PIRAMIDA.ID- Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI) Masa Bakti 2020-2022 melalui bidang media komunikasi dan informasi menyelenggarakan Webinar dengan tema menuntut keadilan dalam revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Adapun tujuan webinar tersebut agar UU ITE dapat memberikan kepastian hukum dalam menangani persoalan terkait pemanfaatan teknologi digital, Kamis (25/02/2021).
Ketua Umum PP GMKI, Jefri Edi Irawan Gultom, menegaskan UU ITE sebagai komitmen bersama warga negara untuk menciptakan ketertiban umum.
“Kita mengapresiasi inisiatif pemerintah untuk merevisi UU ITE tersebut namun memberikan catatan kritis mengenai integrasi privasi warga dan ruang publik. Revisi UU ITE harus memperjelas pranata hukum agar tidak jadi bumerang bagi pemerintah yang menjadi penafsir tunggal belakangan ini,” ujar Jefri.
Jefri Gultom juga menambahkan masyarakat memberi kritik kepada pemerintah seakan dinilai sebagai penyebar hoaks. Artinya UU ITE harus jadi parameter dan simpul kewarasan publik dalam membangun infrastruktur digital yang mumpuni dan punya dimensi etis dalam ruang publik bersama.
“Pemerintah diharapkan bersikap tegas dalam penegakkan hukum yang harus menjawab tuntutan keadilan bersama,” ungkap Jefri.
Ketua Dewan Pembina Pusat Studi Politik dan Keamanan (PUSPOLKAM) Indonesia, Firman Jaya Daeli menyampaikan, jika UU ITE direvisi maka soal keadilan itu menjadi penting, berorientasi sejauh mana untuk menciptakan sistem ketertiban umum dan juga perlindungan terhadap hak-hak personal warga masyarakat atau warga negara.
Ketika ada pemikiran membangun keinginan untuk merevisi UU ITE tentu itu kita akan bicarakan, kita akomodasi dan langkah pertama sudah dilakukan oleh GMKI Dengan memulai sebuah perspektif melalui pelaksanaan diskusi UU ITE, dan selanjutnya tentu mengawal prosesnya.
“Konstruksi UU ITE Jika terjadi revisi, substansinya harus mengakomodasi, memastikan bahwa sejauh mana membuka ruang secara serius, sungguh-sungguh dan memaksimalkan bahwa bisa menjamin serta memastikan kebebasan berekspresi mengungkapkan pendapat dan pikiran sehingga tidak ada kekhawatiran yang berlebihan, tidak ada kegusaran ekstra dari masyarakat untuk menyampaikan, membumikan apa yang menjadi hak-hak konstitusional dalam berekspresi,” terang Firman yang juga senior GMKI.
Substansi dan konstruksi UU ITE sekarang ini dan termasuk jika terjadi revisi, dalam proses pengawalan oleh masyarakat termasuk GMKI harus mamastikan, meyakinkan dan menjamin untuk menjaga ketertiban umum, menjaga prinsip-prinsip berbangsa dan bernegara serta memastikan hak-hak warga negara tidak melanggar kebebasan itu sendiri, mulai sekarang harus didiskusikan secara serius apa yang menjadi problematik di UU ITE dan pasal yang menjadi multitafsir sehingga menjadi persoalan yang serius.
Lanjutnya, sambil menunggu proses revisi UU ITE maka menjadi menarik apa yang dilakukan Polri dengan mengeluarkan pedoman tentang penerapan UU Informasi dan Transaksi Elektronik, paling tidak untuk mengurangi kekhawatiran publik, juga ketakutan warga dalam hal berekspresi.
Jika revisi UU ITE digulirkan maka soal pembentuk UU tentu harus membangun dan melakukan sejumlah hal dan kebebasan berekspresi merupakan suatu parameter terukur untuk mengukur apakah sistem politik, sistem sosial, apakah sistem bernegara berjalan sedemikian rupa.
Terminologi atau konsep yang ada di dalam UU harus dikuliti betul, dituntaskan supaya tidak melahirkan multitafsir sehingga tidak melahirkan subjektivitas dari penegak hukum dan disitu peran GMKI dalam mengawal proses revisi UU ITE.
Ketua Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta, Bapak Harry Ara Hutabarat SH. MH yang juga sebagai pemateri, pada pemaparannya lebih fokus membahas pemahaman UU No. 14/2008 tentang Informasi Keterbukaan Publik, tidak ke substansi revisi UU ITE materil.
“Secara yuridis masyarakat memiliki hak yang melekat untuk memperoleh setiap informasi publik dan pada proses revisi UU ITE hal yang sangat etis jika Masyarakat meminta informasi publik termasuk anggaran yang digunakan pada proses revisi UU ITE,” ungkapnya.
“Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik menjamin terpenuhi hak setiap orang untuk memperoleh informasi, jangan sampai UU ITE disahkan atau disetujui oleh pihak legislatif, pihak eksekutif, atau yudikatif tapi pada prosesnya masyarakat tidak terlibat dalam partisipasi publik,” lanjutnya.
Di akhir webinar tersebut terdapat konsensus bersama bahwa ke depannya urgensi dalam memutuskan kelanjutan revisi UU ITE diperlukan upaya mengakomodir suasana kebatinan publik. Diskusi ini dihadiri oleh narasumber Firman Jaya Daeli (Ketua Dewan PUSPOLKAM Indonesia) dan Harry Ara Hutabarat (Ketua Komisi Informasi Provinsi DKI Jakarta).(*)