PIRAMIDA.ID- Yerry Syauta pergi ke Jakarta tahun 1984, meninggalkan tanah kelahirannya, Maluku.
Kepulauan yang terbagi menjadi dua provinsi ini menurut data tahun 2019 berpenduduk 1,7 juta orang.
Dan meski pun di abad ini namanya tak mendunia, Kepulauan Maluku pernah menjadi wilayah yang diperebutkan bangsa-bangsa Eropa mulai abad ke-16 hingga abad 19 karena komoditas pala dan cengkeh, menjadikannya dikenal sebagai Pulau rempah-rempah.
Kini setelah masa keemasan Maluku berlalu, Provinsi Maluku masih memiliki keindahan alam pantai yang berpotensi sebagai destinasi pariwisata nasional dan mancanegara.
Tapi keindahan pantai dan alam Maluku ternyata tidak cukup.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Maluku, Max Pattinama, mengatakan Maluku tidak masuk dalam 10 destinasi prioritas pariwisata Indonesia untuk menciptakan Bali baru.
“Maluku tidak termasuk di dalamnya. Jadi sudah bertahun-tahun kita tidak lagi mendapat dana alokasi khusus dari pemerintah pusat yang semuanya diberikan kepada 10 destinasi prioritas.”
Tapi masih ada hal lain yang diusahakan orang Maluku: Musik.
Musik membuat Maluku tetap hidup
Musik dan penyanyi Maluku jugalah yang menghibur sekaligus menjaga pertalian budaya orang Maluku di perantauan seperti Yerry Syauta.
Tak heran, Mr Syauta selalu berburu kaset atau CD lagu-lagu Maluku setiap dia pulang ke Ambon, ibu kota provinsi Maluku.
Sebelum era YouTube dan platform digital lainnya, Yerry mengaku kesulitan memperoleh lagu-lagu Maluku di Jakarta.
“Seingat saya hanya ada satu kios di pusat pertokoan Blok M yang menjualnya, tapi belakangan tutup.”
“Padahal, di Maluku, di kota Ambon sendiri, perkembangan musik dan lagu-lagu Ambon sangat pesat … banyak penyanyi muda lahir, genrenya juga bermacam-macam,” ucapnya.
Putry Pasanea adalah salah satu penyanyi asal Maluku yang dimaksud Yerry Syauta, yang sekarang tengah naik daun.
Dari sisi kesempatan dan potensi wisata, Putry juga merasa Maluku sedikit terlupakan oleh Pemerintah Pusat.
“Bisa dibilang Maluku seakan-akan terlupakan dan kurang diperhatikan. Segala sesuatunya lebih diberikan ke Papua.”
“Contoh yang paling konkret sekarang pekan olahraga nasional yang akan diadakan di Jayapura, Papua. Kapan Ambon bisa punya mimpi menyelenggarakan satu event nasional yang sebesar itu? Rasanya mustahil gitu.”
Meski demikian, lagu yang dibawakan Putry bertajuk ‘Kaka Enda” telah menjadi hits di Indonesia.
Lagu yang dirilis dua tahun yang lalu ini telah dilihat lebih dari 2,5 juta kali di YouTube Vento Production, manajer lokal Ambon yang membawahi Putry.
Kaka Enda juga kerap ditarikan dengan langgam line dance di berbagai acara di tanah air
Seperti kebanyakan musisi lokal di sana, Putry Pasanea hanya dibesarkan oleh rumah produksi dan manajemen lokal.
Dalam kurun waktu kurang dari empat tahun, Putry telah mengeluarkan 32 single, memiliki hampir setengah juta subscriber di akun YouTube manajemen dan pribadinya, dengan lebih dari 16 ribu pendengar per bulan di Spotify.
Sebelum pandemi, Putry bisa tampil 3-4 kali seminggu di daerah-daerah di luar Ambon.
Berawal dari bayaran Rp200 ribu per single, kini profesi penyanyi mampu menghidupi Putry.
“Bayaran pertama itu 200 ribu, untuk single. Bagi saya nggak masalah soal bayaran karena cari-cari pengalaman juga dan sebagainya, jadi enggak masalah soal pembayaran. Yang penting ada kesempatan dulu untuk bisa rekaman. Bentuknya dulu masih VCD, dijual seharga 25 ribu rupiah per kepingnya.”
Fis Duo adalah kelompok musik lain dari Maluku,
Lagu-lagu band ini terdaftar di platform musik digital Spotify, dan telah diputar ribuan kali tahun ini saja.
