PIRAMIDA.ID – R.D. Yusuf Bilyarta Mangunwijaya, Dipl. Ing. (lahir di Ambarawa, Kabupaten Semarang, 6 Mei 1929 – meninggal di Jakarta, 10 Februari 1999 pada umur 69 tahun), dikenal sebagai rohaniawan, budayawan, arsitek, penulis, aktivis dan pembela wong cilik (bahasa Jawa untuk “rakyat kecil”). Ia juga dikenal dengan panggilan populernya, Rama Mangun (atau dibaca “Romo Mangun” dalam bahasa Jawa). Romo Mangun adalah anak sulung dari 12 bersaudara pasangan suami istri Yulianus Sumadi dan Serafin Kamdaniyah.
Gagasan Romo Mangun perihal pendidikan dasar tidak berhenti sebagai sebuah konsep yang disimpan di dalam laci. Tahun 1994, dia mewujudkannya dalam sebuah sekolah dasar eksperimental di Desa Mangunan Berbah Sleman Yogyakarta. Di sekolah ini semua konsepnya dituangkan dan dialirkan. Episentrumnya adalah dinamika. Jantung dari dinamika adalah eksperimen.
Karena jantungnya adalah eksperimen maka idealnya dibutuhkan orang-orang yang tidak biasa yang bisa menjaga jantung itu terus berdetak ideal. Di sinilah letak ‘kesusahan’ mengidealkan realisasi konsep ini. Kesusahan dalam menghadirkan sosok guru fotokopian-nya Romo Mangun atau yang mendekatinya.
Romo Mangun adalah seorang guru. Dia guru bertipe arsitek, bukan bertipe tukang. Guru bertipe tukang adalah mereka yang hanya menyelesaikan tugas menurut perintah tugas dan tidak tertarik meluangkan waktu dan energi melampaui batas perintah yang diterima. Sedangkan guru bertipe arsitek adalah manusia pembelajar yang tidak cuma menjalankan tugas yang diperintah melainkan memiliki semangat volunteryang senang gembira memberikan waktu dan enerjinya melebihi dari tugas dan kewajibannya, serta berkemampuan dan berkemauan mendesain kreativitas.
Sesungguhnya seluruh konsep Romo Mangun sudah jelas dan siap. Rumusannya terang benderang disampaikan dalam kalimat-kalimat yang mengalir, mudah dibaca, mudah dipahami. Tidak perlu tafsir, yang diperlukan adalah orang yang punya kemauan, kemampuan, dan semangat, dan paling penting kesabaran dalam berproses melaksanakan.
Guru yang Suka dan Antusias Meminjam Pengalaman Orang Lain
Konsep Romo Mangun memerlukan guru yang piawai memicu dan memacu potensi murid. Guru yang produktif menghadirkan sebanyak-banyaknya pengalaman bagi siswa. Sebab itu guru yang pas mengemban konsep Romo Mangun haruslah yang suka dan antusias meminjam pengalaman orang lain. Banyak cara meminjam pengalaman orang lain. Bisa melalui dialog, diskusi bilateral ataupun berkelompok, membaca buku, membaca surat kabar, menonton pameran, menonton televisi, mendengar radio, dan menyimak sosial media, bahkan membaca sobekan surat kabar bekas. Sebagai contoh inspiratif, Raudal Tanjung Banua, bisa tumbuh berkembang sebagai salah seorang penulis produktif Indonesia salah satunya pemicunya karena ketika masa kecil membaca sobekan surat kabar bekas yang menjadi bungkus ikan asin belanjaan ibunya.
Tatkala guru mendorong siswanya suka bertanya tentulah sang guru harus suka bertanya pula. Ketika guru mengevokasi siswa supaya ketagihan bereksperimen tentu sang guru harus tebal pula minatnya bereksperimen, imajinasinya lebar dan menjulang, ide-ide liarnya melimpah ruah. Suka bertanya, minat bereksperimen, dan imajinasi yang menjulang melimpah ruah itu hanya bisa diperoleh jika banyak meminjam pengalaman orang lain.
Dalam berbagai ruang dan waktu, baik sebagai ucapan di seminar atau saat diwawancarai maupun di dalam tulisannya, Romo Mangun selalu bergairah membahanakan konsepnya. Romo Mangun menggariskan sejumlah poin besar konsep pendidikannya. Semua poin itu mengonfirmasi bahwa ‘yang dibutuhkan adalah guru yang tidak biasa‘.
Poin Pertama: Eksploratif, Kreatif dan Integral
Menurut Romo Mangun, ada 3 hal yang ingin ditumbuh kembangkan dalam diri anak, yakni eksploratif, kreatif, dan integral. Dengan memiliki jiwa eksploratif, anak diharapkan jadi serba mencari dan suka bertanya. Sedangkan kreativitas membuat anak suka menciptakan hal-hal baru, lebih bermutu, dan lebih berguna.
