PIRAMIDA.ID- Rumah Baca Pelita Bangsa sukses mengadakan diskusi dengan mengundang beberapa elemen organisasi mahasiswa yang ada di Kota Pematangsiantar, di antaranya KSPM, Kelompok Cipayung Plus dan Ansor. Kegiatan ini dilaksanakan di Full Cafe, Jalan Narumonda, Senin (25/10/2021).
Diskusi ini mengundang Ubai Dillah Al Ansori sebagai narasumber. Diketahui, beliau adalah seorang Sastrawan/Redaktur Sastra dan Budaya Harian Rakyat Sumbar yang telah menerbitkan beberapa karyanya, yakni buku puisi “Setungkul Benang (2018)” dan “Tangan-Tangan Kisah (2021)”. Diskusi ini juga dimoderatori oleh Francius Sipayung yang merupakan founder di Rumah Baca Pelita Bangsa.
Diskusi ini mengusung tema “Sastra dan Media”. Dalam diskusi, Ubai mengatakan, membaca dan menulis bagaikan 2 buah mata pisau.
“Dalam dunia sastra untuk menjadi seorang sastrawan dia harus peka sekelilingnya dan dirinya sendiri. Seorang Sastrawan harus mulai bisa dari dirinya, orang lain, dan imajinasi yang kuat. Istilah dalam dunia sastra kita harus mampu mengawinkan diri dengan imajinasi yang kuat atau orang lain dengan imajinasi ditambah adanya kolaborasi dengan riset yang ada sehingga bisa terbangun eksistensi. Sastra media sama dengan komersil maksudnya kita hanya diberi harga 10.000 perbuku yang kita buat,” ulasnya.
Ubai juga mengatakan, bagi dia ebih dekat kepada buku cetak daripada e-book. “Mengapa? Dari pengalaman, saya pernah bertukar buku dengan sosok perempuan pembaca buku di sebuah cafe,” katanya.
Dia juga mengutarakan mengenai bagaimana lebih efisien membaca buku cetak daripada E-book. Di mana sekarang ada aplikasi iPusnas, masuk melalui google, sudah bisa pinjam buku dan mereka memberi kebijakan selama 5 hari. Buku apa saja yang ada di iPusnas.
Namun secara fisik, ujar Ubai lebih menarik memegang buku daripada Handphone. “Ketika saya memegang Handphone, ada WhatsApp masuk, saya teralihkan oleh gangguan dari notifikasi media sosial tersebut. Ketika saya membuka WhatsApp, saya ketinggalan membaca dan kembali ke e-book, saya bingung sudah sampai di mana,” katanya.
Nah, menurut dari argumen yang disampaikan Ubai, tidak ada e-book dalam dirinya. Yang ada buku cetak dan fisik. Fisik tidak akan hilang.
Selain itu Ubai juga mengajak para mahasiswa ataupun kalangan muda untuk menjadi melek literasi, hanya membaca tanpa menulis tidak akan membuat menjadi pembaca yang baik.
“Untuk itu kiranya melalui diskusi ini akan ada tindak lanjut lain ke depanya sebagai kalangan muda meningkatkan lagi literasi membaca dan menulis,” katanya.
Frans Sipayung sebagai moderator juga mengajak para kalangan muda untuk memulai mengajak anak-anak untuk selalu berliterasi, dengan memulai di desa-desa sendiri.
Di akhir kegiatan diskusi, Ubai memberikan tugas untuk para audiens untuk membuat tulisan mengenai Kota Pematangsiantar, baik dari segi alam, pendidikan, pemerintahan dan lainnya.
Adapun kegiatan diskusi ini dilakukan untuk mengajak para pemuda untuk lebih giat lagi dalam membaca buku, melihat persentase minat baca di Indonesia saat ini sangatlah rendah.
“Dengan membaca kita dapat berkeliling dunia, dengan membaca kita akan tahu hal yang ada di luar tanpa harus keluar,” tutup Ubai.(*)