Dimas Iqbal Romadhon*
PIRAMIDA.ID- Program vaksin COVID-19 gratis mulai berlangsung di berbagai daerah. Pemerintah mengatakan warga yang menolak divaksin dapat dikenai hukuman pidana berupa penjara dan denda sesuai Undang-Undang (UU) Kekarantinaan Kesehatan.
Sepanjang sejarah program vaksinasi di Indonesia, sanksi denda terhadap penolak vaksin belum pernah diterapkan.
Ketika perang melawan cacar api (smallpox) pada 1960-1970an, pemerintah menerapkan pendekatan militeristik dan rantai komando untuk mengintimidasi mereka yang menolak vaksinasi.
Pasca Reformasi, pemerintah mencoba meredam narasi penolakan dengan menggunakan fatwa-fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Jika benar-benar diterapkan, kebijakan memberi sanksi ini akan bersifat eksperimental karena belum ada bukti yang mendukung keberhasilan penerapannya.
Saya berpendapat denda terhadap penolak vaksin adalah kebijakan yang tidak tepat dan tidak etis, bahkan berdampak buruk untuk jangka panjang.
Imunitas sosial
Keberhasilan program vaksinasi membutuhkan pendekatan imunitas tubuh dan imunitas sosial.
Pemberian vaksin ditujukan untuk melatih respons dan memori antibodi dalam tubuh sehingga sistem imun bekerja dengan tepat dan akurat ketika ada ancaman virus yang sebenarnya. Vaksin bisa jadi tidak efektif jika gagal mengaktifkan respons dan memori yang diharapkan.
Karena potensi kegagalan vaksin membangun sistem imun tubuh selalu ada, maka sistem imunitas harus dibangun secara sosial juga.
Vaksinasi harus dilakukan menyeluruh ke setiap anggota masyarakat, kecuali yang secara medis tidak dianjurkan untuk menerima vaksin, dengan tujuan membentuk kekebalan kelompok (herd immunity).
Imunitas sosial adalah perilaku individu dan sosial dalam membangun kekebalan individu dan melindungi kawanannya terhadap ancaman penyakit menular.
Imunitas sosial berarti kekebalan masyarakat terhadap penyakit menular dibangun bersama-sama, bukan upaya satu aktor saja.
Prinsip utama imunitas sosial adalah saling ketergantungan. Setiap anggota masyarakat, bahkan anak-anak, berperan aktif dalam membangun imunitas sosial ini, terutama ketika sedang dalam kondisi terancam.
Dalam rangka mencapai imunitas sosial, menerapkan denda adalah kebijakan kontraproduktif.
1. Tidak tepat
Ada tiga alasan mengapa kebijakan sanksi ini tidak tepat.
Pertama adalah narasi wabah yang masih kacau. Dalam sebuah wabah, setiap orang menarasikan penyakit berdasarkan pada pengalaman personal dan saluran informasi yang bisa mereka akses.
Narasi wabah tentu saja mempengaruhi narasi vaksinasi. Masyarakat yang tidak percaya pada bahaya wabah tentu kurang merasakan perlunya vaksinasi.
Data etnografi saya banyak menemukan warga yang menganggap wabah COVID-19 ini adalah bencana ekonomi, bukan kesehatan. Menurut mereka, lebih baik pemerintah segera mengizinkan aktivitas ekonomi berjalan normal atau menambah jumlah dana bantuan sosial ketimbang menginvestasikan uang triliunan rupiah untuk membeli vaksin yang efektivitasnya masih meragukan.
Kedua, menerapkan hukuman malah memberikan pilihan bagi mereka yang menolak vaksinasi untuk memilih dihukum ketimbang divaksin. Salah satunya adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat Ribka Tjiptaning yang secara terbuka mengatakan bersedia membayar denda ketimbang divaksin. Mereka yang membayar denda kemudian merasa terbebas dari kewajiban untuk vaksinasi.
Lebih buruk lagi, hukuman denda atau pidana juga berpotensi menjebak pemerintah dalam proses peradilan yang berlarut-larut jika ada yang menggugat kebijakan ini.
Ketiga, infrastruktur imunisasi massal di Indonesia masih belum tertata dengan baik.
Belajar dari kegagalan kampanye imunisasi campak-rubella massal di tahun 2017-2018, bencana alam dan ketidakmerataan akses dan ketersediaan vaksin juga dapat menjadi batu sandungan untuk keberhasilan program imunisasi massal COVID-19.
Ada baiknya pemerintah fokus di infrastruktur vaksinasi alih-alih sibuk mendata dan mendenda mereka yang menolak vaksinasi.
