Oleh: Budi P. Hatees*
PIRAMIDA.ID- Pada dekade 1950-an dan 1960-an, tahun-tahun keemasan dalam kepenyairan di Indonesia karena banyak anak muda yang bercita-cita jadi penyair. Mereka pembaca setiap puisi-puisi Chairil Anwar, karena pada saat itu hanya Chairil Anwar yang dianggap penyair.
Masih ada Sutan Takdir Alisjahbana, sesepuh penyair yang kemudian lebih memilih sebagai ahli bahasa Indonesia, tapi puisi-puisinya tak lagi dibaca meskipun bukunya, Dian Nan Tak Kunjung Padam, jadi salah satu buku yang harus dihafal anak-anak sekolah. Ada juga Amir Hamzah yang puisinya punya akar yang kuat pada Indonesia, dan buku puisinya tetap dibaca. Tapi, generasi muda para penyair lebih berkiblat kepada Chairil Anwar, lalu mereka menulis puisi yang beraroma artistik puisi Chairil Anwar.
Puisi-puisi Chairil Anwar adalah patron, modul dalam menulis puisi. Munculah puisi dari penyair Subagio Sastrowardoyo, Gonawan Mohamad, Sapardi Djoko Damono, dan lain sebagainya. Puisi-puisi pertama mereka, ditulis ketika dunia kepenyairan begiti idwntik dwngan Chairil Anwar, sebab semua orange membicarakannya.
Di negeri ini, segala sesuatu cepat jadi buah bibir. Segala pembicaraan, tentang apa saja, selalu berinkubasi di dalam kepala orang Indonesia yang berkembang sekian lama sebagai mahluk orality, yang mengandalkan ujung lidahnya ketimbang volume isi kepalanya. Segala pembicaraan tentang Chairil Anwar, yang berkembang pada dua dekade setelah kematiannya, berasal dari ujung lidah para pembicara.
Mereka terlihat hebat jika bisa fasih bercerita tentang Chairil Anwar meskipun nyaris tak pernah secara serius melihat puisi-puisi yang membuat Chairil Anwar dibicarakan. Semua pembicaraan yang keluar dari lidah, tak akan pernah jauh dari basa-basi dan puja-puji, yang kemudian beralhir jadi mistifikasi.
A Teeuw, orang Belanda itu, memuji Chairil Anwar. Pada masa itu, Teeuw punya posisi penting sebagai “pembaiat” siapa saja yang akan jadi penyair, dan tinggal membicarakan karya mereka yang kemudian dikumpulkan dalam buku.
HB Jassin pun seperti itu, menulis apresiasi karya sastra, dan pilihan seperti ini diikuti Pamusuk Eneste menulis biografi (pengakuan) para sastrawan atas kreativitas mereka dalam berkarya. Semua pembicaraan itu, yang kemudian berbentuk buku, hanya dihasilkan oleh lidah seperti ketika orang bercerita bahwa dirinya seorang penyair tapi kita tak tahu kenapa dia disebut penyair.
Kenapa seseorang disebut penyair? Jawabnya, karena mereka menulis puisi. Tapi, apakah betul yang mereka tulis puisi?
Mestinya, seseorang disebut penyair bukan karena dia menulis puisi, tetapi karena dia bisa menjelaskan apa itu puisi dan orang-orang menerima penjelasannya itu sebagai pengetahuan tentang puisi.
Sayangnya, di dalam buku-buku tentang proses kreatif para penyair, kita tak menemukan pengetahuan tentang puisi. Yang ada hanya kisah luar biasa para penyairengjasilkan puisi seperti kisah Subagio Sastrowardoyo memghasilakan kimpulan Simphoni atau Hari dan Hara.
Kisah menghasilkan puisi seperti itu bisa kita baca pada tulisan Teuw ketika dia mengisahkan bagaimana Gunawan Mohamad menghasilakn puisi dalam buku Asmaradana. Di dalam tulisan Teuw itu kita tak menemukan sebuah pengetahuan tentang puisi.
Situasi inilah yang terjadi di dunia puisi kita. Ini disebabkan Chairil Anwar, eh, disebabkan prang-orang yang terlalu ingin jadi seperti Chairil Anwar. Menjadi penyair karena ingin populer, maka tahapan-tahapan dalam proses belajar bisa dilewati dengan hanya menulis puisi berdasarkan pola puisi yang sudah ada. Itu tak sulit. Hanya perlu membaca puisi, lalu menulis dengan tipolografi puisi, maka jadilah puisi.
Suatu hari, seorang penyair berkata kalau dia sudah menemukan esensi puisi. Ketika saya desak, ternyata yang dia maksud adalah dia menulis puisi dengan tipografi rata sebelah kanan, sementara puisi yang ada dominan rata sebelah kiri.
Kalau tipografi esensi puisi, maka FX Rudy yang menerbitkan puisi rupa lebih esensial lagi. Atau, tipografi puisi Hamid Jabar dan Sutarzi Calzoum Bachri bisa jadi pendahulu yang layak dikenang. Tapi, puisi bukan perkara tipografi, melainkan perkara yang lebih luas dan esensial lagi.
Lantas, apakah esensi puisi adalah “kaidah” dan “akidah” seperti dalam judul buku Sofyan RH Zaid yang baru terbit dengan branding pasar seakan-akan buku itu kitab ajaib yang wajib dibaca. Entahlah. Yang jelas, dunia puisi kita akan melahirkan prang yang menganggap puisi sebagai puncak cita-citanya, dan kemudian muak terhadap puosi karena dia tidak bisa populer seperti Joko Pinurbo atau Maman A Mansyur.(*)
Penulis merupakan jurnalis dan sastrawan. Banyak menulis esai pendek di laman Facebook: Budi Hutasuhut.