Oleh: Al Bayati*
PIRAMIDA.ID- Seperti yang kita ketahui deforestasi adalah penebangan hutan secara liar yang membuat hutan menjadi gundul sehingga membawa dampak besar terhadap ekologi bagi kita negara Indonesia. Selama 2 dekade terakhir ini, Indonesia berada di posisi kelima teratas di dunia yang kehilangan area hutan dengan secara keseluruhan telah kehilangan 9,75 juta hektar hutan primer dalam rentang waktu 2002 sampai 2020.
Selain itu juga di tahun 2020 ini menjadi tahun yang sangat panas di benua Asia, hal tersebut tentunya sangat berdampak besar terhadap kita sebagai makhluk hidup. Tak berhenti di sini, deforestasi juga mengancam kehidupan hewan yang berhabitat di dalam hutan seperti orang utan, harimau, gajah dan juga satwa lainnya bahkan flora endemik yang hampir punah pun menjadi musnah.
Seperti yang kita ketahui bencana alam serta krisis iklim yang baru-baru ini terjadi sampai 3 pekan itu merupakan akibat dari deforestasi seperti banjir dan rusaknya DAS (Daerah Aliran Sungai) di daerah Kabupaten Sintang, Provinsi Kalimantan Barat. Hal ini jika dilakukan secara terus menerus bisa berakibat fatal bagi kita sebagai makhluk hidup seperti penaikan suhu panas bumi secara drastis, mengancamnya kesehatan, hingga bisa menyebabkan kematian.
Bahkan menurut laporan WHO krisis iklim ini juga menjadi ancaman terbesar bagi umat maunusia, ditambah lagi dengan cuaca yang sangat ekstrem akibat dari deforestasi tadi. Laporan terbaru di jurnal The Lancet, “Countdown on Health and Climate Change” membahas trend krisis iklim yang menjadi perhatian, yaitu “kode merah” bagi kesehatan manusia. Dengan demikian, beberapa deretan permasalah perubahan iklim seolah-olah menjadi alarm urgensi bagi kita untuk menekan lajunya perubahan iklim yang dihadapi saat ini.
Menurut Greenpeace yang merupakan organisasi kampanye independen yang menggunakan aksi konfrontatif, kreatif, dan tanpa kekerasan dalam mengungkap masalah-masalah lingkungan global, selain itu juga Greenpeace mendorong solusi yang memungkinkan untuk mewujudkan masa depan yang hijau,damai,aman serta nyaman.
Secara umum tujuan Greenpeace ini adalah menjaga bumi agar yang rapuh tetap bisa memiliki daya kemampuan untuk menopang kehidupan seluruh makhluk hidup serta isi. Untuk mencapai tujuan tersebut, Greenpeace mendukung gerakan penghijauan dan menawarkan solusi dari setiap praktik perusakan lingkungan.
Adapun fokus kampanye Greenpeace selalu diprioritaskan kepada masalah-masalah terbesar yang dihadapi setiap negara. Salah satu aksi yang mereka lakukan untuk saat ini dalam membantu mengurangi bencana alam serta krisis iklim yang terjadi di Indonesia adalah dengan mendukungnya COP26 dan mereka sangat mendukung dalam aksi COP26 yang akan di selenggarakan pada bulan ini.
Namun apakah COP26 itu? COP26 merupakan pertemuan tingkat tinggi pertama di mana setiap negara memiliki tuntutan baru, lebih dari 100 negara berkembang telah bersepakat untuk menyampaikan tuntutan jelang COP26 dan salah satunya adalah oendanaan dari negara-negara maju untuk memerangi maupun menanggulangi perubahan iklim.
Selain itu pada COP26 ini akan dapat menemukan cara terbaik atau solusi dalam menerapkan sistem pasar karbon dan kredit karbon. Sistem ini merupakan mekanisme agar negara penghasil karbon untuk membayar emisi yang dikeluarkannya, dan negara yang telah menerapkan ekonomi hijau untuk menjual kredit karbon. Sebagai konferensi iklim terbesar yang melibatkan para pemimpin dunia, tentunya masayarakat semua menaruh harapan besar pada COP26 agar bisa menemukan jalan keluar bagi penanganan lajunya krisis iklim yang sedang kita hadapi.
Dalam mendukung aksi COP26 tersebut, Greenpeace sangatlah kecewa dengan KT COP26 yang ternyata tidak melahirkan kesepakatan ambisius dan beberapa negara juga mengusulkan pelonggaran target berdasarkan kepentingan nasional masing-masing. Padahal seperti kita ketahui bahwa target-target yang kuat dan terukur untuk mencapai target utama dalam pemanasan global maksimum 1,5 derajat Celcius.
Walaupun hasil COP26 tidak membuahkan hasil, kita sebagai makhluk hidup harus bekerja sama dalam pencegahan lajunya deforestasi agar bencana alam yang diakibatkan oleh krisisnya iklim tidak terus menerus berdatangan.
Dalam menghindari perubahan iklim yang terus terjadi di Indonesia pemerintah juga telah melakukan berbagai upaya di antaranya menginisiasi sistem penganggaran perubahan iklim atau Climate Budget Tagging dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dalam jangka waktu selama 2016–2019, rata-rata realisasi belanja untuk perubahan iklim yang besar ini mencapai Rp.86,7 triliun per tahun dan rata-rata alokasi anggaran perubahan iklim di APBN juga mencapai 4,1 persen per tahun. Saat ini, pemerintah pun masih bersikap permisif memberi kelonggaran kepada industri-indutri menggarap lahan gambut.
Seharusnya pemerintah proaktif dalam menyasar lahan gambut yang dieksploitasi atau dikeringkan oleh perusahaan yang berawal dari pemberian izin-izin pembukaan lahan di atas ekosistem lahan gambut. Selain itu juga,pemerintah harus mengevaluasi kebijakan sebelumnya yang melegalisasi atau mempercepat terjadinya degradasi gambut.
Komitmen ini harus ditindaklanjuti dengan penindakan yang tegas seperti mencabut izin usaha dan ganti rugi pemulihan lingkungan agar memberikan efek jera kepada pelaku, ketimbang sanksi administrasi yang lunak bagi perusak lingkungan agar mereka tidak bisa leluasa untuk melakukan hal tersebut,barulah bisa mengurangi bencana alam serta krisis iklim yang terjadi.
Sesi mimbar bebas internasional “Conference of Students: Response of COP26” yang telah digelar pada Sabtu (20/11) lalu merupakan wujud kolaborasi antara BEM UI, Greenpeace Indonesia, dan 350.org, sebagai inisiasi untuk menghadirkan suara generasi muda demi bumi.
Saatnya anak muda dengar, dan ikut serta aksi demi menentukan di masa depan. Serta dilansir dari instagram @greenpeaceid, “Kita tidak butuh janji manis para pemimpin dan politisi, kami butuh aksi nyata sesegera mungkin untuk meredam lajunya krisis iklim ini. Jika pemimpin dunia tetap tidak menganggap serius kondisi kita saat ini, maka anak-anak muda di seluruh dunia yang akan bersuara dengan lantang.”(*)
Penulis merupakan Mahasiswa Program Studi Sosiologi Fakultas Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Politik Raja Haji Tanjung Pinang.