Oleh: Budi P. Hatees*
PIRAMIDA.ID- Sebagai mahasiswa jurnalistik dan sudah mulai menulis, masa muda aku sangat terpesona pada Erving Goffman. Pemikirannya tentang interaksi manusia dan betapa pentingnya manusia memiliki kesadaran peran serta kesadaran ruang, sering membuatku berpikir bahwa sebetulnya kesadaran yang dia maksud itu merupakan kecerdasan.
Bagiku, hanya mereka yang memiliki kecerdasan peran dan kecerdasan ruang yang mampu menguasai struktur dan dengan sendirinya menjadi pemenang dalam interaksi sosial karena dia bisa memposisikan dirinya sebagai satu-satunya objek sekaligus subyek yang dapat menyita konsentrasi orang lain.
Tapi, tentu, Goffman bukan tanpa kelemahan dengan teori dramaturginya, meskipun teori itu selalu dipakai secara luas dalam segala bidang kehidupan sampai hari ini. Kelemahan itu akan terang jika kau meyakini bahwa manusia seharusnya menjadi “obor di kegelapan” bagi manusia lain sebagaimana Immanuel Kant mewariskan pemikirannya tentang etika.
Tapi, manusia pada dasarnya pemain drama, punya banyak karakter, tergantung pada orientasi dan keuntungan yang hendak diraih. Kita melihat seorang politisi hanya seorang aktor, yang kadang jadi ustad kadang jadi penjahat, dan semua peran itu dilakoni dengan kemampuan akting yang mengalahkan kecakapan seorang aktor. Dan, para aktor itu, akhir-akhir ini, telah menjadi semakin strategis dengan mengondisikan lahirnya panggung-panggung sastra sebagai podium untuk menjadi aktor.
Aku ceritakan padamu tentang orang-orang yang tak pernah dikenal dalam dunia sastra sebagai penulis karya sastra, tiba-tiba muncul di panggung sastra sebagai sastrawan. Sebut saja Ja Rittop — aku kasih nama rittop (bahasa Batak artinya miang) — yang kehadirannya membuat orang lain selalu merasa gatal seluruh tubuh mereka sampai pikiran. Ja Rittop di sini nama yang simbolik, dan kau pasti sudah bisa menebaknya.
Ja Rittop ditemukan oleh seorang sastrawan yang gemar berorganisasi dengan membentuk komunitas dan menjadi aktor yang seakan-akan menghidupkan HB Jassin dalam dirinya. Dia mengandaikan dirinya sebagai Jassin, dan menereskan kerja Jassin dalam mencari dan menemukan talenta baru dalam dunia sastra untuk diwosuda sebagai sastrawan.
Kau tahu, Jassin adalah “guru besar” dalam dunia sastra kita yang kerjanya “mewisuda” orang menjadi sastrawan, dan Jassin melakukan hal itu lewat tulisan-tulisan apresiasi yang kemudian diterbitkan di media-media di mana dia bekerja, lalu tulisan-tulisan itu dikumpulkan dan diterbitkan kembali jadi buku oleh Penerbit Budaya Jaya, Penerbit Balai Pustaka, atau penerbit lainnya. Kau bisa membaca buku Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 yang tak berisi kajian atas inovasi atau impresi dari karya-karya Chairil Anwar dibandingkan karya lainnya.
Orang tak merasa perlu menemukan prisinalitas dalam dirinya. Mereka ingin seperti Jassin, bekerja keras melestarikan kerja dokumentasi Jassin dan ada pula yang membangun institusi baru juga dengan strategi yang tak prisinal. Dunia sastra kita dipenuhi para pengekor bukan hanya dalam menghasilkan karya sastra, tapi juga dalam strategi kerja-kerja budaya. Namun, satu hal yang tampak sama pada setiap kerja budaya itu adalah kemampuan mengolah kepentingan pribadi menjadi kepentingan golongan, membangun kesan seakan-akan berpikir nasional meskipun sesungguhnya sedang berupaya agar segala yang nasional berarti semua hal yang mereka rumuskan.
Mereka mudah dikenali dari keseragaman pemikirannya dalam membela gagasan-gagasan komunitasnya. Selama puluhan tahun, dunia sastra kita melakukan perlawanan terhadap karya-karya yang dilabeli “sastra kiri”, dan semua sastrawan merasa punya tanggung jawab untuk menyingkirkan “sastra kiri” tersebut. Mereka sepakat untuk mendorong “sastra kontekstual” yang justru “sangat kiri”, dan ini membuat mereka bingung sehingga perlu mencari-cari pijakan-pijakan baru dalam merumuskan strategi kerja-kerja kebudayaan.
Dunia sastra kita kemudian memakai avant gande, tapi tak cukup kuat. Berpindah pada persoalan strukturalisme dan tak cukup memadai, lantar berorientasi ke sastra di Amerika Latin. Sastrawan kita pun getol dengan realisme magis yang dalam banyak hal justru dihasilkan di negara-negara sosialis dan komunis. Sastrawan kita gemar mengkampanyekan hal-hal yang hanya ditangkap pada tingkat permukaan, dan bangga dengan hal itu karena merasa yakin akan mampu melahirkan kanon dalam sastra yang dapat mensejajarkan sastra nasional dengan sastra dunia. Tak heran jika orang Indonesia seperti Denny JA berkhayal dapat Nobel, dan dia mengkampanyekan khayalannya itu dan mempercayai bahwa itu adalah kenyataan.
Semua ini terjadi karena panggung sastra di negeri ini adalah panggung yang sangat terbuka, sebuah paradigma yang paling tidak paradigmatis. Panggung sastra adalah panggung yang tak membutukah level dan struktur yang kuat, hanya perlu akting yang memadai. Dan Ja Rittop yang tak pernah mengenal sastra mengalami shock ketika masuk ke dalam dunia sastra setelag dia bertemu dengan para pemikir di negeri ini yang sebagian besar mengawali karier di dunia sastra. Orang-orang yang dia kagumi pemikirannya bisa didekatinya dengan mudah, diajak ngobrol ngalor ngidul khas pergaulan para sastrawan yang selalu punya panggung dramaturgi.
Polemik di kalangan sastrawan, meskipun terkesan keras dan tajam, itu hanya terjadi di panggung resmi seperti diskusi atau media. Di panggung kehidupan sehari-hari, para sastrawan yang berpolemik itu sering ngopi bareng, bercanda. Tertawa bersama. Tapi, jika polemik terjadi lagi, mereka akan berdebat dan seakan-akan akan saling menghabisi bila bertemu. Tapi, tidak, belum pernah ada sastrawan yang setikaman usai berpolemik. Kecuali di lampung, sastrawan sering memantik permusuhan fisik setiap kali usai berpolemik.
Panggung sastra itu diminati oleh orang-orang yang rak pernah mengenal sastra menjadi panggung dirinya. Dia hanya perlu diwisuda sebagai sastrawan, dan caranya mudah. Hanya perlu menerbitkan buku sastra (meskipun bukan karya sastra), lalu teriak sebagai sastrawan dan menggelar seminar sastra. Bila perlu, menyewa sastrawan lain untuk menabalkan diri kita sebagai sastrawan.(*)
Penulis lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, pada 3 Juni 1972. Menulis esai di berbagai media dan terkumpul dalam sejumlah buku. Sehari-hari bekerja sebagai peneliti budaya, sosial, politik untuk Institute Sahata dan Tapanuli Database Center for Researd Culture and Social (Tapanuli Database).