Aris Santoso*
PIRAMIDA.ID- Kita seolah mundur ke abad pertengahan, ketika feodalisme seolah bangkit kembali. Feodalisme yang dulu ditumpas habis oleh Generasi 45, kini sedang mencari jalan untuk kembali.
Dinasti politik harus dilawan, karena kurang memberi kesempatan pada anak-anak dari rakyat jelata untuk tampil sebagai pemimpin, seberapa pun hebatnya anak tersebut. Selain itu, dinasti politik juga kurang memenuhi asas keadilan, karena ingin terus berupaya menghegemoni kekuasaan politik dan sumber daya ekonomi.
Bagi generasi milenial Jakarta, sudah muncul olok-olok, bahwa politik Indonesia tengah dikuasai GAM (Gabungan Anak Menteng), yang mengacu pada sebuah kawasan elite (juga vintage) di Jakarta. Tentu salah satu yang dimaksud adalah Jalan Cendana atau Jalan Teuku Umar. Sejak lama telah dikenal trah Cendana, yakni dinasti politik anak-cucu Soeharto, utamanya merujuk pada Mas Tommy dan Mbak Titik. Sementara Jalan Teuku Umar, adalah rumah keluarga besar Megawati Soekarnoputri.
Elite politik negeri ini, sejak dulu memang umumnya tinggal di kawasan Menteng, termasuk Bung Hatta (Jl Diponegoro), M Natsir (Jl Jawa) dan Sutan Sjahrir (Jl Latuharhary), kecuali Tan Malaka, yang tidak pernah kita ketahui dimana rumah tinggal pribadinya. Yang membedakan elite terdahulu dan elite sekarang adalah soal gaya hidup dan kesejahteraan, elite terdahulu dikenal sangat bersahaja, tidak tamak terhadap harta.
Aktualisasi nasionalisme
Kecenderungan munculnya dinasti politik adalah bukti kebebalan generasi tua, yang tidak sadar akan arus zaman yang berubah secara cepat. Generasi tua lupa, bahwa arus globalisasi menjadikan masa lalu tidak bisa selalu dijadikan pegangan. Tantangan bisa datang dari masa depan dengan kecepatan supersonik. Bisa kita bayangkan apa yang akan terjadi pada masyarakat kita kelak, bila dinasti politik hidup lagi.
Kaum tua seolah lupa sejarah, bahwa selalu ada kesenjangan — lebih tepat lagi ketegangan – antargenerasi di negeri ini. Salah satu yang paling gamblang, adalah ketegangan antara Generasi 1966 yang sangat pro rezim Orde Baru, berhadapan dengan generasi Malari (1974), yang mulai bersikap kritis terhadap Orde Baru.
Generasi Malari telah menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya untuk terus melawan rezim Orde Baru, hingga Soeharto benar-benar turun pada Mei 1998. Bila generasi 1966 saja sudah diabaikan, bisa kita bayangkan bagaimana kondisi generasi yang lebih lampau, yaitu Generasi 1945, tentu citranya lebih suram lagi. Bila generasi milenial masih bersedia mengingat Generasi 45, itu lebih karena rasa belas kasihan, bukan karena performa Generasi 45.
Bagaimana tidak, Generasi 45 selalu membanggakan semangat nasionalismenya, ironisnya semangat nasionalisme itu mereka hanguskan sendiri, melalui serangkaian tindak korupsi, penindasan rakyat, pelanggaran HAM, dan seterusnya, saat Generasi 45 mencapai puncak kekuasaannya, dengan sosok Soeharto sebagai representasinya.
Tradisi kekuasaan yang dulu dikembangkan Generasi 45, sampai kini masih meninggalkan jejak kuat. Seperti yang pernah dikatakan tokoh Gerakan Malari 1974 Hariman Siregar, bahwa demokrasi hari ini adalah demokrasi yang sudah dibajak dengan uang, dibajak dengan orang kaya dan menciptakan dengan prosedur yang sangat mahal.
Pilar gerakan civil society
Nasionalisme (versi) generasi milenial telah terbukti menjadi pilar gerakan civil society hari ini. Salah satu yang fenomenal, adaah generasi milenial yang tergabung dalam Aksi Kamisan, yang kini sedang rehat sejenak karena pandemi. Tentu ada banyak komunitas dan kantong generasi milenial lain.
Seperti gerakan masif tahun lalu, yang memberi dukungan pada KPK, yang sedang dicoba dilemahkan secara terstruktur melalui revisi UU KPK (2019). Kemudian aksi menentang tindakan ormas vigilante yang secara kasatmata merendahkan saudara-saudara kita asal Papua.
