PIRAMIDA.ID- Efisiensi Jerman adalah stereotip yang tersebar luas di kalangan internasional, selain kemapuan organisasi dan koordinasi yang ketat. Efisiensi dapat didefinisikan sebagai metode mencapai hasil yang diinginkan, dengan sedikit mungkin pemborosan sumber daya.
Sejarawan James Hawes, penulis buku “The Shortest History of Germany”, menelusurinya kembali ke abad pertengahan, ketika kawasan sungai Rhein yang disebut “Rheinland” menjadi terkenal karena efisiensi komersialnya dan berkat produksi barang yang sangat terspesialisasi.
“Pembuat jam tangan dari Mainz atau pembuat baju besi dari Solingen terkenal sepanjang Abad Pertengahan,” katanya kepada DW. Efsiensi militer Jerman pada Perang Dunia Kedua yang dikenal dengan istilah “Blitzkrieg” (perang kilat) menambah kuat mitos efisiensi itu.
Sikap dan nilai yang “sangat Jerman”
Segera setelah berakhirnya Perang Dunia II, orang Jerman kemudian dipandang punya sikap luar biasa “yang hampir tidak manusiawi,” kata James Hawes. Setelah hancur akibat perang, Jerman bangkit dengan cepat di tahun 1950an dan 1960an, kebangkitan yang sering disebut-sebut sebagai “Wirtschaftswunder”, atau “keajaiban ekonomi”.
Jerman Barat dikagumi karena industrinya, dan produksinya dihargai karena berkualitas tinggi. Kebangkitan ekonomi Jerman sering dikaitkan dengan sikap-sikap dan karakter orang Jerman, sekalipun mengabaikan berbagai faktor yang ketika itu memungkinkan pertumbuhan yang cepat: pengurangan utang oleh AS dan sekutu barat, reformasi mata uang, dan tenaga kerja murah yang didatangkan dari Turki dan negara-negara Eropa lainnya.
Tetapi kata efisiensi memang seakan telah melekat pada Jerman, apalagi setelah ekonominya mampu bangkit lagi setelah beban berat reunifikasi.
Efisiensi Jerman: antara stereotip dan realita
Namun, benarkah Jerman masih efisien? Ada banyak contoh yang bisa dikemukakan oleh orang Jerman sendiri yang membantah stereotip ini. Misalnya pembangunan bandara baru di ibukota Berlin, yang direncanakan selesai hanya dalam dua sampai tiga tahun, tapi baru rampung 10 tahun kemudian, dengan anggaran berlipat-lipat dari anggaran semula. Selama pandemi Covid-19, banyak warga mengeluh setengah tertawa, karena ternyata banyak kantor-kantor instansi di Jerman, termasuk Dinas Kesehatan, masih juga menggunakan mesin faksimili untuk bertukar informasi.
Andreas von Schumann, konsultan di badan kerja sama Jerman GIZ mengatakan, dia tidak terkejut dengan berita-berita keterbelakangan dan ketertinggalan birokrasi Jerman, karena “efisiensi Jerman” sekarang adalah stereotip yang makin jauh dari realita di lapangan.
Tapi dari studi-studi persepsi tentang Jerman yang dia lakukan di seluruh dunia selama 10 tahun terakhir, dia juga tahu bahwa “stereotip punya umur panjang, jauh lebih lama dari yang kita bayangkan. Stereotip, katanya kepada DW “berubah sangat, sangat lambat.”
Menurutnya, stereotip hanya akan hilang jika contoh yang mendukungnya menjadi sangat sedikit dan realitanya sudah terlalu jauh, sehingga orang tidak dapat benar-benar melihat apa dasarnya stereotip itu lagi. Jadi, untuk menghilangkan stereotip, memang perlu “counterexample”, atau contoh kasus yang berlawanan dari itu, jelasnya.(*)
DW Indonesia