Demikian pula dengan integral. Mereka diajari bahwa hidup itu kompleks, sehingga anak mampu melihat dan menghadapi berbagai macam segi kehidupan secara utuh-terpadu. Mampu menimbang berbagai alternatif penyelesaian soal yang menantang, dan mampu memilih jalan yang paling dapat dipertanggungjawabkan oleh hati nurani.
Eksploratif, kreatif, dan integral memerlukan guru yang terbiasa dan bisa menghadirkan sebanyak-banyaknya pengalaman bagi siswa. Berbagai kegiatan dalam segala bentuknya dan variasi eksperimen yang layak menjadi arena ‘mengalami’ buat siswa. Dasar segala pendidikan yang sejati selalu mulai berpijak pada pengalaman/penghayatan khas si anak (yang tidak pernah dan tidak mungkin seragam) yang diarahkan lewat pengalaman/penghayatan pribadi juga dari si anak. Bukan dari luar, juga bukan dari apa yang dimaui orang tua, guru, maupun masyarakat bahkan pemerintah sekalipun.
Poin Kedua: Emansipasi
Dalam sebuah tulisannya, Romo Mangun menjabarkan bahwa, “Mandiri, utuh, dalam bahasa pendidikan: manusia yang beremansipasi dan teremansipasi, itulah tujuan pengajaran dan pendidikan. Manusia yang beremansipasi adalah manusia yang integral, mampu mengolah kesulitan-kesulitan pribadi, mengalahkan kebimbangan, ketakutan, rasa minder, rasa tidak berdaya, depresi, dan lain sebagainya. Juga yang sudah mampu mengatasi fase membeo, meniru-niru, dan menghafalkan belaka, keterasingan terhadap diri sendiri sampai sanggup menemukan jati dirinya.
Jadi kritis tanpa apatis atau skeptis, bersikap terbuka dan positif menerima diri serta lingkungan seperti apa adanya, baik yang positif maupun negatif, namun tidak takut memperbaiki yang dapat diperbaiki: yang mampu mengolah kekuatan-kekuatan maupun kelemahan-kelemahan dirinya, dan berani mencari jalannya sendiri; mekar atas kemekarannya sendiri. Yang tidak mandeg pada fase ini harus! Itu dilarang! Tetapi tahu skala kewajiban dan hak, dengan nuansa-nuansa banyak seperti yang sebaiknya, yang seyogyanya, yang pantas, yang sukarela, yang berkorban, yang mencinta dan sebaginya. Pendek kata, berhasil mencapai suatu derajat kepribadian dan kedewasaan yang optimal.”
Dia mengonfirmasi, emansipasi dicapai lewat proses-proses pertumbuhan dan pengembangan opsi-opsi dwitunggal: proses eksplorasi dan proses kreativitas. Jadi lewat praksis (by doing) yang dibantu oleh pengembangan motoris, kognitif, afektif, moral, sosial oleh diri sendiri-sendiri maupun guru atau pembimbing.
Bagaimana kita menghubungkan dunia pengalaman anak kepada tujuan emansipatorik tadi lewat proses-proses eksploratif dan kreatif? Justru itulah tugas pendidikan dan pengajaran.
Ada lima tiang utama pengajaran dan pendidikan yang mendukung proses-proses eksploratif dan kreatif menuju ke tujuan manusia utuh.
- Pengolahan dan pengembangan kemampuan berbahasa dialogi;
- Pemerkayaan lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat);
- Pertumbuhan selaras antara prakarsa bebas dari anaka dan tawaran dari guru yang memupuk prakarsa si anak itu;
- Sarana-sarana dorongan untuk bereksperimen ekploratif;
- Sarana-sarana dorongan untuk berimajinasi kreatif.
Poin Ketiga: Sekolah Bukan untuk Kompetisi Tetapi Saling Bekerja Sama
Sebuah prinsip yang dianut Romo Mangun tidak mengizinkan sistem rangking. Dia mengatakan, “Rangking pada dasarnya kan kompetisi. Nah kompetisi itu sendiri adalah infiltrasi (campur tangan) dari dunia pabrik dan bisnis, yang tidak boleh masuk dalam dunia pendidikan. Karena yang dikenal dalam dunia pendidikan adalah solidaritas, yang lebih cepat membantu yang lambat.”
Poin Keempat: Jangan Abaikan Kodrat Anak, Suasana Gaduh adalah Bagian dari Kodratnya
Romo Mangun menerangkan, “Semua kondisi ini sengaja dicipta dan dibudayakan. Karena pada dasarnya anak hanya bisa belajar dengan baik bila berada di dalam dunia anak. Seperti padi yang hanya bisa tumbuh di tanah basah, demikian pula anak-anak. Mereka harus ditempatkan dalam lingkungan yang suasananya sesuai dengan kodrat mereka. Metodologi penerapan proses belajar mengajar lebih difokuskan pada visi semangat pendidikan dasar, yakni demi kepentingan murid.”
