Roberto Duma Buladja*
PIRAMIDA.ID- Generasi milenial (millennials) seakan tak habis diwacanakan dalam ruang publik. Pewacanaannya dilandasi oleh dominannya populasi millennials di Indonesia.
Merujuk pada hasil penelitian Strauss dan Howe (2000) dapat disimpulkan bahwa generasi milenial lahir dalam rentang waktu 1982-2000. Jika membandingkan dengan data Survei Sosial Ekonomi Nasional 2017 (dalam Statisik Gender Tematik 2018), maka jumlah generasi milenial mencapai sekitar 88 juta jiwa atau 33,75 persen dari total penduduk Indonesia.
Jumlah tersebut lebih besar dari kelompok generasi lainnya, seperti generasi X yang berkisar 25,74 persen maupun generasi baby boomers 11,27 persen. Demikian juga dengan generasi Z yang baru mencapai sekitar 29,23 persen.
Adapun terdapat sederetan keunggulan dari generasi milenial yang menempatkan mereka pada posisi strategis. Yoris Sebastian (2016) misalnya, mencatat keunggulan generasi milenial, yaitu ingin serba cepat, mudah berpindah pekerjaan dalam waktu singkat, kreatif, dinamis, melek teknologi dan dekat dengan media sosial.
Hal serupa juga diungkapkan oleh Bhakti dan Safitri (2017) bahwa nilai plus dari generasi milenial, yakni sikap ingin tahu yang tinggi, menguasai teknologi, berusaha sendiri menemukan dan mengaplikasikan hal-hal baru. Kekhasan generasi ini adalah multi-tasking atau dapat melakukan berbagai aktivitas dalam waktu bersamaan. Selain itu, mereka memiliki kepedulian yang tinggi terhadap lingkungan sosial dan politik.
Keberadaan millennials dalam kehidupan politik Indonesia menjadi topik menarik untuk ditelaah lebih mendalam. Dengan bermodalkan gadget, internet, dan berbagai platform digital, generasi milenial mampu berselancar secara leluasa untuk mempengaruhi berbagai kebijakan publik.
Sebagai contoh, pertama, terbongkarnya kebijakan anggaran lem aibon senilai Rp. 82,8 miliar oleh William Aditya Sarana, anggota Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) DPRD DKI Jakarta. Kedua, berkembangnya gerakan petisi online dan “tagar” (#) seperti #GejayanMemanggil, #ReformasiDikorupsi, #SaveKPK, dan sebagainya. Dua contoh tersebut menunjukkan bagaimana peran millennials tampil sebagai kelompok aktif menentukan arah perpolitikan Indonesia.
Jelas bahwa gerakan politik yang dimotorik oleh generasi milenial tidaklah main-main. Sejatinya, kedua bentuk gerakan itu mengekspresikan gaya politik ala millennials. Satunya melalui jalur struktural dan satunya lagi fungsional. Generasi milenial hendak memposisikan dirinya sebagai aktor politik yang lihai dalam mengelola informasi serta menyampaikan pesan-pesan politik lewat saluran teknologi digital.
Tidak hanya memiliki kekuatan pengubah saja, pesan politik yang diterima khalayak luas dan lembaga sasaran (pemerintah) pada gilirannya memperbaharui sistem dan tata kelola pemerintahan. Dalam konteks demikian, millennials telah memberikan input dalam alur logika sistem kebijakan publik (input-process-ouput). Suatu gerakan spontan, tetapi menembus jalur birokrasi yang begitu panjang dan rumit.
Kecakapan bermain di atas jejaring media sosial adalah kekuatan jaringan politik yang merobohkan jarak ruang dan waktu. Berkomunikasi, berdiskusi, dan berbagi informasi terbaru seakan tak ada halangan. Melalui perangkat teknologi digital, para millennilas mampu mengonstruksi berbagai isu sentral serta melayangkan sikap perlawanan terhadap situasi sosial-politik yang tidak berpihak pada kepentingan umum.
Hal ini tentu berbeda dengan para politikus generasi sebelumnya yang cenderung mengandalkan gaya politik konvensional dan berbelit-belit.
Generasi milenial terkenal dengan generasi kreatif dan informatif. Kelompok generasi ini juga sangat cepat merespon gejolak sosial-politik di lingkungan sekitarnya yang menghendaki adanya perubahan dalam waktu relatif singkat. Hal ini tentu berbeda jauh dengan generasi X dan baby boomers yang akrab dengan dunia formal serta tunduk pada mekanisme kerja politik yang begitu kaku. Pola pikir millennials yang sangat terbuka, kritis, dan cenderung nekat menegaskan adanya kebaruan cara berpolitik di era kekinian.
Suka ataupun tidak, geliat para millennials telah melahirkan gaya dan tatanan baru kehidupan politik Indonesia. Mengelak ataupun tidak, media sosial telah berubah menjadi mesin politik baru bagi aktor-aktor politik untuk menjaring pendukungnya.
Dan, sadar ataupun tidak, dalam diri generasi milenial-lah arah dan nasib masa depan Indonesia dipertaruhkan. Asumsi ini tentu sejalan dengan data Statistik Pemuda Indonesia (2019, 35-41) bahwa sekitar 88,66 persen pemuda Indonesia telah memiliki handphone dan 81,22 persen menggunakan internet.
Ya, keberadaan ponsel pintar dan media sosial yang terhubung dengan internet mampu melahirkan gelombang perubahan politik yang begitu dahsyat.
