Muhammad Fazar*
PIRAMIDA.ID- Status sebagai mahasiswa memang sementara, namun dalam momen penting dalam sejarah dunia dan Indonesia, mahasiswa mampu menjadi pemicu gerakan yang masif.
Gerakan akbar mahasiswa tahun 1974, 1998 merupakan beberapa momen di mana gerakan mahasiswa memicu gerakan yang lebih besar.
Kesamaan gerakan-gerakan mahasiswa adalah sikap mereka melawan elite politik dilakukan secara maraton.
Tantangan terbesar adalah mempertahankan stamina gerakan dalam jangka panjang karena elite politik hanya akan bereaksi saat massa hadir dalam jumlah besar.
Ada gerakan yang berhasil, ada yang gagal.
Sebagai peneliti ilmu politik yang mengamati gerakan mahasiswa Indonesia tahun 1998 dan membandingkannya dengan gerakan lain di Asia dan Amerika Latin, saya mengidentifikasi tantangan yang sama juga dihadapi Generasi Z saat ini ketika mereka melakukan aksi unjuk rasa memprotes sikap elite politik Indonesia yang kejar tayang meloloskan beberapa rancangan undang-undang (RUU) bermasalah.
Tantangan ini terbagi menjadi ancaman dari dalam dan luar gerakan.
Dengan mengamati sejarah gerakan mahasiswa di dalam dan luar negara di dalam dan luar negara, beberapa pembelajaran yang bisa diadopsi untuk menghadapi ancaman-ancaman tersebut.
Ancaman dari dalam
Terputusnya sumber daya tentu akan membuat napas gerakan tersengal. Rasa lapar, haus, kekurangan perlengkapan aksi, atau berkurangnya jumlah peserta dapat melemahkan gerakan.
Untuk mengantisipasinya, tidak jarang sebuah gerakan memperluas jangkauannya ke kelompok-kelompok lain.
Kolaborasi antara gerakan mahasiswa 1998 dengan Suara Ibu Peduli dan kelompok lain berhasil mengalirkan sumber daya untuk mahasiswa menduduki dan bertahan di gedung Dewan Perwakilan Rakyat pada Mei 1998.
Masuknya bermacam kelompok tersebut justru memperkuat basis sosial gerakan.
Kini, media sosial mempermudah gerakan untuk menyuarakan kebutuhan dan juga publik untuk membantu gerakan dengan risiko minim.
Tantangannya adalah menyesuaikan antara persediaan sumber daya dengan perkiraan jangka waktu yang dibutuhkan untuk mewujudkan tuntutan gerakan.
Motivasi yang menurun karena ketidakpastian berhasil-tidaknya gerakan akan menggerogoti gerakan dalam jangka panjang.
Pada 1998, mahasiswa di beberapa kampus menjalankan berbagai aktivitas untuk menjaga mesin gerakan tetap panas melalui diskusi dan mimbar bebas.
Dalam gerakan anti-perang Vietnam di Amerika pada dekade 1960-an, para dosen pun turut berpartisipasi menjaga semangat dengan memindahkan kelas ke luar dan mengggunakan kegiatan pendidikan sebagai bagian dari pengorganisasian.
Perpecahan akibat pembentukan faksi adalah ancaman lain yang mematikan.
Faksi-faksi gerakan yang berbeda dapat berjalan seiring. Namun demikian, setelah tujuan utama tercapai, biasanya, efek perpecahan akan membesar.
Perpecahan antara kelompok mahasiswa pro-Habibie dan anti-Habibie (dan Orde Baru) pasca jatuhnya Suharto merupakan contoh nyata bahaya faksionalisme.
Tidak ada resep mujarab untuk mengatasi perpecahan dalam gerakan karena terpecahnya gerakan biasanya cerminan keberagaman sosial di masyarakat.
Langkah yang bisa dicoba adalah berdialog dengan faksi berbeda untuk menyepakati apa yang harus dilakukan jika terdapat perbedaan – paling tidak, tentang agenda utama bersama.
Ancaman dari luar
Dari luar gerakan, ancaman yang mengintai adalah represi rezim.
