PIRAMIDA.ID- Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia Komisariat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara (GMKI FKM USU) sukses gelar webinar dengan tema “Kenali Serta Cegah Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi”. Acara ini diselenggarakan pada hari Sabtu, 12 Maret 2022 dengan menggunakan media Zoom.
Webinar Kesehatan ini dihadiri kurang lebih 102 peserta yang berasal dari berbagai instansi dan berbagai daerah. Webinar ini menghadirkan Daniel Panjaitan sebagai moderator, Dr. Drs. Kintoko Rochadi, MKM (Dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara) dan Lusty Ro Manna Malau (Pendiri Perempuan Hari ini) sebagai Narasumber.
Webinar ini juga diawali oleh kata sambutan dari Ketua GMKI Cabang Medan, yaitu Irwan Maranata Siregar yang dalam kata sambutannya mengatakan bahwa webinar ini kiranya membuat civitas akademisi dan juga kiranya masyarakat menjadi lebih peduli terhadap kejadian kekerasan seksual di sekitar, khususnya di lingkungan kampus.
Webinar ini juga mengajak para partisipan untuk menyampaikan pendapatnya, seperti salah satu perwakilan dari Pengurus GMKI Komisariat FKM USU, yaitu Glen Simanjuntak yang mendukung langkah baik dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) yang telah menerbitkan Permendikbudristek tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Linkungan Perguruan Tinggi, karena menurutnya bahwa kekerasan seksual bukanlah perbuatan yang dapat ditoleransi karena dampaknya besar bagi para korbannya, baik psikis maupun secara fisik.
“Perguruan tinggi haruslah menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi pelajar dan terhindar dari tindak kekerasan seksual, dan dengan adanya Permendikbudristek No 30 tahun 2021 ini dapat menjadi langkah dalam upaya pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan Indonesia agar berjalan tanpa menghambat warga negara dalam mengakses dan melanjutkan pendidikannya,” katanya.
Webinar kesehatan ini dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh Bapak Dr. Drs. Kintoko Rochadi, MKM dengan judul “Permendikbud Nomor 30, Mengenai Kekerasan Seksual di Perguruan Tinggi”. Diawali dengan menjelaskan apa dan bagaimana Permendikbud Ristek Nomor 30 Tahun 2021.
“Peraturan ini adalah aturan yang mengatur perihal kejahatan. Kejahatan yang dimaksud adalah kekerasan seksual di lingkungan perguran tinggi. Permendikbud ini dibuat agar ada regulasi yang mengatur mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi. Tujuannya ditekankan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tunggi, jadi tidak mengatur tentang susila atau norma etika, karena itu ada ranahnya sendiri,” paparnya.
Namun, lanjutnya, keluarnya Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 ini menjadi kontroversi dan perdebatan terutama pada Pasal 5 yang adanya frasa “tanpa persetujuan korban”. Beberapa pihak menganggap frasa tersebut sebagai bentuk legalisasi zina atau seks bebas di lingkungan perguruan tinggi. Padahal, maksud dari frasa “tanpa persetujuan korban”, adalah untuk menjaga privasi dan hak individu korban, bukan untuk melegalkan perzinahan di perguruan tinggi.
“Privasi dan hak individu tersebut tidak dapat diukur dampaknya dari pihak lain di luar korban. Frasa “tanpa persetujuan korban” ini disebut consent. Consent secara umum dapat diartikan sebagai pemberian persetujuan yang tidak dipaksakan (voluntary agreement). Consent hanya bisa diberikan oleh seseorang yang dinyatakan sudah dewasa dan memiliki kapasitas. Consent hanya dilakukan dalam kondisi sehat jasmani dan dalam kesadaran penuh dan hanya dapat diberikan jika seseorang benar-benar memahami berbagai risiko dari situasi yang sedang dihadapinya. Sehingga consent dapat berguna memagari calon korban dari tindakan hubungan seksual,” ungkapnya.
Materi kedua disampaikan oleh ibu Lusty Ro Manna Malau dengan judul “Dengarkan Serta dukung korban Penyintas”. Dalam sesi kedua kali ini berhubungan dengan materi yang pertama, yaitu Permendikbud No. 30 di mana kita memperlakukan korban dan penyintas dari kekerasan seksual. Permendikbud nomor 30 yang dikeluarkan oleh Bapak Nadiem Makarim sebagai Nenteri Pendidikan dan Kebudayaan adalah privilege yang digunakan dengan tepat.
