Pranoto, SH*
PIRAMIDA.ID- Dunia penegakan hukum belakangan ini diisi oleh pemberitaan anak kandung yang menggugat orang tuanya di pengadilan.
Di Bandung, ada sosok kakek 85 tahun yang digugat anak kandungnya yang menuntut ganti kerugian atas tanah warisan senilai Rp 3 Milyar. Pun yang dialami nenek Darmina yang harus menghadiri persidangan dengan kursi roda, setelah anaknya mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri (PN) Pangkalan Balai, Sumatera Selatan.
Belum berhenti di sana, di Salatiga, Dewi Firdauz, juga digugat anak kandungnya terkait perselisihan kepemilikan mobil Fortuner, dan masih banyak sejumlah catatan mengenai persoalan ini.
Secara hukum formil, tindakan anak melakukan gugatan kepada orang tua kandungnya tentu tidak menyalahi aturan yang ada, di mana asas persamaan hak di hadapan hukum adalah sebuah keniscayaan.
Selain itu, tujuan dari hukum, yakni kepastian dan keadilan tentu harus dipandang sebagai salah satu alasan mendasar seorang anak sebagai ahli waris yang merasa tidak mendapatkan atau dicederai haknya.
Namun, apakah menjadi sesuatu yang dapat dikatakan wajar, apabila anak kandung yang dilahirkan dan dibesarkan kedua orang tuanya kemudian menggugat di persidangan meja hijau?
Sebagai bangsa yang beradab dan berbudaya ketimuran, insiden semacam ini tidak seharusnya terjadi. Prof. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya “Perbandingan Hukum Perdata” menjelaskan, kebiasaan penduduk daratan Asia, termasuk Indonesia, secara historis telah menerapkan kebudayaan clan (keluarga besar). Sangat berbeda dengan kebiasaan penduduk Barat yang cenderung materialisme dan individualisme.
Dalam hukum terdapat istilah Alimentasi yang kemudian diatur di dalam Pasal 46 UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Di mana ditegaskan bahwa setiap anak berkewajiban memelihara orang tuanya menurut kemampuannya. Begitupun dengan apa yang diatur Pasal 298 KUH Perdata, di mana disebutkan bahwa setiap anak, berapun umurnya, wajib menghormati dan menghargai orang tuanya.
Dalam hal ini, memang tidak ditegaskan secara eksplisit mengenai sanksi yang dapat dikenakan oleh setiap anak yang tidak mentaati isi pasal tersebut sebagai salah satu sumber hukum. Lantas, bagaimana dengan kedudukan hak anak yang hak mendapatkan warisannya patut diduga telah dilanggar atau diciderai orang tuanya?
Mengingat, pengaturan hukum warisan di Indonesia yang masih bersifat dualisme dan pluraris, di antaranya ialah KUHPerdata, Hukum Islam, dan Hukum Adat, persoalan ini seyogyanya dapat dimitigasi sejak awal oleh setiap orang tua terkait pembagian harta warisan kepada ahli warisnya dengan menerapkan salah satu ataupun gabungan kaidah-kaidah hukum warisan tersebut.
Dalam disertasinya, Dr. Rony Andre C. Naldo, menuliskan tentang pentingnya memahami gradasi peraturan perundang-undangan, di mana peraturan diciptakan atas dasar kebiasaan, yang kemudian menjadi Undang-Undang, setelahnya mengandung asas-asas hukum, dan terakhir setiap aturan hukum akan mengandung sebuah nilai yang dapat diintepretasikan dengan logika dan pendekatan filsafat.
Terkait kasus-kasus gugatan anak terhadap orang tua kandungnya sepatutnya hakim sebagai pemegang palu keadilan dapat memperhatikan nilai-nilai dalam setiap peraturan sebelum memutus sengketa.
Alimentasi tidak membawa sebuah sanksi pidana, namun alimentasi sebaiknya dipahami dengan pendekatan filsafat dan kearifan. Indonesia sebagai bangsa yang menjunjung tinggi adab, sangat disayangkan apabila perselisihan harta menjadi sebuah pemutus mata rantai persaudaraan.(*)
Penulis adalah Konsultan Hukum pada Kantor Bantuan dan Kajian Hukum Utilitarians Righibran.