Rowis J. Sihotang*
PIRAMIDA.ID- Sejak awal Maret 2020 lalu, negara kita turut dilanda oleh wabah COVID-19 atau lebih dikenal masyarakat dengan virus corona. Dampak masifnya penyebaran virus ini, pemerintah pada akhirnya membuat kebijakan yang mengimbau kita untuk tetap di rumah aja, menjaga jarak, serta memakai masker bila beraktivitas di luar.
Karena hal tersebut, tentu saja membuat semua lini dan aspek kehidupan terganggu, mulai dari aspek sosial, politik, dan terkhusus ekonomi. Pun demikian halnya dengan pendidikan.
Dunia pendidikan sebagai “mesin pencetak pondasi generasi” yang diharapkan mampu menciptakan generasi penerus bangsa juga turut harus pincang. Pembelajaran tata muka secara otomatis lumpuh total.
Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler yang diharapkan mampu mengubah mental dan sikap siswa terhenti. Pelepasan ikonik siswa kelas VI, IX dan XII terlewatkan. Upacara pengibaran bendera harus kita hentikan. Serta Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) turut harus ditiadakan.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim telah menganjurkan agar setiap sekolah tetap melaksanakan pembelajaran daring (dalam jaringan). Hal tersebut sedikit memberikan manfaat bagi dunia pendidikan (saat ini). Tentu saja anak-anak yang memiliki akses serta fasilitas internet mampu menjalankan pembelajaran dengan maksimal.
Mereka senang menjelajahi setiap materi bidang studi di android masing-masing. Sebagian sekolah secara konsisten menggunakan aplikasi belajar. Pembelajaran yang demikan memberikan kebebasan kepada anak untuk mencari apa saja yang mereka butuhkan.
Tetapi, pola pembelajaran ini juga saya kira bagai pedang bermata dua.
Bagaimana tidak, dengan pola pembelajaran begini, saya rasa hal ini akan menciptakan anak dengan karakter instan; anak akan menganggap segala sesuatunya gampang; anak akan malas terlatih berpikir (karena semua sudah tersedia), bahkan akan muncul tingkat kepercayaan diri yang berlebihan.
Kemudian bila kita tilik dari sudut siswa-siswa yang kurang beruntung dan lahir dari keluarga dengan ekonomi pas-pasan.
Karena keterbatasan, baik ekonomi maupun akses internet di wilayahnya, mereka harus melanjutkan penderitaannya dengan kebingungan sendiri. Hal ini ditengarai dari situasi siswa yang hanya akan mendapatkan tugas atau informasi dari guru melalui sms dan ponsel tetangganya.
Hal ini juga akan mempengaruhi daya berpikir siswa. Saya juga menduga hal ini akan membuat anak menjadi kurang percaya diri, merasa terasingkan, atau bahkan akan mencari profesi lain yang akan mengakibatkan siswa akan lupa diri dan malas sekolah.
Di sisi lain, akibat waktu bermain yang tidak terbatas oleh rutinitas ke sekolah, siswa akan menghabiskan waktunya untuk chatting dan bermain ”aplikasi joged-joged”. Hal tersebut berpeluang meningkatkan pernikahan dini.
Ada juga kasus yang lain yang membuat Pak Menteri sempat terkejut, yaitu keterbatasan listrik dan jaringan internet – yang sebenarnya permasalahan klasik.
Sekolah yang tidak teraliri listrik dan jaringan juga harus tetap belajar di rumah. Lalu bagaimana strategi belajarnya? Mereka akan dianjurkan guru untuk belajar sendiri di rumah. Belajar sendiri di rumah tanpa ada teman dan jaringan internet akan mengakibatkan stress dan akan berujung pada pembiaran.
Maka dari itu saya mengimbau kepada seluruh siswa di tanah air, supaya menyadarkan dirinya sendiri bahwa saat ini guru terbaik adalah diri sendiri. Galilah ilmu dari fasilitas yang kamu punya. Galilah ilmu dari pengalaman yang kamu rasakan. Galilah ilmu dari kebiasaanmu sehari-hari. Tetap konsisten dalam setiap rutinitas.
Sebagai penutup, saran saya kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Pak Nadiem Makarim kiranya mempertimbangkan kelonggaran bagi sekolah yang tidak terdampak COVID-19 dan tidak ada jaringan internet. Agar siswa yang tidak disentuh oleh fasilitas internet dapat memperoleh haknya.
Penulis adalah seorang guru muda yang mengabdi pada sekolah di daerah perkebunan. Saat ini tinggal di Kalimantan.
Editor: Red/Hen