Thompson Hs*
PIRAMIDA.ID- Maaf. Saya ingin bicara tentang orang lapar dan mungkin termasuk di dalamnya yang haus. Bagaimana rasanya kalau lapar dan haus? Nampaknya itu benar-benar satu paket kalau untuk urusan makan. Sebaliknya, untuk urusan minum kita tidak selalu harus menyediakan makanan. Kecuali untuk tambul seperti daging panggang, ikan bakar, dan tahu/tempe goreng.
Ada juga orang minum di kedai tuak dengan tambul jengkol atau petai. Bagaimanakah rasanya itu. Saya sudah jarang minum tuak, apalagi tuak yang dijual di perkotaan. Bahkan saudara saya dari Belanda sudah tahu yang namanya tuak oplosan dan beredar di perkotaan. Oplosan itu mungkin hasil campuran air cucian beras dan racikan tablet sakit kepala yang gampang belinya di apotek atau di kresek.
Sesekali saya masih mau minum tuak kalau di sekitar Danau Toba. Itupun melihat tempatnya. Satu tempat favorit saya untuk minum tuak adalah Lembah Bakkara, area tempat dan asal Dinasti Sisingamangaraja. Mungkin juga salah satu dari generasi dan keturunan Sisingamangaraja doyan tuak di Bakkara karena khas dengan tuak kelapa.
Jadi kalau tuak mau dilarang, silahkan larang yang oplosan. Karena itu sangat berbahaya. Tapi kadang bisa bikin bangkrut penjual obat. Bukankan satu apotik terdahulu bikin mottonya: Anda Sehat Kami Bangga. Namun sekarang tidak selalu benar-benar amat begitu. Malahan secara intrinsik sudah menjadi: Anda Sehat Kami Bangkrut.
Seorang peminum rasanya jarang lapar atau kelaparan. Selain sesekali minum tuak saya semakin cenderung memilih minuman beralkohol produk pabrikan. Khususnya bir. Bir seperti minuman tradisional saja di Eropa atau dunia Barat. Sehingga merek seperti bir ditiru di Indonesia dengan tanpa alkohol. Yang beralkohol tetap beralkohol. Sedangkan yang tidak diberikan informasi non-alkohol. Demikian minuman lain seperti wine.
Saya minum bir sebagai pilihan dengan beberapa alasan; beralkohol, steril, juga bermanfaat. Waktu kami menjelang menit-menit pertunjukan Opera Batak di kota Koeln, Jerman tahun 2013 dua teman seniman dan wartawan datang dari Belanda membawa merek bir khas dari sana.
Di Indonesia bir khas Belanda itu dikenal dengan Heineken. Rasanya seimbang dengan harganya dibandingkan dengan bir bintang atau bir anker. Kedua teman adalah seorang teaterawan berdarah campuran Batak dan Sunda. Yang satu lagi wartawan media nasional yang ditugaskan sebagai perwakilan di Eropah.
Selain menikmati bir kami diapresiasi dalam pemberitaan yang sifatnya Internasional, meskipun berita pertunjukan di Jerman diulas dengan bahasa Indonesia. Sedangkan sebelum ke sana media di Indonesia tersebut mengulas kami dengan beberapa bingkai dalam bahasa Inggris. Waktu itu pertunjukan kami adalah Opera Batak “Perempuan di Pinggir Danau”. Naskah pertunjukan sudah dalam bentuk buku terbitan KataKita (2013), salah satu penerbit di Yogyakarta.
Maaf. Saya bisa berpanjang lebar di luar soal makan, minum, dan lapar. Saya akan kembali ke tiga hal itu sampai menciut ke soal lapar dan hubungannya dengan judul. Jadi kalau panjang kasihan ibu-ibu, kalau lebar kasihan bapak-bapak. Begitu pernah kata seorang guru besar Sejarah dalam suatu pelatihan untuk kamu tentang penelitian Tradisi Lisan.
Nah, soal haus. Kita tutup saja tanpa panjang lebar. Bir beralkohol saya pilih, apalagi sehabis konsumsi daging. Sebenarnya saya sudah pernah tiga tahun menjadi vegetarian alias tidak memakan daging kecuali daging ikan dan telor. Memasuki tahun 2020 sepakat dengan istri tidak makan daging karena mau ke Austria bulan Agustus.
Maka kami kembali lagi dengan diet ketat dengan mengutamakan sarapan pagi dengan 7 – 8 jenis buah. Di pasar buah sudah bisa ditemukan banyak ragam yang bisa terjangkau harganya, termasuk apel dan anggur yang dianggap buah murah di Eropah. Berapa kali ke Eropah kami akan biasa makan daging dan minum bir dan wine. Di Indonesia kebiasaan itu tak tertahankan karena mutu dan harga.
Lha, koq jadi mau lebar lagi?