“Dikutip dari catatan tahun Komnas Perempuan, dari 51 kasus yang dilaporkan selama 2015-2020, terlihat perguruan tinggi menempati urutan pertama sebesar 27% kekerasan seksual. Bentuk kekerasan tertinggi adalah kekerasan seksual dengan 45 kasus atau 88% yang terjadi dari pemerkosaan dan pelecehan dan pelecehan seksual di ikuti oleh kekerasan psikologis dan diskriminasi. Adapun kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi diantaranya pemerkosaan atau percobaan perkosaan, intimidasi atas serangan bernuansa seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, pemaksaan arbosi, pelaksanaan pernikahan, perdagangan perempuan demi tujuan seksual kontrol kata represif terhadap cara perempuan berpakaian,” jelasnya.
Lebih lanjut, ia menyampaikan ka kekerasan seksual dapat dibayangkan dengan ilustrasi fenomena gunung es dalam artian kasus dari kekerasan seksual ini terlihat dan tercatat tidak seperti pada kenyataannya. Di mana korban takut berbicara atau speak up lantaran trauma dan kekhawatiran akan pandangan stigma sosial dan proses hukum setelah korban rampung melapor.
“Sehingga kasus kekerasan seksual Ini hanya terlihat sedikit dari atasnya saja padahal kasus-kasus dari kekerasan seksual yang begitu banyak terjadi di sekitar kita. Selain itu kasus kekerasan seksual Ini juga diartikan seperti fenomena Spill the Tea yang merujuk pada maraknya korban dan penyintas menggunakan media sosial sebagai wadah berbagi dan bercerita atas apa yang dialaminya. Oleh karena itu, adapun beberapa cara kita bagaimana menempatkan diri untuk mendukung korban dan penyintas kekerasan seksual, yaitu pahami bahwa setiap korban memiliki pengalaman dan teramai yang berbeda, dengarkan dan percaya mereka, gunakan kalimat sportif dan jangan desak korban untuk bertindak di bawah tekanan,” terangnya.
Acara webinar kesehatan ini diakhiri oleh kesimpulan singkat oleh moderator mengenai poin penting yang disampaikan oleh kedua narasumber. Permendikbud ini dibuat agar ada regulasi yang mengatur mengenai Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan perguruan tinggi. Tujuannya ditekankan untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi, jadi tidak mengatur tentang susila atau norma etika, karena itu ada ranahnya sendiri.
Pasal 5 yang menjadi kontroversi terutama pada penggunaan frasa “tanpa persetujuan korban”, bukan untuk melegalkan perzinahan di perguruan tinggi, namun untuk melindungi privasi dan hak individu korban. Dengan dikeluarkannya Permendikbud No. 30 Tahun 2021 menjadi regulasi untuk kita dalam menangani kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi.
Isi dalam Permendikbud No. 30 perlu ditelaah sedalam mungkin, sehingga kita tahu bagaimana cara kita memperlakukan korban ataupun penyintas dari kekerasan seksual. Sehingga, melalui peraturan ini menjadi regulasi untuk menangani pencegahan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi. Selain itu, kita tahu bahwa, banyak korban dari kekerasan seksual sulit untuk speak up karena takut di buly atau jadi bahan omongan untuk dirinya sendiri. Padahal, kasus dari kekerasan seksual ini merupakan fenomena gunung es yang hanya terlihat dari luarnya saja, sementara banyak di luar sana korban atau penyintas yang sulit untuk speak up atau mengadu.
Untuk itu, perlu kita mendukung korban dan penyintas kekerasan seksual, yaitu dengan memahami setiap korban memiliki pengalaman dan teramai yang berbeda, serta mendengar, mempercayai mereka dan jangan desak korban untuk bertindak di bawah tekanan.
“Harapan kami juga dalam webinar ini, ada sebuah wadah, yaitu Satgas dalam penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi, agar para korban atau penyintas mempunyai wadah untuk mengadu, speak up dan berani untuk berbicara. Sehingga kasus kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi dapat di cegah,” cetus moderator.
Moderator juga mengingatkan untuk mengisi formulir evaluasi agar menjadi evaluasi bagi narasumber pertama dan kedua, moderator, dan pastinya evaluasi terhadap kegiatan webinar itu sendiri. Sebelum dibuka dan ditutup, dilakukan doa dengan doa Kristiani sebagai bentuk simbolis organisasi Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia.(*)