Amati saja aktivitas warga-net yang sangat aktif bergerilya di kanal-kanal media digital. Melakukan update status, baik berisi ide, gagasan dan sikap positif. Maupun narasi hoax dan penuh kebencian yang berseliweran begitu massif.
Aplikasi seperti Messenger, Facebook, Twitter, YouTube, WhatsApp, Website, dan lainnya seakan menjembatani semua orang untuk berjumpa dalam ruang ‘tak bertuan’. Dalam ruang itulah, semua orang bebas berinteraksi, mengakses informasi, mengkoordinasi sumber daya, serta memanfaatkannya untuk mengejar tujuan-tujuan tertentu.
Pastinya ada tantangan dan dampak negatif tersendiri bagi perjalanan politik dan demokrasi di Indonesia. Pada satu sisi, kecanggihan teknologi kian membuka kran kebebasan dan kemerdekaan berpendapat bagi setiap orang. Namun, sisi lainnya justru memperkuat tumbuhnya benih konflik laten tatkala disalahgunakan. Bahwa di era digital demokrasi minim etika akan menciptakan individu-individu yang bablas dan brutal.
Terlepas dari hal itu, memahami karakteristik generasi milenial yang fleksibel, informatif, dan dinamis dipandang penting sebagai peluang untuk membangun masa depan bangsa dan negara. Mengoptimalkan potensi dan sumber daya millennials jauh lebih tepat untuk membangun peradaban demokrasi di Indonesia.
Setidaknya penulis memberi beberapa poin penegasan sebagai catatan reflektif terkait eksistensi millennials dalam kehidupan politik, antara lain: Pertama, generasi milenial perlu menyadari bahwa dirinya adalah aktor politik yang sedang melakoni perannya sebagai agen of social control dan agen of change. Fungsi lainnya seperti komunikator dan edukator politik, serta advokasi berbasis isu menjadi hal yang melekat pada diri para millennials.
Tingginya intensitas penggunaan media digital membuat gaya politik millennials sangat efektif mempengaruhi berbagai kebijakan publik. Jika peran dan fungsi tersebut terorganisir secara mantap dan terarah, maka kehadiran millenials dalam dinamika politik memiliki daya transformatif yang besar.
Kedua, perlu disadari bahwa media digital tidak hanya dipandang sebagai “anugrah”, tetapi dapat mendatangkan “bencana” serius bagi manusia. Para millennials jangan sampai terjebak dalam lingkaran politik sempit yang kerap ditunggangi oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab.
Karakter generasi milenial yang spontan serta preferensi politik yang belum kuat sangat dimungkinkan “dirasuki” oleh berbagai kepentingan sesaat, bahkan “sesat”. Beredarnya hoax dan ujaran kebencian di kanal-kanal media sosial menyimpan tantangan tersendiri bagi millennials untuk menyikapinya secara kritis. Dengan demikian, generasi milenial mampu merintis model politik baru yang sehat dan bermartabat.
Ketiga, pemerintah sebagai pihak pengambil kebijakan perlu mengakomodir sumber daya generasi milenial. Sebab kepiawaian berselancar di atas jejaring digital, kreatif, progesif, informatif, dan terkoneksi dengan masyarakat global merupakan potensi dan kekayaan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Generasi milenial sejatinya dapat dijadikan mitra kritis dan strategis bagi pemerintah dalam membangun sistem demokrasi yang berkualitas, mendongkrak partisipasi politik yang aktif, serta menjamin eksistensi politik Indonesia di masa yang akan datang.
Pada akhirnya, generasi milenial akan menjadi kelompok penentu bagi maju dan mundurnya Indonesia. Apalagi dalam satu atau dua dekade kedepan, Indonesia diwacanakan memasuki tahun bonus demografi. Para millennials sebagai generasi dengan usia produktif digadang-gadang akan membawa bangsa dan negaranya menikmati peluang tersebut.
Ya, sebaiknya semua lembaga negara baik level nasional hingga lokal bahu-membahu mempersiapkan bekal bagi generasi milenial Indonesia. Agar kelak, Indonesia benar-benar merayakan peluang emasnya. Sembari ngopi seorang kawan pernah berujar: “Mari sambut 100 tahun Indonesia dengan gaya politik ala millennials!”.(*)
Sumber Rujukan
Badan Pusat Statistik. 2018. Statisik Gender Tematik: Profil Generasi Milenial Indonesia. Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak – Republik Indonesia.
Badan Pusat Statistik. 2019. Statistik Pemuda Indonesia 2019. Jakarta: BPS
Sebastian, Yoris. 2016. Generasi Langgas Millenials Indonesia. Jakarta: Gagas Media
Strauss, William dan Neil, Howe. 2000. Millennials Rising: The Next Great Generation. Vintage.
Bhakti P, Caraka dan Safitri, E Nindiya. 2017. Peran Bimbingan dan Konseling Untuk Menghadapi Generasi Z Dalam Perspektif Bimbingan dan Konseling Perkembangan. Jurnal Konseling GUSJIGANG. Vol. 3 No. 1 (Januari-Juni 2017). Publikasi oleh Program Studi Bimbingan dan Konseling FKIP Universitas Muria Kudus.
Penulis lahir di Duma, Galela, Halmahera Utara, 02 Maret 1996. Mahasiswa Pasca Sarjana Studi Pembangunan di UKSW-Salatiga. Gemar menulis dan berkarya. Sekarang aktif sebagai Ketua Bidang Pendidikan Kader dan Kerohanian (PKK) Pengurus Pusat GMKI Masa Bakti 2020-2022.
Comments 1