PIRAMIDA.ID- Kalau berbicara tata pemerintahan Indonesia, unit terkecilnya adalah desa. Disahkannya Undang-Undang Desa Nomor 6 tahun 2014 membuat desa memiliki pengakuan tata pemerintahan. Tidak main-main dana yang diberikan kepada pusat untuk desa, harapannya dana tersebut turut membangun desa dari bawah dengan berbagai ciri khasnya.
Namun, apa yang pembaca pikirkan dalam 5 detik tentang perekonomian desa? Kemiskinan, kurang modal, banyak pekerja yang pergi ke kota, dan lain sebagainya. Beberapa masalah tadi adalah stigma tentang perekonomian desa.
Kata Bambang Ismawan selaku pendiri LSM Bina Swadaya dalam Kongres Kebudayaan Desa, hal itu adalah masalah laten desa. Marginalisasi atau peminggiran ekonomi yang terjadi di desa terjadi karena beberapa faktor. Bambang Ismawan menceritakan kelima faktor marginalisasi ekonomi desa.
Brain Drain
Pertama adalah sumber daya manusia yang merantau ke kota. Generasi muda berpendidikan yang dimiliki desa justru malah merantau ke kota untuk mendapatkan pekerjaan layak. Mereka menganggap desa tidak bisa menampung dan menyediakan kebutuhan ekonomi dengan skill yang mereka punya.
Fenomena ini biasa dikenal dengan istilah brain drain. Padahal sumber daya manusia menjadi amunisi agar ekonomi dapat berjalan, terlebih sumber daya manusia yang masih muda dengan krativitasnya. Akibatnya, yang tersisa di desa adalah sumber daya manusia generasi orangtua yang secara ekonomi kurang bisa bersaing dan mengejar cepatnya laju perputaran roda ekonomi.
Modal Dana yang Seret
Kekurangan modal dana menjadi masalah selanjutnya dalam marginalisasi desa. Suntikan dana kepada desa jarang dilakukan karena menurut mereka desa kurang seksi untuk masalah peminjaman dan jaminan pengembalian rendah. Hal itu yang oleh Bambang Ismawan salah satunya dirasakan pihak perbankan.
Fenomena capital flight pernah diteliti oleh Profesor Mubyarto, pakar ekonomi kerakyatan UGM. Perbankan yang berhasil masuk dan mengumpulkan dana desa malah lebih memilih menanamkan investasinya ke kota. Pelarian modal yang sebenarnya dibutuhkan di desa ini semakin membuat lesu perekonomian desa.
Petani Tidak Punya Lahan
Kepemilikan tanah di desa saat ini menjadi sangat minim. Kementerian Pertanian di tahun 2000 mengungkapkan jika hanya 80% petani yang memiliki lahan 500 m2. Bahkan dalam 10 tahun dalam periode tahun 2003 hingg 2013 jumlah petani yang hanya memiliki lahan di bawah 500 m2 justru meningkat. Menyandarkan hidup pada hasil panen pada lahan di bawah 500 m2 tentu pontang-panting.
Rantai Pasok Panjang
Tengkulak menjadi momok tersendiri yang merugikan petani. Harga beli di petani murah, tetapi harga yang dimainkan oleh tengkulak berkali lipat. Misal saja cerita yang disampaikan oleh Bambang Ismawan tentang harga bawang merah. “Saya suka mengutip statement dari Menteri Pertanian terdahulu yang mengatakan 1 kg bawang merah dari Brebes harganya 15 ribu di tingkat petani, sampai di Cirebon, kira-kira 40 km, harganya naik menjadi 50 ribu. Lebih untung menjadi tengkulak, menjadi pedagang.
“Inilah rantai pasok yang tidak berkeadilan,” ungkap Bambang yang sudah berkecimpung di dunia perekonomian rakyat selama 53 tahun. Harus diakui tidak semua petani desa memiliki akses untuk menjual hasil taninya langsung ke penjual dengan harga lebih manusiawi. Hal ini yang dimanfaatkan oleh tengkulak.
Rantai pasok yang semakin panjang akan membuat harga barang semakin mahal. Tentu ini membuat jauh berbeda harga yang dibeli pembeli dengan yang diterima petani, sungguh tidak berkeadilan.
Keempat masalah tadi yang menjadi concern Bambang Ismawan untuk diselesaikan selama kiprahnya di dunia ekonomi. Kunci dalam mendampingi perekonomian masyarakat desa adalah menjadikan masyarakatnya subjek agar mereka berdaya.
Pendamping ibarat hanya orang luar yang tidak tahu kekuatan masyarakat dan seluk beluknya, jadi datangnya pendamping tidak boleh dianggap sebagai pahlawan. Pendamping masyarakat hanya memantik untuk menjadikan masyarakat desa melihat banyak potensi yang mereka miliki.
Sumber: Kongres Kebudayaan Desa