Dian Andryanto*
PIRAMIDA.ID- Amarah bisa lepas kendali. Ketika hukum dan keadilan menjadi satu-satunya harapan terhadap kemanusiaan di negeri ini, berdiri rapuh. Dengkulnya kopong, berdiri pun tak mampu. Goyah tak karuan. Bergetar penopangnya
Wajah hukum dilumuri jelaga tanpa kekuatan moral, di depan rakyat yang melihat sejelas-jelasnya, tanpa butuh kaca pembesar. Keadilan begitu pincang dipertontonkan di depan publik bagai sirkus murahan, tidak menghibur, justru memuakkan.
Dua orang anggota kepolisian yang dengan lantang meneriakkan Novel Baswedan pengkhianat, yang dengan pongah menyampaikan sakit hati dan dendam, entah sakit hati yang mana dan dendam karena apa hingga tega melakukan penyiraman air keras kepada Novel, saat pulang salat subuh, Selasa, 11 April 2017.
Dua orang itu, Brigadir Rahmat Kadir Mahulette dan Bripka Ronny Bugis, setelah dua tahun, tiba-tiba disebut tertangkap sebagai penyiram air keras ke wajah penyidik senior KPK Novel Baswewdan.
Keduanya selama itu diam-diam saja dalam markas Brimob, bagai kutu dan lintah. Justru merekalah seharusnya yang menyedot darah korps tempat mereka bernaung, merekalah yang memalukan aparat yang hukum dan keadilan seharusnya dijunjung sebagai mahkotanya. Mereka itu yang mencemarkan satuan Brimob dalam catatan sejarah di negeri ini.
Si Kadir dan si Ronny, saat digelandang senyam senyum di depan awak media, tangan hanya diikat pengikat plastik, tak seperti maling yang sampai diborgol besi. Lihat wajah mereka, optimisme tergambar jelas hanya akan melalui serangkaian pengadilan yang seakan mereka tahu ujung vonisnya.
Seperti pemain drama amatiran, mereka pun sekonyong-konyong berteriak-teriak tentang betapa sakit hatinya mereka kepada Novel Baswedan yang punya catatan gemilang sebagai penyidik KPK yang menyisir dan menangkapi para koruptor, tak pandang bulu dari mana “para tikus” itu berasal. Sakit hati mereka, entah apa. Mantan bukan, kenal pun tidak.
Alasan kebencian yang amat sangat secara pribadi itu, yang Kadir teriakkan itu, menjadi dasar bahwa tindakan mereka dilakukan secara pribadi. Tidak teroganisir, tidak ada yang menyuruh, tidak ada yang mengatur, tidak ada dalangnya. Tentu sja, publik tak bisa ditipu mentah-mentah pula. Apalagi aktingnya terlalu kentara dibuat-buat, dan jadi rangkaian ceritanya.
Sejak mula, Novel Baswedan sudah menyampaikan bahwa pengadilan terhadap kedua terdakwa itu formalitas saja. “Tim advokasi menilai bahwa sidang penyiram air keras terhadap Novel Baswedan tidak lain hanyalah formalitas belaka. Sidang dilangsungkan cepat, tidak ada eksepsi, tidak berorientasi mengungkap aktor intelektual, dan kemungkinan besar berujung hukuman yang ringan,” kata perwakilan tim advokasi M Isnur, 20 Maret 2020.
Terbukti. Kadir dan Ronny dituntut Jaksa Penuntut Umum hukuman penjara 1 tahun, Kamis, 11 Juni 2020.
Ancaman hukuman penjara 1 tahun tuntutan jaksa itu, belum sampai vonis hakim, memang, di banyak kasus, vonis hakim tak lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Bisa hanya 8 bulan saja, ketuk palunya, bagaimana jika begitu?
Menyiram air keras kepada penyidik KPK hingga buta sebelah matanya dan rusak satu mata lainnya dituntut 1 tahun penjara. Bandingkan dengan Bongku, warga suku Sakai yang menanam ubi kayu di tanah ulayatnya sendiri dan dituntut perusahaan konsesi hutan, dituntut setahun juga.
Sumpah atas nama Tuhan dalam jabatan penegak hukum rupanya seperti nyanyian mainan saja. Tak punya efek dalam jiwa mereka.
“Bahwa dalam fakta persidangan, terdakwa tidak pernah menginginkan melakukan penganiayaan berat. Terdakwa hanya akan memberikan pelajaran kepada saksi Novel Baswedan dengan melakukan penyiraman cairan air keras ke Novel Baswedan ke badan. Namun mengenai kepala korban. Akibat perbuatan terdakwa, saksi Novel Baswedan mengakibatkan tidak berfungsi mata kiri sebelah hingga cacat permanen,” ujar jaksa saat membacakan tuntutan, di PN Jakarta Utara.