Kiprah generasi baru telah menjadi ikonik di tengah gelombang gerakan civil society. Mereka adalah generasi aktivis yang berani menyatakan hati nuraninya, walaupun bertentangan dengan penguasa. Sebuah generasi yang tidak mencari kekayaan melulu, namun keadilan dan kebenaran. Apa boleh buat, bila saya harus mengatakan bahwa generasi ini sebagai pelanjut cita-cita humanisme universal, yang dulu coba disemaikan Sutan Sjahrir dan Soe Hok Gie.
Dari observasi lapangan, salah satu temuan menarik adalah, mereka bukannya tidak tertarik pada politik dan kekuasaan, namun mereka memiliki peta jalan sendiri untuk mengekspresikan aspirasi mereka. Keterlibatan dalam aksi Kamisan, merupakan salah satu bentuk ekspresi mereka membela korban pelanggaran HAM.
Ketika elite di Istana tidak pernah merespons aksi Kamisan, padahal aksi itu hanya sepelemparan batu jaraknya dari Istana, bisa kita tebak bagaimana pandangan generasi milenial terhadap kekuasaan.
Wajar bila mereka kemudian bersikap dingin terhadap kekuasaan. Mereka tidak peduli dengan keberadaan generasi milenial yang menjadi staf khusus Presiden Jokowi, yang pada akhirnya publik juga tahu, bagaimana kualitas pejabat publik karbitan seperti itu. Atau ada sebagian generasi milenial yang memburu remah-remah kesejahteraan dari penguasa, dengan profesi yang masih terdengar aneh dengan menjadi buzzer atau influencer.
Suara generasi milenial adalah simbol kedaulatan, idealnya generasi milenial bisa menggunakan suaranya secara kritis, tidak sekadar mengikuti kemana angin bertiup. Meskipun angin itu digerakkan para senior atau (terlebih) para penguasa.
Generasi milenial telah banyak belajar dari generasi terdahulu. Salah satunya adalah soal perilaku politik, yang kemudian banyak ditiru generasi berikutnya, sebut saja itu sebagai komodifikasi jasa. Maksudnya, bahwa jasa mereka di masa perjuangan dulu, harus bisa dikonversi dengan kekuasaan, yang berujung pada kesejahteraan.
Model ini yang kemudian ditiru generasi-generasi berikutnya, mulai Angkatan 66 sampai 1990-an, bahwa andil dalam menumbangkan sebuah rezim di masa lalu harus ada imbal baliknya. Dengan cara seperti ini, publik tidak wajib lagi memberikan apresiasi, karena jerih payah mereka di masa lalu, sudah terbayar lunas, bahkan mungkin berlebih.
Faktor pendidikan
Salah satu cara untuk meruntuhkan dinasti politik adalah melalui jalur pendidikan. Artinya generasi milenial, khususnya dari masyarakat bawah, harus sekolah yang setinggi-tingginya, agar memperoleh akses menuju kekuasaan. Sudah menjadi hukum besi sejarah, bahwa publik lebih percaya pada omongan orang yang berpendidikan tinggi.
Dari keluarga pemimpin negeri masa lalu, yang sekolah anak-anaknya terbilang membanggakan adalah Bung Hatta dan BJ Habibie. Artinya anak-anak mereka terbilang siap bila suatu saat dipanggil negara, untuk menjadi pejabat publik, seperti pernah terjadi pada Dr. Meutia Farida Hatta.
Kemudian anak pertama Habibie, Ilham Akbar Habibie, kini menjadi pakar digantara skala global seperti ayahnya. Artinya, publik merasa firm bila mereka-mereka ini suatu saat berkiprah di dunia politik.Untuk menjadi pejabat publik, faktor pendidikan adalah mutlak, ketika begitu banyak sarjana dari generasi milenial.
Kita bisa belajar dari keluarga penguasa masa lalu, (khususnya) Soeharto, yang sekolah anak-anaknya tidak terlalu berhasil, ketika dana untuk sekolah, begitu melimpah. Sungguh ironis memang, sementara Soeharto sendiri menyelenggarakan program beasiswa Supersemar, yang telah menolong ribuan mahasiswa kurang mampu, untuk menjadi sarjana.
Kita jangan terlalu percaya pula dengan ucapan bombastis Generasi 1945, yang selalu membanggakan bahwa perjuangan bersenjata adalah elemen terpenting dalam mempertahankan kemerdekaan. Bagaimana mungkin, persenjataan pasukan kita saat itu tidak sebanding dengan militer Belanda.
Adalah faktor pendidikan sebagai penentu, yang paling berperan menuju alam kemerdekaan. Tokoh-tokoh seperti Soekarno, Hatta, Sutan Sjahrir, dan seterusnya, adalah generasi terdidik di awal Abad 20. Dari merekalah aspirasi kemerdekaan mulai ditebarkan, artinya faktor buku yang lebih menentukan, sementara “bambu runcing” sekadar metafora.
Penulis sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu. Pertama kali terbit untuk DW Indonesia.