2. Tidak etis
Banyak ahli berpendapat bahwa wabah COVID-19 yang semakin tak terkendali di Indonesia ini bermula dari kebijakan pemerintah yang lamban dan saling bertabrakan dalam menerapkan protokol kesehatan di awal-awal wabah.
Masyarakat justru lebih cepat melakukan lockdown lokal daripada pemerintah. Pemerintah dianggap tidak benar-benar serius dalam menerapkan kebijakan pencegahan penularan wabah dan sikap pemerintah membuat masyarakat sangat frustasi.
Mendenda penolak vaksin justru terlihat sebagai bentuk “lepas tangan” pemerintah atas kegagalan mengontrol penyebaran wabah dengan menitikberatkan masyarakat penolak vaksin sebagai sumber masalah.
Jika pemerintah boleh mendenda masyarakat yang menolak vaksin, apakah masyarakat bisa mendenda pemerintah karena lamban mengambil kebijakan pada awal-awal pandemi?
3. Dampak negatif jangka panjang
Kebijakan sanksi dapat dimanfaatkan menjadi isu sosial dan politik berdampak panjang.
Ini terjadi di Inggris setelah pemerintah mengenakan denda pada penolak vaksin cacar api pada pertengahan Abad ke-19.
Kebijakan itu justru menjadi bumerang bagi pemerintah Inggris karena banyak penolak vaksin – mayoritas rakyat kelas pekerja dan kelas menengah – yang tidak mampu atau menolak membayar.
Banyak dari mereka kemudian dipenjara, akibatnya masalah baru muncul di sistem pemenjaraan.
Pendekatan yang koersif ini ditentang oleh pihak oposisi pemerintah yang menghubungkan isu ini dengan kegagalan regulasi kesejahteraan sosial di Inggris dan eksploitasi pemerintah terhadap tubuh warga.
Gerakan anti-vaksinasi berubah menjadi gerakan politik revolusioner anti-pemerintah dan pendukung anti-vaksinasi mulai mendapatkan panggung hingga saat ini.
Belajar dari Inggris, kebijakan denda penolak vaksin ini akan sangat mudah dipolitisasi.
Apalagi ada kemiripan antara Indonesia saat ini dengan Inggris ketika itu, yaitu sistem kesejahteraan sosial masih kacau balau dan masyarakat terbelah oleh keberpihakan politik.
Mekanisme denda penolak vaksin sangat perlu dikaji ulang; tentu kita tidak ingin memberikan panggung publik bagi penolak vaksin, bukan?
Membangun imunitas sosial
Mendenda penolak vaksin tidak sejalan dengan prinsip interdependensi dalam pendekatan imunitas sosial.
Lewat kebijakan denda, pemerintah menempatkan diri sebagai aktor utama dan masyarakat sebagai obyek tindakan pendisiplinan.
Menempatkan masyarakat sebagai aktor yang setara dalam menciptakan kesehatan berarti mendengarkan aspirasi mereka secara produktif dan tidak menganggap narasi penolakan sebagai ancaman.
Perlu ada interaksi dua arah antara masyarakat dengan pemerintah, bukan sekadar edukasi dan kampanye yang sifatnya satu arah. Pemerintah juga harus serius menindaklanjuti saran dari masyarakat.
Menurut data survei yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, WHO, dan UNICEF pada Oktober 2020, sebanyak 7.60% responden akan menolak vaksin COVID-19, sementara 27.60% persen menyatakan belum memutuskan.
Responden yang menolak menyatakan kekhawatiran akan keamanan, efektifitas, adverse event (kejadian ikutan) dan alasan keagamaan.
Pemerintah berkewajiban mengetahui tingkat efektifitas, keamanan, dan kualitas setiap produk vaksin yang digunakan, dan menyampaikan secara jelas dan apa adanya kepada masyarakat untuk menghindari multi-interpretasi dan misinformasi.
Kesehatan masyarakat harus menjadi prioritas, sehingga jika produk vaksin yang ada masih di bawah harapan, maka lebih baik pemerintah tidak terburu-buru menggunakannya.
Alasan keagamaan juga perlu diperhatikan dengan serius. Pemerintah perlu berinvestasi mengembangkan teknologi vaksin yang memenuhi kriteria agama, misalnya lewat kerja sama produsen vaksin dan MUI.
Membangun imunitas sosial jauh lebih penting daripada mendenda masyarakat yang sudah menderita secara kesehatan dan ekonomi.
Selain itu, solusi ini juga bermanfaat untuk jangka panjang mengingat bencana wabah COVID-19 ini bisa jadi bukan wabah terakhir yang akan kita hadapi.(*)
Penulis merupakan Kandidat Ph.D di Universitas Washington. Artikel republikasi dari The Conversation.