Represi kerap digunakan untuk menuai rasa takut, cemas, dan putus asa yang pada gilirannya mengurangi tingkat partisipasi.
Dari kajian akademik, belum ada hasil studi yang konklusif terhadap efek dari represi rezim.
Pada satu sisi, represi memang berhasil mematikan gerakan. Represi junta militer Burma pada 1988 membunuh ribuan orang dan berhasil mematikan gerakan.
Di sisi lain, represi ternyata justru membesarkan gerakan. Gerakan mahasiswa justru semakin masif setelah penembakan mahasiswa Trisakti pada 12 Mei 1998.
Rezim bisa juga melakukan represi sambil memenuhi sebagian tuntutan gerakan dengan harapan bisa menurunkan semangat peserta, namun inkonsistensi ini justru akan memperkuat gerakan.
Revolusi Iran 1979 contohnya. Gerakan mahasiswa bersama buruh, kelompok Islam dan pedagang kecil justru membesar setelah pada Agustus 1978 rezim Mohammad Reza Pahlevi mengangkat tokoh reformis Sharif-Emami sebagi perdana menteri sambil terus merepresi protes massa pada September 1978.
Penunggangan kepentingan oleh aktor politik lain, sayangnya, kerap terjadi dalam sejarah gerakan sosial.
Gerakan mahasiswa selalu menjadi komoditas menarik bagi aktor-aktor lain. Dengan menyuarakan agenda di luar kepentingan mahasiswa, sebenarnya mahasiswa sudah menyediakan diri menjadi corong bagi kepentingan banyak kelompok lain.
Tetapi, bergandeng tangan dengan buruh yang dieksploitasi, petani yang dirampas tanahnya, atau perempuan dan kelompok minoritas lain (misalnya LGBTQ, keturunan Cina, dan Papua), jelas tidak ada salahnya
Sejarah membuktikan bahwa gerakan mahasiswa kerap bersekutu dengan kelompok sosial lainnya, seperti aliansi gerakan mahasiswa di Korea Selatan dengan buruh pada dekade 1980-an.
Mencegah penunggangan bisa dilakukan juga dengan memaksa pemimpin gerakan bertanggung jawab pada peserta gerakan.
Gerakan perlu membangun mekanisme pertanggungjawaban pemimpin gerakan terhadap aspirasi peserta dan agenda utama gerakan.
Hilangnya kepercayaan massa mahasiswa terhadap delegasi mereka yang berdialog dengan pemerintah saat protes Tiananmen 1989 adalah contoh kegagalan.
Kesuksesan dapat pula menjadi ancaman. Tercapainya agenda tidak menjamin rezim berhenti mencari jalan lain.
Ini terjadi pada gerakan mahasiswa di Thailand pada 1973.
Pasca keberhasilan gerakan mahasiswa Thailand menurunkan Thanom Kittikachorn, junta militer hanya butuh tiga tahun untuk kembali berkuasa lewat kudeta pada 1976.
Kegagalan dalam memaksa elit politik merealisasikan agenda gerakan dapat pula menurunkan semangat gerakan.
Taktik yang biasa digunakan adalah mengubah energi gerakan ke dalam bentuk komunitas dan jaringan yang memelihara sumber daya, nilai, dan tujuan gerakan.
Gerakan feminis Amerika pada 1960- dan 1970-an, misalnya, terpaksa tiarap pada 1980-an karena gelombang anti-feminisme.
Namun, mereka berhasil memelihara jaringan dan sumber daya melalui kelompok diskusi, dan menyebarkan nilai dan sumber daya mereka ke dalam sektor-sektor lain seperti sektor pekerjaan.
Hasilnya, pada awal 1990-an, jaringan tersebut berhasil melahirkan gerakan lingkungan, dan anti-apartheid.
Selama energi gerakan dapat ditabung dan kesempatan terbuka, selalu ada hari esok untuk menyulut pergerakan.
Membaca situasi dan mengantisipasi berbagai ancaman-ancaman dapat mencegah matinya gerakan. Seperti salah satu judul lagu Rage Against the Machine, “Know Your Enemy!”(*)
Muhammad Fajar menerima dana dari Indonesian Scholarship and Research Support Foundation (ISRSF). Artikel republikasi The Conversation.