Ferdi Soukotta adalah salah satu anggota band Fis Duo, dan telah menemukan inspirasinya dalam tragedi saat ia menghabiskan waktu di kamp-kamp pengungsi setelah kekerasan sektarian pecah pada akhir 1990-an.
“Mulai bernyanyi sudah dari umur lima tahun. Yang membuat aku memilih menekuni menyanyi itu adalah karena menyanyi itu proses healing aku.”
“Waktu konflik tahun 99 di mana aku mengalami trauma, dan salah satu untuk healingnya itu adalah dengan bernyanyi.”
Meski penghasilannya dari bermusik tidak sebesar Putry, Ferdi mengaku pendapatannya cukup untuk hidup sehari-hari di Ambon.
Pendapatan sampingan yang ia dapatkan dari bekerja lepaslah yang menghidupi musiknya.
“Tolok ukur kita saat ini bukan lagi Jakarta, bukan lagi bisa bermain di kota besar. Itu sekarang kita ciptakan sendiri, kita bikin skena kita sendiri yang mencoba untuk menembus ruang-ruang kosong.”
Dia sengaja memilih jalur indie agar tidak tergantung pada industry musik mainstream yang menurutnya hanya akan membatasinya berkreasi.
Manajer dan Rumah Produksi lokal memegang peran penting
Kiprah Putry Pasanea dan Fis Duo tidak lepas dari peran rumah produksi dan manager lokal.
Vento Batfutu pemilik rumah produksi Vento Production mengaku kerap menggunakan uang pribadinya, termasuk dalam perjalanan mengorbitkan Putry Pasanea.
Senada dengan Mr Batfutu, Debra Soplantila manajer Fis Duo, Softeast band dan Sang Saka Hiphop, mengatakan, sampai sekitar dua tahun pertamanya sebagai manager, ia tidak berpenghasilan.
“Saat itu saya tidak berpikir bagaimana agar anak-anak ini bisa menghasilkan uang untuk saya, tapi memikirkan bagaimana mereka bisa membangun reputasi, punya network, dan karyanya dikenal orang,” ujar Debra.
Debra mengaku tidak menentukan persentase tertentu dari penghasilan band-band tersebut sebagai bayarannya.
“Biasanya mereka sendiri yang menyisihkan untuk saya dan berapa pun itu saya terima. Baru setelah kira-kira dua tahun, pendapatan Softeast dibagi lima. Empat personil, ditambah saya.”
Maluku sendiri sudah dikenal sebagai gudang musisi dan penyanyi berbakat di Indonesia, mulai dari era Broery Marantika, Bob Tutupoly, Jemmy Samallo, hingga era Ruth Sahanaya, Glenn Fredly, sampai Daniel Sahuleka yang berkibar di negeri Kincir Angin.
Salah satu kota musik dunia
Karena keunikan talenta musiknya, UNESCO telah menobatkan Ambon, ibu kota Maluku, sebagai salah satu “kota musik dunia” pada tahun 2019.
Kota ini mengklaim memiliki 534 musisi, 780 paduan suara, 94 studio dan 177 grup musik.
Maluku memiliki banyak alat musik tradisional yang unik, termasuk seruling yang terbuat dari kulit kerang bernama tahuri, dan gendang tradisional bernama tifa.
Kepala Dinas Pariwisata Provinsi Maluku, Max Pattinama, optimistis, musik Maluku menjadi daya tarik yang bernilai jual sehingga tidak lagi dilupakan di level nasional.
“Kita tidak boleh pesimistis, harus optimistis, bahwa kalau hari ini tidak ada jalan, kita harus mengubah strategi, seperti kita main bola, pakai strategi.
Namun apa pun situasinya, Ferdi dan Putri akan terus bermusik dan bernyanyi.
“Puji Tuhan, dengan kita diberikan predikat sebagai Ambon city of music, kota musik dunia, mudah-mudahan ke depannya para musisi bisa lebih survive.”
“Walaupun orang nggak melihat kita, walaupun nggak ada menteri dari Maluku, walaupun kami enggak mendapat tempat di hati pemerintah pusat, tapi mungkin dengan kelebihan musik kami, itu bisa menjadi daya tarik di mata dunia.”
Hal yang sama yang akan terus dilakukan Debra.
“Saya berharap para musisi di Maluku bisa dikenal bukan karena nama besar musisi Maluku yang terkenal, seperti Glenn Fredly, Ruth Sahanaya, tapi sebagai musisi di Maluku, karena saya jamin kami sama berkualitasnya dengan musisi lain di tempat lain di Indonesia, atau bahkan lebih baik lagi.”