Suhunan Situmorang*
PIRAMIDA.ID- Aku rindu dan seolah dipanggil menelusuri kota tua yang dialiri satu sungai yang jernih airnya saat musim dingin itu; mencatat di benak ratusan atau ribuan kisah kepedihan yang tak tersuarakan karena disumbat kekejaman, hingga seorang pemikir berkata: “Tak ada lagi yang lebih perih dari yang pernah terjadi di sini.”
Berapa juta doa dilafalkan mulut-mulut yang gemetar dan wajah-wajah ketakutan, tetapi tak ada tanggapan dari langit. Kosong. Hampa.
Setiap hari ribuan burung gagak tetap mengitari angkasa seperti menari-nari menyaksikan bangkai-bangkai orang-orang yang melantunkan doa dengan nada iba, pun putusasa.
Seorang remaja pria yang menyapaku di teras satu kedai kopi dengan mata sendu, tiba-tiba mengajakku ke flat huniannya di sudut jalan yang dipenuhi salju.
Katanya, ia akan bercerita tentang perpisahannya dengan ayah ibu dan dua saudaranya, di suatu pagi yang beku. Sekawanan serdadu mendobrak pintu hunian di lantai tiga bangunan panjang berlantai empat itu, menyeret orangtuanya dan juga kedua adiknya, lalu dilemparkan ke dalam truk yang telah dijejali manusia segala usia.
Ia menyaksikan dari kejauhan sambil gemetaran, mengintip dari balik pohon tua yang tak lagi berdaun karena ditindih salju. Pagi yang nyaris membuat tubuh beku itu, ia disuruh ayahnya membeli roti di toko langganan yang kian hari kian enggan melayani pembeli sebangsa dirinya.
Truk serdadu itu kemudian pergi, membawa puluhan orang hasil razia, termasuk ayah ibu dan adik-adiknya. Setelah merasa aman, ia melangkah cepat menuju rumahnya. Sebungkus roti yang ia beli diletakkannya begitu saja di atas meja dapur.
Ia menangis sekeras-kerasnya sambil menggigit ujung jaketnya agar tak didengar tetangga. Saat meraung sambil memandang jalan di bawahnya, tiba-tiba satu tembakan menghancurkan kaca jendela. Tembakan kedua menembus dadanya, berasal dari bangunan di seberang, entah siapa yang menembakkan.
Seketika tubuhnya rubuh, darahnya menggenangi lantai. Tiga hari kemudian, beberapa tentara membawa tandu sambil menutup hidung dengan kain putih tebal; tetangga-tetangga telah melaporkan bau mayat yang membuat mereka sampai muntah.
“Tetapi aku tetap duduk di dekat jendela itu,” ujarnya disertai senyum. “Memandang ke bawah, menunggu ayah ibu dan kedua adikku kembali. Sampai sekarang.”
Aku mengangguk dengan mulut seolah beku. Kureguk kopi tanpa gula yang telah dingin, menyalakan sebatang sigaret kretek yang kubawa dari Jakarta.
“Bangsa kami tidak suka merokok,” ucapnya tanpa aku tanya. “Tetapi aku tahu bau asapnya. Aku belum pernah lihat seperti rokokmu ini. Aromanya eksotik. Seperti asap rempah atau aroma dupa.”
“Ini hanya ada di Indonesia,” kataku walau tahu dia pasti tak tahu di mana negeri yang kumaksud. “Kusarankan, kau tak usah mencoba rokok karena bisa membuatmu jatuh suka, dan itu bisa merepotkanmu. Apalagi jenis yang kuhisap ini.”
Ia memandang bungkus kretek warna kuning itu beberapa saat. “Apakah ada artinya angka-angka ini?” Tanyanya kemudian sembari mendekatkan telunjuknya ke bungkus kretek.
Aku menggeleng. “Mungkin produsennya yang tahu.”
“Bila dijumlahkan jadi sembilan. Aku yakin ada artinya,” ucapnya seperti peramal.
“Mungkin. Tapi aku tak peduli dan tak mau tahu.”
“Kita perlu memaknai tiap simbol atau lambang.”
“Aku tak begitu tertarik,” balasku sambil mengangkat bahu.
“Tetapi kau sendiri memiliki simbol, lambang, meski tak kau perlihatkan.”
“Lambang apa? Simbol apa?” Usutku penasaran sebab aku tak mengenakan atau memakai apa pun di sekujur tubuhku, pula tak ada tato.
“Keyakinanmu, yang kau imani selama ini.”
“Oooh. Itu? Tapi..bagaimana kau tahu sedangkan aku belum…”
“Aku tahu tanpa kau katakan.”
Aku mengangguk-anggukkan kepala disertai penasaran: bagaimana dia tahu lambang yang kusucikan.
“Hotel tempatmu menginap, itu bekas rumahku. Hunian kami. Itu warisan kakekku.”
“Oya?”
Ia mengangguk, kepalanya kemudian menunduk. “Di kamar tempatmu tidurlah kejadian itu. Sampai sekarang aku masih duduk di dekat jendela kaca itu, menunggu ayah ibu dan kedua adikku.”
“What?”
Ia menyampingkan wajahnya, seakan mengajakku melihat ke suatu masa. “Aku mengikutimu selama di kota ini,” ujarnya tanpa memalingkan muka ke arahku. “Sejak kau datang ke rumahku, ingin kuajak bicara. Tapi, di kedai kopi inilah tempat yang paling sesuai kurasa. Tak ada yang mengenalku di sini. Aku merasa aman untuk bercerita.”
Aku tak paham.
“Tak ada mata-mata yang menyampaikan ke serdadu-serdadu itu. Tukang roti langganan orangtuaku itu pun jarang ke sini.”
Aku menarik napas. Mataku membelalak sambil menunggu yang akan dikatakannya.
“Aku akan terus menunggu ayah ibu dan kedua adikku di dekat jendela kaca itu. Lama sekali mereka kembali..,” ujarnya dengan suara parau.
Airmatanya lantas bercucuran. Aku jadi gelagapan.
Tak lama kemudian dia pamit. Agak tergesa aku habiskan sisa kopi di wadah plastik yang telah dingin.
Kutelusuri trotoar-trotoar sampai kemudian berhenti di tepi sungai yang sunyi, hingga temaram senja semakin mengelamkan kota.
Kota yang tiada jemu mengundangku untuk menuliskan ratusan atau malah ribuan kisah tentang kekejaman manusia.***
Penulis merupakan praktisi hukum yang berkiprah di Jakarta. Penulis novel “Sordam”. Ulasan ini merupakan saduran dari laman Facebook pribadinya dan telah mendapat persetujuan untuk dimuat di Piramida.id.