PIRAMIDA.ID- Proses penyelesaian konflik agraria di wilayah Provinsi Jambi, diakui masih menapaki jakan terjal oleh Manager Advokasi Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jambi, Eko Mulyo Utomo.
Saat berbincang seputar konflik agraria dengannya di Kantor Walhi Jambi, Eko mengakui konflik agraria telah terjadi antara masyarakat dengan berbagai sektor industri. Namun saat ini daerah dampingan Walhi Jambi lebih banyak berkonflik dengan perusahaan yang bergerak di sektor Hutan Tanaman Industri (HTI).
“Kalau Walhi sendiri membagi wilayah konflik agraria itu ada 3, ya berdasarkan proses penyelesaiannya, pertama di sektor HTI, perkebunan, dan restorasi. Memang proses penyelesaian konfliknya itu lebih banyak terjadi di wilayah HTI, misalnya konflik dengan WKS dan izin-izin HTI yang lain. Itu yang hari ini kita fokus untuk penyelesaian konfliknya karena sudah lama berlangsung, sejauh ini kita mendorong di 20 desa untuk proses penyelesaian konfliknya,” kata Eko, Selasa (26/07/2022).
Konfliknya menyebar, Eko menjelaskan peta sebaran konflik agraria dampingan Walhi Jambi hari ini meliputi 7 wilayah Kabupaten di Provinsi Jambi, di antaranya Kabupaten Muarajambi, Batanghari, Tanjungjabung Barat, TanjungjabungTimur, Merangin, dan Sarolangun.
“Itu lebih ke konflik sawit dan HTI. Ada juga dengan perusahaan restorasi,” ujar Eko.
Dari 7 Kabupaten itu, Kabupaten Tanjungjabung Barat menjadi daerah dengan tingkat konflik agraria tersesar antara masyarakat dengan perusahaan HTI disusul Kabupaten Tebo. Adapun perusahaan yang terlibat, sudah tak asing lagi, yakni PT Wira Karya Sakti (WKS).
Namun meski begitu, menurut Eko, Walhi Jambi tetap konsisten mendorong penyelesaian konflik dengan perusahaan. Pihak perusahaan pun dinyatakan telah berkomitmen. Meskipun dalam pelaksanaannya, konflik agraria dengan masyarakat belum juga tuntas, salah satunya di Kabupaten Tebo.
“Di wilayah yang Tebo, Lubuk Mandarsah.
Total areal ada 1500 hektar yang kita minta dilepaskan dari konsesi WKS, hari ini itu dikelola oleh masyarakat, walaupun belum sepenuhnya,” katanya.
Perjuangan Walhi dengan skema Wilayah Kelola Rakyat (WKR) yang meliputi, tata kuasa, kelola, produksi, hingga konsumsi. Menjadi salah satu perjuangan berat dalam mewujudkan kedaulatan rakyat serta kelestarian lingkungan hidup. Karena, kata Eko, persoaan hari ini agar bagaimana masyarakat bisa berdaulat di wilayah kelola sendiri masih susah.
“Masyarakat hari ini, banyak belum mendapat pengakuan dari perusahanan ataupun pengakuan legal formal atas wilayah kelola mereka sendiri oleh negara,” ujarnya.
Hal tersebut kemudian juga diperparah dengan berbagai pola konflik yang berlangsung akibat penerbitan semacam izin-izin HTI dan perkebunan yang diterbitkan oleh negara. Sampai pada izin untuk restorasi ekosistem yang diterbitkan negara di wilayah masyarakat adat dengan dalih konservasi lingkungan. Seperti yang terjadi di kabupaten Tebo, antara masyafakat Suku Talang Malak dengan PT Alam Bukit Tigapuluh (ABT)
“Bagi kita itu clear ya, konteks masyarakat adat punya sistem dan metode sendiri soal bagaimana mengolah dan memanfaatkan wilatah kelola mereka. Kemudian juga, ada misalnya di Batanghari, masyarakat transmigrasi yang sampai hari ini belum mendapatkan haknya, mereka ditempatkan oleh negara tapi wilayah kelola mereka itu ga dapat,” katanya.
