang, Banten; 35 santri Ponpes Sempon, Wonogiri, Jawa Tengah; 35 santri Ponpes di kecamatan Margoyoso, Pati, Jawa Tengah; 38 pembina dan 1 santri di Ponpes Parbek, Agam, Sumatera Barat; 1 guru dan 1 operator sekolah di Pariaman terinfeksi COVID-19.
Sederet kasus baru bermunculan, Pak Nadiem memutuskan agar pembukaan sekolah-sekolah di zona hijau dan kuning diberhentikan.
Blended Learning
E-learning menjadi salah satu inovasi menarik bagi perkembangan pendidikan saat ini. Tapi, realitanya penggunaan e-learning tidak cukup. Dari studi yang ada, kendala terbesar e-learning adalah interaktivitas langsung antara pembelajar dengan instrukturnya.
Kendala lain dari e-learning adalah menciptakan kesan kesendirian, sehingga mengalami kebosanan dalam belajar. Dalam setengah jam, seseorang mudah berpotensi menjadi pemalas dan tidak terlalu termotivasi untuk melanjutkan pembelajarannya.
Penulis memberikan solusi dengan menggunakan pembelajaran blended learning. Blended Learning pada dasarnya merupakan penggabungan antara pembelajaran secara luring dengan pembelajaran secara daring. Sederhananya, perpaduan antara pertemuan tatap muka dengan materi online secara harmonis.
Blended learning adalah sebuah kemudahan pembelajaran yang menggabungkan berbagai cara penyampaian, model pengajaran, dan gaya pembelajaran, memperkenalkan berbagai pilihan media dialog antara fasilitator dengan orang yang mendapat pengajaran.
Blended learning adalah kombinasi pengajaran langsung (face-to-face) dan pengajaran online. Lebih dari itu, blended learning berfungsi sebagai elemen dari interaksi sosial untuk menumbuhkan karakter bagi siswa-siswi.
Dengan blended learning, peserta didik nantinya akan dapat berinteraksi dengan si pengajar. Pembelajaran bisa dilakukan secara online dan tatap muka langsung. Baik bagi peserta didik maupun pengajar saling mendapatkan feedback.
Saran kedua, apabila blended learning gagal, penulis menyarankan agar guru sebagai pengajar mendatangi peserta didik. Contoh, dalam satu kelas terdapat 20 siswa, dan hanya 5 siswa yang memiliki handphone. Siswa lainnya disarankan membentuk kelompok belajar dengan bimbingan dari guru kelas masing-masing.
Apa yang harus dilakukan?
Dengan adanya kelebihan dan kekurangan daring yang membuat sistem pembelajaran kita lebih modern namun tidak efektif di masa pandemi ini, dan kelebihan dan kekurangan luring yang membuat siswa mendapatkan kasih sayang dan pendidikan karakter dari guru namun sangat berisiko memperluas penyebaran COVID-19 ini, jadi, hal yang paling mungkin kita lakukan untuk membuat sistem pembelajaran kita efektif dan tidak membosankan sekarang ini adalah dengan mengganti model pembelajaran daring dengan blended learning.
Hal tersebut ditengarai dengan blended learning siswa tetap dapat melakukan physical ditancing atau menjaga jarak dan mendapatkan pengetahuan yang sepadan dengan kegiatan luring. Ataupun guru dapat mendatangi siswa agar tidak ada siswa yang ketinggalan pelajaran dikarenakan waktu yang terbatas dan tidak memiliki HP.
Bagi penulis, ini adalah solusi yang paling tepat diterapkan dalam keadaan saat ini.
Penulis merupakan pengajar Bahasa Inggris di SMP Swasta Methodist Tanjung Morawa.