Thompson Hs*
PIRAMIDA.ID- Adventure Documentary Festival Academy (ADFA) membuat Film Dokumenter Drama SIsingamangaraja XII dan pemutarannya dilakukan di Pendopo Rumah Dinas Gubernur Sumatera Utara pada Sabtu, 12 Desember 2020.
Sebelum karya berdurasi lebih kurang 1 jam itu diputar beberapa mata acara memberikan nuansa protokoler, termasuk menunggu kehadiran Gubernur Edy Rahmayadi dan beberapa sambutan dari perwakilan Keluarga Sisingamangaraja (Brigjen TNI Purnawirawan Tarida H. Sinambela, juga narasumber di film) dan tokoh masyarakat (Mantan gubernur, Syamsul Arifin).
Raja Tonggo Sinambela juga memberikan sambutan menjelang pemutaran yang dimulai pada pukul 21.06 sampai 22.14 WIB. Selain kapasitas sebagai cicit Sisingamangaraja XII, Raja Tonggo (cucu Raja Buntal) juga menjadi salah satu narasumber dan pemeran drama Sisingamangaraja XII sewaktu tertembak pasukan Kapten Christofel pada 17 Juni 1907.
Sedangkan masa awal penambalan Sisingamangaraja XII diperankan oleh Simson Sinambela, cucu Raja Barita. ADFA merupakan sebuah lembaga nirlaba yang beralamat di Jakarta, tepatnya di Kawasan Pos Pengumben Raya Jakarta Barat.
Perhatian ADFA atas lokalitas Sumatera Utara boleh dikatakan bukan yang pertama. Namun sudah pernah membuat satu dokumenter tentang Sumatera Utara di masa gubernur Gatot Pujo Nugroho. Dokumenter tersebut ditayangkan sejenak untuk meyakinkan hadirin dari berbagai kalangan malam itu.
Tokoh-tokoh lainnya seperti Dr. RE Nainggolan. MM, Marganti Manullang, dan Baskami Ginting, hadir dan antusias menunggu pemutaran film tersebut. Sedangkan narasumber lainnya dalam film adalah Manguji Nababan, Prof. Dr. Robert Sibarani, MS, Monang Naipospos, Haposan Bakkara, Iman Situmorang (cucu Ompu Babiat Situmorang), Raja Oloan Sinambela (anak Raja Barita), dan termasuk Tuan Syekh Haji Ali Akbar Marbun serta Menkumham Yasonna Laoly.
Representasi para narasumber mirip seperti pola yang dilakukan untuk video dokumenter oleh Panitia Peringatan 100 Tahun Wafatnya Sisingamangaraja XII dari Jakarta pada ahun 2007. Untuk melihat lebih jelas tentang pola itu bisa melirik video di sini.
Melihat konteks sejarah lokal Batak di Toba sampai masa Sisingamaraja XII, representasi kelompok Parbaringin misalnya tidak jarang ditempatkan menjadi ilustrasi yang terkesan berafiliasi dengan kelompok Parmalim.
Parbaringin merupakan pendeta dalam upacara kuno sebelum munculnya Dinasti Sisingamangaraja dan tetap berperan hingga masa Patuan Bosar Ompu Pulo Batu atau Sisingamangaraja XII. Kelompok Parbaringin pasca Sisingamangaraja XII tidak serta-merta hilang karena pelarangan atas praktik upacara bius.
Panggung Nasional Sisingamangaraja XII
Sisingamangaraja XII menjadi Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia berdasarkan SK No. 590 pada 9 November 1961. Agaknya surat keputusan yang dibuat oleh Presiden Sukarno itu sekaligus melengkapi satu peristiwa penting pada 12 Agustus 1961, yakni upacara kembalinya Kolonel Maluddin Simbolon ke Pangkuan Republik Indonesia.
Maluddin Simbolon merupakan salah satu tokoh PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) yang melakukan semacam perlawanan kepada pemerintah pusat pada tahun 1956 – 1961. Dalam gerakan yang tak jarang terkesan separatisme itu wibawa dinasti bahkan sempat digunakan melalui penamaan Resimen Ekspedisi Sisingamangaraja di bawah pimpinan Sinta N. Pohan. Perundingan sebelum upacara 12 Agustus 1961 dilakukan di komplek Makam Sisingamangaraja XII di Soposurung.