“Nah itu yang kita sampai hari ini sedang kita dorong untuk mendapat hak nya,” katanya.
Di Kabupaten Muarajambi, Eko juga mengungkap hak-hak masyarakat yang belum juga terpenuhi. Karna wilayahnya sudah dikuasai oleh korporasi lewat izin yang ditebitkan oleh negara.
“Kalau negara melihat ini potensi untuk diberikan pada investor agar negara dapat pajak. Masyarakat punya pandangan lain, soal tanah untuk kesejahteraan mereka,” kata Eko.
Pertumbuhan investasi dengan dalil membuka lapangan kerja yang kian masif pun tak pelak membuat wilayah kelola rakyat kian sempit. Bahkan, kata Eko, hari ini itu sudah tidak ada lagi wilayah cadangan itu, karna negara telah menjatahkan ribuan hektar lahan itu untuk diberikan pada investor.
“Susut pandang negara melihat potensi SDA yang ada di Jambi masih dalam bentuk eksploiatif. Tidak melihat bagaimana fungsi dan manfaatnya. Investor berorientasi pada provit sementara masyarakat hanya butuh SDA dalam hal ini katakan lahan untuk bertahan hidup,” ujarnya.
Berbagai skema yang diharapkan dapat mengurai sengkarut persoalan agraria pun telah didorong, namun lagi-lagi komiten penuh pihak perusahaan dan juga pemerintah dalam mengatasi ketimpangan penguasaan lahan yang masih massif terjadi masih terus jadi pertanyaan.
Salah satu skema yang dinilai dapat mengurai konflik agraria seperi ketentuan 20% lahan plasma untuk dimitrakan pada masyarakat sekitar perusahaan perkebunan sebagaimana yang tercantum dalam UU No 34 tahun 2014 tentang Perkebunan, juga telah diupayakan namun belum ada realisasi yang terwujud dikakukan oleh pihak perusahaan.
Eko berujar, jika tak jarang perusahaan beralasan jika luas areal yang diusahakan sesuai dengan izin yang diperoleh belum dikelola sepenuhnya.
“Faktanya tak sedikit perusahaan yang mereka mengelola lebih dari luasan izin HGU mereka. Hari ini informasi seperti itu tidak sampai ke masyafakat. Ada juga klaimnya bahwa mereka bermitra diluar izin yang diberikan. Banyak kejadian seperti itu. Dia menawarkan mitra tapi di luar konsesi,” ujarnya.
“Artinya itu wilayah produktif masyarakat yang dimitrakan. Dia dapat double, itu fakta dilapangan,” kata Eko menambahkan.
Terkait bentuk kenakalan perusahaan yang seperti itu maka menurut Eko peran Negara atau pemerintah Provinsi lewat OPD terkait sebagai otoritas harus memaksimalkan peran untuk memonitoring dan mengevaluasi izin-izin baik perkebunan ataupun HTI. Jika yang melakukan perambahan hutan adalah masyarakat dengan luasan yang tidak tergolong besar, Eko menilai harusnya ada keringanan. Tapi kalau sudah pelakunya perusahaan tentu harus ada sangsi tegas.
“Pemerintah daerah harusnya melakukan monitoring evakuasi. Diievaluasi betul izin-izin yang mereka kasih. Termasuk proses penyelesaian konflik,” katanya.
Soal reforma agraria di Provinsi Jambi, Walhi menilai jika niatan pemerintah hari ini untuk penyelesaian konflik di Provinsi Jambi masih setengah hari. Sekalipun Reforma Agraria merupakan nawacita Presiden Joko Widodo.
“Kalau hanya sebatas rekomendasi, itu juga bisa dilakukan oleh kita dan teman-teman NGO yang lain. Kalau pemerintah hari ini hanya bisa memberikan rekomendasi lalu siapa yang melaksanakan rekomendasi itu. Kalau saya rasa, lebih baik itu Pansus kemarin menyelesaikan sedikit kasus daripada hanya memberikan rekomendasi tapi tidak ada kasus yang tuntas!” kata Eko. (Juan/Jambi)