Goklif Manurung*
PIRAMIDA.ID – Sebuah forum Dialog Publik tentang LGBT (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender) yang diselenggarakan sekte keagamaan beraliran Lutheran (HKBP), menyimpulkan bahwa, “Hubungan seksual yang bukan ‘heteroseksual’ adalah tindakan amoral”. Senada dengannya, politisi partai PKS lewat media mengatakan, perilaku seorang gay lebih jahat dari terorisme atau pelaku narkoba.
Kedua hipotesis keyakinan itu percaya bahwa hidup manusia haruslah sesuai kodrat (garis hidup), maka mereka menarik kesimpulan bahwa Tuhan memberi tanggung jawab kepada manusia untuk melanjutkan keturunan agar tetap melestarikan ciptaan-Nya.
Hal itu paralel dengan mayoritas pikiran publik bahwa, hubungan heteroseksual (laki dan perempuan) akan menghasilkan keturunan.
Meskipun tesis itu mungkin didukung berdasarkan alasan-alasan tertentu, secara singkat, saya akan mencoba memperlihatkan lemahnya kaitan logis antara keyakinan religius terhadap sikap anti-LGBT. Saya juga akan memaparkan beberapa alasan untuk meragukan bahwa moral seksualitas manusia adalah pertemuan antara alat kelamin laki-laki dan alat kelamin perempuan.
Saya kira, dalam kondisi kesetaraan sekarang ini, kita harus menerangkan juga hak setiap orang untuk mengingini seseorang dari sudut pandang yang berbeda untuk menghalangi hegemoni doktrin ”teologis”.
**
Meskipun dalam RUU KUHP terbaru tidak memasukkan LGBT sebagai delik pidana, namun kebebasan yang diolok sebagai “makhluk asing” itu masih menyisakan persoalan moral dalam masyarakat. Dalam praktik normatif, makna “hubungan intim” lebih sering berhenti hanya untuk “memproduksi keturunan”, ketimbang mensponsori kebebasan manusia.
Memang, sampai saat ini kaum LGBT di Indonesia masih “bebas” menyalurkan hasrat seksualitasnya. Namun, mereka (LGBT) kerap menerima “stigma” dan bahkan korban kekerasan, karena ada anggapan, mereka pembawa dampak buruk bagi orang lain. Banyak orang mengira perilaku mereka adalah sebuah penyakit.
Tidak jarang mereka dicaci maki, dianggap sumber perilaku negatif, terisolasi secara sosial karena divonis pembawa virus berbahaya, padahal mereka hanya ingin memuaskan hak kenikmatan “hubungan intim” seperti manusia lainnya dengan cara yang berbeda.
Kabar sebuah media memberitakan, seorang bocah sembilan tahun, Jamel Myles asal Colorado, Amerika Serikat, nekad bunuh diri sebab diolok-olok teman sekolahnya karena mengaku gay. Jamel juga sempat bercerita pada kakak perempuannya bahwa, teman-temannya di sekolah menjauhinya. Kasus moral ini jelas mengguncang dan menggelisahkan ketenangan hati kita.
Sejarah persekusi terhadap LGBT sudah terjadi sejak zaman purba. Setelah bertahan dari penganiayaan selama berabad-abad, yang mengakibatkan rasa malu dan tertindas, kaum LGBT di Inggris Raya dan Amerika Serikat mulai mendapat kebebasannya lewat perayaan “Bulan sejarah LGBT” pada tahun 1994.
Bahkan, di beberapa negara liberal, LGBT telah mendapatkan kesetaraan dengan dilegalkannya hubungan sejenis lewat ikatan pernikahan.
Hal sebaliknya kita dapat saksikan dalam budaya ketimuran, di mana “absolutisme” Sabda Tuhan adalah representatif dari moral mayoritas manusia. Di mana nilai-nilai logika berpikir, terdegradasi oleh ayat-ayat suci keyakinan surgawi. Sesuatu hal yang menyangkut perbuatan baik atau buruk selalu diukur dari sudut pandang keyakinan religius.
