Agung Baster*
PIRAMIDA.ID- Di zaman sekolah dulu, kita mungkin pernah belajar bahwa negara demokrasi itu prinsipnya adalah Trias Politica (3 pilar politik), yaitu eksekutif (pelaksana), legislatif (pembuat), dan yudikatif (pengawas) yang diwariskan sejak zaman Yunani kuno dan Revolusi Perancis dulu, terlebih setelah Baron Montesquieu mempopulerkan teori pembagian kekuasaan politik ini.
Tapi nantinya di zaman yang semakin maju, peran 3 kekuatan politik ini menjadi tidak efisien lagi karena terkadang partai politik bisa menguasai ke-3 kekuatan ini sekaligus, yakni presiden sebagai eksekutif berasal dari anggota partainya, lalu anggota partai lainnya menguasai DPR yang merupakan lembaga legislatif, dan akhirnya dengan melalui politik kongkalingkong kekuatan dari presiden dan DPR ini bisa menghasilkan figur yang duduk di lembaga kehakiman — di mana merupakan representatif kekuatan yudikatif — lagi-lagi orang-orang dari lingkaran mereka sendiri.
Nah, di tengah korupnya sistem Trias Politica (3 pilar politik) ini nantinya muncul kekuatan ke-4 politik (4 pilar politik) yang sama sekali berada di luar lingkaran kekuasaan.
Kekuatan ke-4 ini bernama pers dan media massa, yang berfungsi memberikan informasi dan mengawasi ke-3 kekuasaan dalam politik tersebut.
Itu sebabnya di negara maju pada umumnya pers dan media massanya selalu mengkritik pemerintah maupun kaum penguasanya, karena memang fungsi pers mengawasi 3 kekuatan politik tradisional ini, agar masyarakat memiliki pandangan luas dan jernih tentang kebijakan pemerintah, bukan hanya manggut-manggut dan mengiyakan semua kebijakan pemerintah.
Pers dan media masa harus memberikan sudut pandang lain terkait kebijakan pemerintah agar masyarakat memiliki pembanding bagi kebijakan pemerintah.
Tapi nantinya kekuatan ke-4 politik ini pun bisa diakalin oleh penguasa dan partai politik dominan dengan cara membikin media massa tandingan yang merupakan corong pemerintah atau media masa yang dimiliki orang-orang lingkaran dalam pemerintah.
Alih-alih seperti pers dan media massa umum yang harusnya netral dan berani mengkritik penguasa dan pejabat politik, media massa pro pemerintah ini justru melakukan sebaliknya, yaitu memuji-muji pemerintah setinggi langit sambil menyebarkan propaganda dari pemerintah.
Dan sialnya, pers dan media massa pro pemerintah ini lebih besar karena diguyur modal besar dari lingkaran dalam kekuasaan untuk melanggengkan kekuasaan.
Nah, karena kekuatan pers pun sudah mulai dibungkam penguasa, maka nantinya muncul lagi kekuatan ke-5 politik atau yang hari ini lebih ngetrend disebut 5th Estate (Fifth Estate / 5 pilar politik) yang berasal dari kekuatan media sosial dan internet. Kemunculan 5th Estate ini tidak lepas dari kemajuan teknologi dan perkembangan zaman yang hari ini hampir semua terhubung dengan dunia internet.
Kalau zaman ke-4 pilar politik yang bisa menyuarakan kritik ke pemerintah cuma pers dan media massa saja karena perlu modal besar untuk mencetak koran dan majalah yang dibaca semua orang, maka hari ini setiap orang bisa menyuarakan kritik kepada pemerintah dengan melalui paltform digital, seperti media sosial, forum-forum, maupun situs-situs internet yang bisa dengan mudah diakses dan dibaca semua orang serta tidak perlu modal besar lagi untuk menyebarkannya.
Dan hal ini pun saya rasa disadari para penguasa juga.
Itu sebabnya para penguasa menggunakan kekuatan sensor atau pasal-pasal karet hukum untuk membungkam orang-orang yang kritis di medsos dan internet. Selain itu untuk melakukan propaganda para penguasa biasanya menghimpun kekuatan buzzer maupun mengerahkan kekuatan bot (akun-akun robot) di media sosial untuk menyebarkan propagandanya dan menggiring opini masyarakat.
Nah, evolusi demokrasi dari zaman Trias Politica sampai jaman Fifth Estate internet hari ini adalah usaha para penguasa untuk mengendalikan rakyatnya. Itu sebabnya suara-suara kritis kepada pemerintah dan penguasa tidak boleh disensor dan bungkam lagi.
Atau kita akan kembali ke zaman diktaktor dan otoriter bengis macam rezim Orba dulu di mana orang-orang yang berani bersuara terkait kelakuan korup pemerintah dan para penguasa dibungkam selamanya sehingga menyebabkan republik yang sebenarnya kaya raya ini menjadi negara miskin, bodoh, dan tertinggal jauh dari negara lainnya.
Penulis merupakan penggiat media sosial dan science ethusiast.