Yah, saya minum bir terutama kalau baru makan daging. Titik. Daging yang masuk ke usus dan lambung rasanya tidak akan dicerna sampai tiga hari. Namun hanya membusuk. Karena itu perlu minuman beralkohol untuk segera menghancurkannya.
Vitamin C juga bisa menghancurkan daging di dalam usus. Sedangkan sebelum disantap daging perlu diasami agar semakin asyik di lidah. Jangan lupa juga bikin sambalnya pakai andaliman. Lalu asam peras dan tabur ke semuanya. Maknyuusss.
Air ludah orang kelaparan akan selalu gampang berloncatan. Lama-lama di dalam perutnya ada seperti suara keroncong pengamen. Lambung yang belum terganggu oleh asam lambung juga seperti berjingkrak-jingkrak mau dapat saluran makan dari mulut, hulu usus yang mengunyah setiap makanan selagi sehat. Air ludah menjadi pelumas di mulut setiap makanan dikunyah, meskipun sesekali harus minum air karena permintaan tenggorokan.
Saya minum bir mau juga dengan tambul khusus. Kue pilihan atau coklat. Lama-lama rasa bir jadi hambar. Tambul itu sangat membantu agar saya tidak terlalu lama menghabiskan bir itu. Jadi saya minum bir pakai tambul bukan karema masih lapar.
Orang Lapar
Saya sering ketemu orang lapar. Kadang ada guyonan jenis orang lapar, apapun agama dan kepercayaannya! Maksudnya seseorang bisa lapar di luar lapar makanan. Ada juga yang haus di luar haus minuman. Saya tak bisa menggambarkan kalau ada orang lapar karena lapar darah dan nyawa. Kalau haus seks dapat dimaklumi, kecuali sungguh maniak seks.
Jenis orang lapar lainnya mungkin lapar nasehat atau lapar wejangan, sekaligus bisa berlaku untuk yang haus. Dalam hal ini urusan tambah dan kurang tidak tahu persis, apakah sama maksudnya seperti makan nasi.
Anda kalau minta tambah nasinya bisa juga bilang kurang (bukan kurangi!). Itulah hebatnya kalau orang benar-benar lapar makan. Berkali-kali saya ketemu orang lapar. Kalau beruntung makanan atau nasi untuknya tersedia, syukurlah bisa segera mengobati laparnya. Perut yang lapar memang harus dibuat tidak lapar. Tidak lapar dan tidak kenyang.
Begitu porsi yang baik untuk perut menurut satu rujukan. Rujukan lain mengatakan: secukupnya! Sedangkan orang lapar yang doyan makanan bilang: tak ada orang mati karena makan, kecuali tidak makan.
Makan bagi si doyan makan adalah tidak makan. Jadi tidak lapar pun tetap baginya seperti kelaparan. Kadang menjadi seperti suatu kemegahan. Sukses dengan pepatah: hidup untuk makan! Bagi mereka saya mau bertanya: apakah kalian berdoa sewaktu lapar?
Berdoa untuk makan bisa jadi formalitas. Sedangkan berdoa untuk minum, termasuk minum bir, tidak dianjurkan. Orang sakit biasa berdoa untuk minum obat, termasuk tablet yang ditelan dulu baru disusul air minum.
Semua kita yang masih normal termasuk dalam kategori orang lapar. Kita disebut orang lapar ketika benar-benar lapar. Kadang saking laparnya hingga tak mau diganggu lagi emosi lapar bisa sampai mengeluarkan keluh. Aduh, saya sudah lapar kali. Hitung-hitung yang dengar bisa disantap pula!
Di Samosir pernah dua orang pemuda baik mengeluhkan rasa laparnya. Mereka baru saja dari lapangan mengerjakan sesuatu yang bersifat material. Tenaga mereka kelihatan belum terkuras karena badan agak besar dan kukuh. Namun keluhan atas kelaparan ya mendorong saya mengatakan sesuatu ketika hidangan makanan sudah tersedia di hadapannya.
Kalau memang sudah lapar tak usah berdoa. Kenapa? Katanya sambil menunda formalitas berdoa.
Orang lapar jarang diterima doanya. Kata saya.
Benar atau tidak? Pemuda itu bilang: benar juga! Namun dia takut berdosa karena tidak berdoa sebelum makan. Saya menjawab: lebih baik berdoa sewaktu tidak lapar. Atau setelah makan. Perut lapar tidak selalu cocok dengan jam berdoa. Berdoa adalah puncak bukan lapar.
Namun syukur dan terima kasih.(*)
Penulis adalah Penerima Penghargaan Kebudayaan dari Kemendikbud RI pada September 2016 dan terlibat dalam Tim Kreatif Presiden untuk Acara Karnaval Kemerdekaan Danau Toba pada Agustus 2016.