Padahal, bila kita mengaktifkan akal sehat, maka untuk berbuat baik, seseorang tidak harus “memandang ke langit”. Untuk berbuat kebaikan, seseorang hanya memerlukan peralatan “empati”, yaitu perasaan yang memposisikan diri sendiri sama dengan perasaan orang lain.
# LGBT Bukan Kejahatan Manusia
Dengan alasan apakah, ketika hasrat “seksualitas” seseorang untuk mengingini sesama jenis (lesbian, gay), atau tertarik kepada pria dan wanita sekaligus (biseksual), atau laki-laki yang ke-perempuan-perempuan-an dan perempauan yang ke-laki-laki-an (transgender), pantas menerima “sanksi sosial”?
Pertama-tama, mari kita perhatikan relevansi keyakinan-keyakinan religius tertentu dengan persoalan LGBT. Sering kali dikatakan bahwa LGBT salah karena hidup manusia tidak bisa lari dari kodratnya.
Bahwa tingginya martabat manusia tidak dapat ditukar-tambahkan oleh apapun, sehingga adalah kewajiban manusia untuk menjaga dan melestarikan kesempurnaan ciptaan Tuhan dengan cara melanjutkan keturunan.
Tuntutan “memproduksi manusia” dengan cara merawat budaya heteroseksual, dilandasi teori perintah Tuhan. Karena ada tertulis dalam Kitab Suci, “Beranak-cuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu”. Perintah itu untuk melegitimasi apa yang disebut Kasih Eros, yaitu perasaan mengingini kepada lawan jenis.
Penolakan pertama saya terhadap alasan-alasan religius sikap anti-LGBT adalah sebagai berikut.
Keyakinan bahwa Tuhan menginginkan agar setiap manusia berkembang biak, bahwa Ia mengharuskan kita melestarikan ciptaan-Nya lewat proses kelahiran, adalah persoalan yang sangat problematis.
Berbagai keraguan yang serius kerap mempertanyakan kebenarannya. Saya tidak tahu apakah Tuhan berkehendak seperti itu atau tidak.
Akan tetapi, kita dapat mengetahui secara pasti bahwa banyak rumah tangga heteroseksual di dunia, terlepas apakah itu direncanakan, bahwa ribuan pasangan suami-istri menderita secara psikis (mental), dan dikucilkan dari keluarganya, karena tidak memiliki keturunan.
Apakah kenyataan yang dialami pasangan itu menjadikan mereka pelaku kejahatan? Sangatlah “naif” ketika kita percaya bahwa kehidupan manusia adalah pemberian (given) dari Tuhan, tetapi terhadap LGBT disebutkan melawan kodrat manusia.
Penolakan kedua saya adalah, tidak ada relevansi antara melanjutkan keturunan dengan perbuatan baik atau buruk manusia.
Jika kita menyebutkan faktor yang menjadikan manusia disebut taat hukum Tuhan adalah kepatuhan terhadap ajaran kebaikan dari Tuhan, maka penilaiannya adalah tingkat “integritas” manusia.
Artinya, kalaulah saya mengingini dan membaktikan hidup saya pada seseorang, maka dikatakan saya komitmen pada pendirian saya. Tentu, dasar penilaian terhadap saya, adalah tindakan saya, tanpa harus mempersoalkan apakah saya seorang heteroseksual atau LGBT.
Di lain kasus, kita bahkan mengetahui beberapa pasangan heteroseksual membinasakan keturunannya dengan berbagai alasan – rasa malu, kemiskinan, atau demi karier. Kita juga banyak mengapresiasi seorang LGBT yang mengangkat orang-orang dari jurang kematian untuk mendapatkan kehidupan yang baru.
Lalu, tindakan manakah yang melestarikan ciptaan Tuhan?