Dengan kata lain, dua durjana itu disebut “tak sengaja” melakukan penyiraman air keras, maunya ke tubuh, eh kena wajah dan membutakan mata. Itu dianggap tak memenuhi dakwaan primer.
Tak sengaja yang di luar nalar orang waras.
Jaksa meyakini mereka bersalah melanggar Pasal 353 ayat 2 KUHP juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Adapun hal yang memberatkan keduanya dinilai jaksa perbuatan mencederai institusi Polri. Sedangkan hal yang meringankannya adalah Rahmat Kadir belum pernah dihukum dan mengabdi di Polri selama 10 tahun.
Jika mengabdi ke aparat lebih 10 tahun kemudian berbuat kriminal maka bisa diringankan hukumannya. Bahasa apa ini? Di mana keadilan yang berlaku sama untuk siapapun, untuk semua orang?
Pasal penganiayaan memang diancam hukuman penjara maksimal 5 tahun, dan jaksa itu menuntut sebagai penganiayaan berat tapi dengan penjara 1 tahun. Kecerdasan publik sedang diuji, memang. Cendol dawet saja jelas bedanya.
Penganiayaan berat berarti penganiayaan yang mengakibatkan luka berat, dan menurut KUHP diancam hukuman pidana penjara maksimal 5 tahun. Sebagaimana diterangkan Pasal 351 ayat (2) KUHP menyatakan: “Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.”
Hal itu saja tidak dijalankan dengan baik. Jaksa bisa saja berdalih dengan kata “paling lama”, jadi boleh dong dituntut 1 tahun. Jadi terlihat basa basinya, mengapa tidak sekalian dituntut setengah hari penjara saja, bukankah setengah hari penjara memenuhi kaidah “paling lama lima tahun” itu?
*
Inilah satu wajah hukum di negeri ini yang terpampang jelas di depan mata. Tanpa tedeng aling-aling. Vulgar diperlihatkan.
Novel Baswedan bukan hanya seorang lelaki yang disiram air keras, membutakan sebelah matanya, merusak mata lainnya, yang akan ia tanggung seumur hidupnya, bukan itu saja, ia menjadi cermin bagaimana keadilan ditegakkan ini hari di negeri ini.
Seorang pejabat penyidik KPK yang terhormat saja bisa diperlakukan seperti itu, bagaimana dengan jelata yang memohon keadilan ditegakkan sebenar-benarnya? Bagaimana dengan kita yang remah-remah ini menuntut hukum tak selalu tajam ke bawah namun tumpul terus ke atas? Bagaimana rakyat merasa terlindungi hak memperoleh keadilan dan terjaganya hak asasi manusianya jika yang dipertontonkan drakor, drama kotor seperti ini?
Di banyak film thriller, orang-orang yang sedia menjadi kambing hitam dan kambing congek itu setelah semua usai, kemudian ditemukan mengambang di kali, atau gantung diri di rumah kontrakan, atau sakau narkoba hingga rusak otaknya tidak tahu lagi letak tangan kiri dan kanannya.
Saya pun berseloroh, bagaimana agar hukuman 1 tahun itu diabaikan saja, dan Novel Baswedan boleh membalas menyiramkan air keras kepada Kadir dan Ronny, siramkan kakinya eh yang kena kok mulutnya, siramkan ke lengannya eh yang kena kok hidungnya. Rasanya fair, jika sistem keadilan yang punya segala instrumen itu buntu menegakkan hukum dan menerapkan keadilan baginya.
Tentu saja Novel Baswedan, para aktivis hukum dan kemanusiaan, serta publik yang waras tak akan setuju dengan selorohan saya itu. Negeri ini dibuat dengan segala undang-undang, sistem hukum, oleh para jawara hukum negeri ini, bukan dengan kaidah nyolok mata di balas nyolok mata, jewer kuping dibalas jewer kuping, dan toyor kepala dibalas toyor kepala. Rasa keadilan lebih utama dari itu semua.
Dan, sekarang kita merasakan rasa keadilan itu tak ada di tempatnya. Rasa keadilan itu hilang seperti saat mereka selesai prosesi mengucap sumpah atas nama Tuhannya.
Ujian untuk Novel Baswedan bertambah besar. Diangkatlah ia derajat dan martabatnya, dikuatkanlah diri dan keluarganya.
Amarah terbaik jika tak terkendali adalah menyerahkan sepenuhnya kepada pemilik hidup dan mati, dalam doa berlaksa-laksa banyaknya. Dia menjadi keadilan sejati, setelah segala upaya dikerahkan. Dia akan menentukan keadilan hakiki saat tak siapapun bisa main drama lagi dan sembunyi dari-Nya.
Pondok Labu, 12 06 2020
Penulis merupakan pegiat media sosial