Oleh: Ticklas Babua-Hodja (Pres Laef)*
PIRAMIDA.ID- “Setelah diperkosa pria, perempuan diperkosa lagi oleh masyarakat.”
Nadya Karima Melati~
Ketika mendengar nama Enola, yang terlintas di pikiran adalah tentang kesewenangan kaum adam memasung kaki hawa (patriarki). Mari sejenak kita merantau pada batin Enola.
Secara teori pemahaman patriarki kerap kali diidentikkan pada kesewenang-wenangan laki-laki terhadap perempuan dalam hal mendudukkan perkara kesetaraan. Teorinya secara fundamental menjadi faktum komprehensif yang didasari pada pengetahuan kerdil yang menjadikan perempuan sebagai objek properti semata.
Pembuktian-pembuktian dapat dilihat dari segi ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Bahkan agama sekaligus. Stigma negatif terhadap tuntutan egaliter yang dilakukan lewat gerakan perempuan menjadi salah satu contoh konkret yang sering terjadi di Indonesia bahkan dunia.
Dalam hal berdiskusi saja sering kali perempuan tidak sedikitpun diberikan ruang bahkan waktu untuk menyampaikan bobot bebet pokok pemikiran yang semestinya dibulatkan menjadi satu kesatuan dari sebuah kesimpulan diskusi.
Pertemuan seremonial adat pun sama, inkultur yang diterapkan di tengah-tengah kondisi sosiologis masyarakat seakan telah menjadi hal yang lumrah untuk dijadikan suatu alasan tertinggi agar dikunci kran pembicaraannya. Argumen ini hanya dari satu jalan dua pintu, yakni segi budaya dan sosial. Belum lagi ketika argumentasi ini semakin diperjelas dari sisi ekonomi, politik dan agama.
Dalam kondisi sosial, persoalan ini semakin dipersulit ketika perempuan dalam hal ketidaksengajaan mengalami hal di luar etika masyarakat, yakni dalam urusan seksualitas. Sanksi sosial terhadap persoalan ini seakan hanya berlaku pada perempuan. Sementara mereka lupa untuk menegur si laki-lakinya dalam urusan hal ihwal ini.
“Setelah diperkosa pria, perempuan diperkosa lagi oleh masyarakat,” begitu tegas Nadya Karima Melati dalam membicarakan feminisme. Begini kira-kira argumentasi yang dibangun Nadya:
Bicara soal tubuh lagi, mengapa hantu-hantu perempuan membalas dendam ketika dia telah menjadi hantu? Mengapa ia tidak meluapkan kemarahannya ketika ia masih menjadi manusia? Ini yang lagi-lagi menjadi perhatian bagi cara pandang masyarakat kita yang misoginis dan selalu menyalahkan perempuan dalam setiap ketidakadilan yang mereka alami. Kuntilanak misalnya, baru bisa membalas dendam ketika sudah menjadi hantu dan meninggalkan tubuhnya. Karena setelah diperkosa oleh pria, perempuan diperkosa lagi oleh masyarakat. Sedikit sekali korban perkosaan yang berani melapor atas tindakan kriminal (perkosaan) yang terjadi kepadanya.
Perkosaan adalah bentuk kekerasan fisik dan perampasan harga diri. Jika perempuan menjadi korban perkosaan, perempuan sering dianggap tidak mampu menjaga dirinya bahkan dianggap mengharapkan perkosaan itu terjadi.
Sementara, masyarakat tidak pernah menyalahkan laki-laki pemerkosa untuk menjaga perilakunya. Walaupun perempuan adalah korban perkosaan tidak diperkosa sampai mati seperti kasus YY, hampir semua korban perkosaan yang saya kenal sudah terbunuh jiwa dan masa depannya.
Nasib sundal bolong ternyata tidak lebih baik. Kematian ibu (AKI) sebagai instrumen Millenium Development Goals (MDGs) masih terus tinggi di Indonesia. Walaupun paradigma pembangunan MDGs sudah beralih menjadi Sustainable Development Goals, tetap saja target angka penurunan kematian Ibu tidak pernah tercapai.
Nasib wewe gombel juga kurang lebih sama. Payudara sebagai sistem reproduksi dan seks termasuk tabu untuk dibicarakan. Apalagi, pendidikan seksual menyangkut pengetahuan tentang hak kesehatan seksual dan reproduksi (sexual and reproductive health and rights) anak-anak muda masih jauh api dari panggang.
Memasukkan pendidikan seksual ke dalam kurikulum masih dianggap sama dengan mengajarkan anak-anak muda untuk melakukan hubungan seksual. Imbasnya, lagi-lagi perempuan! Kebodohan karena ketidaktahuan mengenali dan memahami tubuhnya menjebaknya pada kehamilan yang tidak diinginkan di usia sekolah. Jumlah kasus perempuan putus sekolah di Indonesia karena kehamilan juga tidak bisa dianggap sedikit.
Ternyata, nasib hantu perempuan yang menderita stigma tidak jauh berbeda dengan nasib semasa hidupnya. Pemahaman kita yang merasa manusia, yang mampu berbuat baik kepada sesama, gagal. Jangankan sesama manusia, kepada hantu pun kita tidak adil.
Perempuan menanggung kebencian masyarakat atas tubuhnya selama ia hidup hingga menjadi hantu. Melalui pemaparan di atas, saya sendiri menjadi bertanya-tanya, jangan-jangan, sebenarnya kita ini manusia tidak lebih baik dari hantu karena menolak feminisme sebagai upaya memanusiakan manusia (perempuan).(*)
Penulis merupakan kader GMKI. Aktif menulis di berbagai media.