Pendidikan matematika yang abstrak diberikan secara kongkrit, sesuai kehidupan nyata. Dengan demikian, anak tahu untuk apa dia belajar. Demikian juga pelajaran olahraga. “Yang ditekankan di sini adalah prinsip fair play pada anak, kerjasama, dan bergembira dengan teman-temannya, serta gerak badan agar sehat. Anak bermain tidak untuk menang, tetapi untuk menang secara indah, elegan. Kalau lawan memang lebih baik, kita harus mengakui, bukan bermain curang supaya menang. Guru tidak mengajari berapa ukuran lapangan sepakbola, misalnya. Karena, untuk anak, ukuran lapangan sepakbola bisa seluas lapangan terbang, bisa seluas petak sawah. Kalaupun dia mau tahu ukuran menurut aturan, bisa dilihat di buku. Jadi tidak perlu dihafal.”
Poin Kelima: Tidak Ada Anak yang Bodoh
Dalam sebuah wawancara, Romo Mangun menyatakan, “Anggapan masyarakat kita kan bahwa anak yang bertanya itu anak yang bodoh. Padahal tidak. Karena sebenarnya tidak ada anak yang bodoh. Saya berpegang kepada pendapat Socrates, bahwa setiap manusia itu sudah hamil dengan kebenaran. Guru, kami, dan semua orang tua hanya bidan. Yang melahirkan dengan kebenaran adalah si anak itu sendiri. Sejak lahir, anak sudah disertai dengan seorang maha guru. Siapa dia? Ya, anak itu sendiri. Kalau kita mencekik potensi kebenaran yang ada dalam diri anak, ya tentu saja dia disebut bodoh.”
Poin Keenam: Perhatian adalah Anak Kunci
Dalam tulisan yang lain, Romo Mangun menegaskan: menyerambahi dan menyusup ke dalam seluruh semuanya di atas, dan yang merupakan anak kunci keberhasilan pengajaran dan pendidikan sejati selalulah satu ini: perHATIan (kata akar: hati; concern) si anak itu sendiri. Di mana ada perhatian, di situ ada proses belajar dan pertumbuhan serta perkembangan.
Di mana tidak ada perhatian, di situ pun tidak terjadi suatu proses belajar, tidak ada unsur eksplorasi maupun kreativitas, walaupun mungkin disebut ‘tahu banyak’. (Adagium Roma kuno: non multa sed multum= bukan onggokan tahu serba banyak, tetapi pendalaman).
Maka kita sampai pada perbedaan antara belajar secara dangkal atau seolah-olah belajar, dan belajar secara fundamental yang menuju ke pemahaman inti suatu perkara atau seluk-beluk maupun struktur persoalan atau dengan istilah lain: memegang/menguasai secara mental (lihat perbedaan begreifen = menangkap dan verstehen= memahami)
Belajar dangkal misalnya adalah penghafalan seperti beo atau tahu ini tahu itu karena terampil dilatih di-dril seperti binatang sirkus; jadi belajar sebagai akibat reaktif dari stimulans luar, seperti: takut dimarahi, takut tidak lulus, takut kalah atau karena sedang trendy atau mode.
Belajar fundamental tidak hanya menangkap, melainkan juga memahami struktur, seluk-beluk dan hukum-hukum di balik suatu perkara, yang datang dari sikap penuh perHATIan: jadi memasukkan perkara yang bersangkutan ke dan di dalam hati, dengan pengertian hukum-hukumnya berlaku. (misalnya, pemahaman mengapa ikan paus itu bukan ikan melainkan binatang menyusui, walaupun berbentuk ikan, dan mengapa berbentuk ikan).
Belajar secara dangkal datang dari model belajar statis. Geraknya datang dari luar diri. Sedangkan model belajar fundamental selalu dinamis berkat dinamika intern di dalam Si Siswa itu sendiri yang memang didorong oleh pembimbing, akan tetapi ‘mesinnya’ ada dalam diri si siswa. Itu sekali lagi, hanya mungkin jika di dalam siswa ada perhatian terhadap perkara yang dipelajari; yang kemudian menggerakkan dinamika eksplorasinya dan yang bermuara ke dalam kreativitas si anak.
Garis prinsip Romo Mangun jelas dan tegas, sebagaimana selalu diujarkannya, “Guru bukan pawang, apalagi birokrat. Dia adalah bapak, ibu, kakak, abang, sahabat, dan mitra murid.”
Tidak mudah menjadi guru seperti digariskan Romo Mangun ini, perlu kesabaran, kesabaran yang riang, perlu rendah hati, egaliter. Perlu banyak membaca. Dalam konsep Romo Mangun, membaca adalah panglima. Mensyaratkan guru yang bukan sekadar suka membaca, tetapi yang ketagihan dan rakus membaca, yang membaca baginya adalah sebuah kebahagiaan.
Dia akan mendorong muridnya pula sampai level membaca adalah sebuah kebahagiaan. Romo Mangun itu ketagihan membaca. Membaca membuatnya tampak selalu ‘berisi’ dan mengejutkan. Membaca berfungsi mengasah dan mengasuh imajinasi agar selalu berbuah mengejutkan. Seperti desain peralatan belajar karya Romo Mangun, bisa berfungsi jadi bangku, di lain waktu bisa juga difungsikan jadi podium.
Tulisan ini disadur dari beberapa sumber.