Jika suatu keyakinan religius tertentu bertentangan dengan kenyataan yang pasti, maka kenyataanlah yang harus kita jadikan dasar bagi tindakan kita.
Memang, adakalanya menunjukkan ketidakrelevanan antara keyakinan religius dengan kepatuhan manusia terhadap kodratnya, tidak dengan sendirinya membuktikan bahwa LGBT dapat dibenarkan secara moral. Misalnya, seorang “sosiolog” dapat saja menolak LGBT, dengan alasan-alasan yang sama sekali terlepas dari agama.
#Heteroseksual, Bukan Perintah Tuhan
Setiap pembicaran yang menyinggung tentang keberadaan dan aktivitas LGBT, dipastikan menuai pro dan kontra dalam perbincangan publik. Berbagai alasan akan menjadi alat pembenaran siapapun dalam mendukung dan menolak eksistensi LGBT ketika berinteraksi di masyarakat. Terkadang, sebagian besar orang-orang alergi ketika disebut si anu adalah seorang gay, misalnya.
Saya berpikir bahwa, setiap orang berhak melakukan “hubungan intim”, karena itu, setiap orang juga berhak menikmati perilaku LGBT. Namun bagi yang kontra, akan dengan cepat mengatakan, “Karena hidup manusia adalah pemberian Tuhan, maka hak Tuhan harus diberikan”. Salah satunya adalah tanggung jawab manusia untuk mengisi bumi ini dengan melahirkan keturunan.
Jika melahirkan keturunan adalah perintah Tuhan, maka menjadi LGBT dengan alasan bahwa “hubungan intim” adalah hak mendapatkan kenikmatan, pada akhirnya sama dengan menutup peluang keturunan. Jadi, persoalannya bukanlah tentang menolak LGBT, melainkan lebih kepada pertentangan hak. Hak siapa yang harus didahulukan?
Filosofi dari sebuah hak adalah, “Bisa diambil, bisa tidak”. Kita tidak bisa menganggap bahwa semua “hubungan intim” harus sama seperti yang kita rasakan. Apapun jenis seksualitas, baik itu LGBT sekalipun, ketika ada komitmen untuk saling setia kepada pasangan, adalah bentuk komitmen dalam membina hubungan. Mengapa kita membatasi nikmat orang lain dan merasa sok tahu tentang kepuasaan hasrat seorang lesbi, misalnya!
Bila saya mengandaikan bahwa ujung dari rasa mengingini adalah hubungan seks, maka kesadaran akan rasa nikmat, adalah hakikat utama “seksual” manusia. Saya mendalilkan argumen ini bukan karena saya bagian komunitas LGBT. Akan tetapi, bagi saya, seksualitas itu adalah universal yang merupakan Hak Asasi Manusia.
Saya juga tidak yakin tujuan “hubungan intim” hanya untuk menghasilkan keturunan. Saya menginterpretasikan bahwa menjaga keutuhan pasangan adalah “sakral”, sementara beranak cucu adalah harapan.
Hal itu menandakan bahwa heteroseksual bukanlah perintah Tuhan. Pada prinsipnya, apapun alasan sebuah “hubungan intim”, intinya komitmen kepada pasangan hidup yang menjadi acuan. Keturunan atau anak hanya sebuah bonus.
Akhir kata, saya ingin mengatakan, mungkin sekarang ini kaum LGBT tidak bisa memiliki keturunan secara biologis. Seorang gay tidak punya kandungan rahim. Lesbi tidak punya testis. Namun, ilmu pengetahuan selalu berkembang.
Akal manusia haus akan penemuan-penemuan hal-hal baru yang sudah dan akan menjawab semua keraguan-keraguan itu. Saya percaya bahwa penemuan-penemuan terbaru oleh manusia, menandakan Tuhan tidak hanya sekali melakukan penciptaan.
Penulis adalah seorang pengamat sosial dan politik. Berdomisili di kota Pematangsiantar.
Editor: Red/Hen