Mungkinkah Sisingamangaraja XII diangkat sebagai salah satu Pahlawan Kemerdekaan Nasional Indonesia karena peristiwa PRRI? Tentu saja hal lain dapat berperan. Misalnya peran atau adanya kedekatan Sitor Situmorang dengan Presiden Sukarno.
Kita tahu Sitor Situmorang merupakan salah satu anak dari Ompu Babiat Situmorang, ipar dan teman seperjuangan Sisingamangaraja XII setelah fase perlawanan frontal kepada kolonial Belanda. Mestinya Ompu Babiat Situmorang dapat diperjuangkan lebih awal menjadi pahlawan nasional kalau sejarah lokal tidak perlu diperhitungkan.
Raja-raja lokal pasca Sisingamangaraja XII banyak menjadi bagian dari elit pemerintahan kolonial, secara terpaksa atau tidak. Namun bibit nasionalime lokal diketahui secara umum ada kaitan serta berkembang sejak model Dinasti Sisingamangaraja yang meninggalkan kecenderungan feodal-Batak di Toba.
Panggung Sejarah Lokal Sisingamangaraja XII
Ketokohan Sisingamangaraja XII antara sejarah nasional Indonesia dan sejarah lokal Batak di Toba nyata-nyata dapat menarik perhatian. Itulah misalnya kenapa di satu sisi peran keturunan SIsingamangaraja XII selama ini tidak begitu dominan melancarkan suatu pengaruh dalam berbagai kegiatan dan kelembagaan.
Sedangkan di ranah dan persoalan lokal model ketokohan seperti Sisingamangaraja sering dirindukan, bahkan menjadi sumber nilai dan inspirasi dalam menjaga praktik budaya yang otonom. Malahan dalam berbagai persoalan akut di tingkat lokal kadang Sisingamangaraja menjadi sosok ideal pemimpin yang memberikan contoh dan solusi.
Lalu sejauhmana sesungguhnya Batak di Toba masih memahami posisi Sisingamangaraja kalau dibicarakan sesuai konteks sejarah lokal?
Dokumenter Nasional dan Film Lokal
Film Dokumenter Drama SIsingamangaraja XII yang ditayangkan di Pendopo Rumah Dinas Gubsu merupakan bentuk karya yang terdukung secara pendanaan program Fasilitas Bidang Kebudayaan (FBK) Kemendikbud RI. Program fasilitasi itu baru diadakan mulai tahun 2020, setelah UU No.5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaa mulai efektif berlaku. Pelimpahan untuk kerja budaya kelihatan salah satunya dengan munculnya program FBK dan juga mendorong konteks nasionalisme keIndonesiaan melalui tagline: Merajut Harmoni Kebhinekaan.
Ini merupakan film dokumenter kedua secara nasional setelah tahun 2007.
Selain itu, tim televisi dari Belanda juga melakukannya saat pelaksanaan Peringatan 100 Tahun Wafatnya Sisingamarajaja XII dengan narasumber utamanya Sitor Situmorang dan ilustrasi pertunjukan Opera Batak Srikandi Boru Lopian. Film dokumenter tersebut menjadi bagian dari materi Pameran di Museum Militer Bronbeek, Apeldoorn Belanda lebih satu tahun (2008 2009) serta bahasa utamanya Belanda.
Dibandingkan dengan dokumenter yang dibuat oleh ADFA ada sejumlah catatan yang perlu mendorong kehati-hatian lebih intens kalau ingin meningkatkannya menjadi satu film layar lebar.
Beberapa hal yang dimanfaatkan untuk konten film tersebut masih perlu didasarkan kepada sejarah lokal, atau seperti kata Prof Dr. Robert Sibarani, MS sehari sebelum pumutaran, agar proyek serupa kiranya benar-benar memperhatikan kearifan lokal.(*)
Penulis merupakan Direktur Pusat Latihan Opera Batak (PLOt) Pematangsiantar. Dikenal luas sebagai sastrawan Sumatera Utara.