PIRAMIDA.ID- “Mendapat hikmat jauh lebih baik dari pada mendapat emas, mendapat pengertian melebihi perak.” (Amsal 16:16)
“Manusia sempurna adalah manusia sebagai subjek. Sebaliknya, manusia yang hanya beradaptasi adalah manusia sebagai objek,” tulis Paulo Freire dalam bukunya, Pendidikan yang Membebaskan.
Subjek, menurut Freire, mengindikasikan manusia sebagai entitas bebas dan kritis kala berhadapan dengan realitasnya. Seseorang mampu bertindak bebas jika ia mengetahui keinginannya, perasaannya, dan pemikirannya. Ketika manusia gagal mengetahui dirinya sendiri, ketidaktahuannya akan menyeretnya pada penyesuaian diri atau adaptasi. “Adaptasi,” lanjut Freire, “merupakan bentuk pertahanan diri yang paling rapuh.” Seseorang menyesuaikan diri karena ia gagal mengubah realitasnya.
Hingga akhirnya, ia hanya bisa tunduk kepada penguasa-penguasa asing yang tidak dikenalnya dan mematuhi hal-hal yang tidak disetujuinya. Ciri manusia sebagai subjek adalah tanggap dan peka terhadap realitasnya, sebaliknya manusia sebagai objek ditandai oleh sikap pasif dan pasrah atas keadaannya.
Jika mengacu pada dua kategori manusia di atas, berat rasanya jika mengatakan mayoritas masyarakat Indonesia berada dalam kategori manusia sebagai objek. Sikap apatis pada persoalan-persoalan sosial, berkutat pada sektarianisme dalam diskursus politik, tetapi cerewet di media sosial menjadi karakteristik masyarakat kita.
Hal ini tidak mengherankan mengingat Indonesia dikenal sebagai bangsa pemalas dalam membaca. Akibatnya, kita mengalami kekosongan teoretis ketika menyikapi realitas sehingga menumpulkan daya kritis, mematikan imajinasi, dan melumpuhkan daya restorasi. Ujungnya adalah keseharian kita terjebak pada pragmatisme sekadar bertahan hidup.
Ciri di atas merupakan gejala—atau indikasi—kalau kita sedang mengalami krisis sumber daya manusia. Oleh sebab itu, salah satu solusi untuk mengentaskan persoalan ini adalah pendidikan. Namun, jika berkaca pada situasi terakhir, sulit rasanya menggantungkan harapan pada dunia pendidikan untuk menjalankan perannya sebagai pandu untuk menuntun kita menuju terang.
Fenomena dunia pendidikan kita baru-baru ini menunjukkan orientasinya masih berkutat pada birokrasi (dosen berkutat dengan penilaian angka kredit/PAK), permasalahan dosen melakukan plagiarisme karya ilmiah, dan paradigma pendidikan sebagai modal untuk menggalang pundi-pundi ekonomi. Artinya, pendidikan kita belum menyentuh substansi untuk menciptakan manusia sebagai subjek dengan kemampuan berpikir kritis, proaktif, dan berdaya restoratif.
Mengingat betapa krusial peran pendidikan untuk memajukan sebuah bangsa, Partisipasi Kristen Indonesia (PARKINDO) merasa terbeban untuk menyampaikan seruan.
Pendidikan merupakan salah satu faktor penyebab kekristenan mampu bertahan hingga sekarang. Sebelum bangsa Israel memasuki tanah Kanaan, Musa mewariskan kepada bangsa Israel adalah sebuah program pendidikan berskala nasional. Dia memerintahkan umat Israel agar mengajarkan firman Tuhan kepada generasi-generasi berikutnya setiap saat dan berkesinambungan (Ul. 6:4–6).
Kelak, warisan pendidikan tersebut akan menjadi investasi maha penting dalam kebudayaan Israel. Amsal 23:23 menuliskan, “Belilah kebenaran dan jangan menjualnya; demikian juga dengan hikmat, didikan dan pengertian.” Oleh karena itulah, bangsa Israel menganggap pengetahuan dan pengertian lebih berharga daripada emas dan perak (Ams. 16:16). Pendidikan kemudian akan menjadi tradisi yang terus bertahan hingga era Perjanjian Baru. Yesus, misalnya, merekrut dua belas orang murid yang kelak akan menjadi penerus ajaran-Nya (Mat. 10:1–4). Inilah sebabnya kita dapat menyimpulkan: tanpa pendidikan, kekristenan akan hilang dari radar peradaban.
Namun, apa tujuan dari pendidikan menurut Alkitab? Alkitab mencatat tujuan ganda pendidikan, yaitu untuk memperbaiki kualitas hidup individual dan sosial.
Dari segi individual, tugas pertama pendidikan adalah mengeliminasi kedunguan (Ams. 12:1). Dungu, dalam kitab Amsal, bukan hanya berarti bodoh atau tumpul akal budi, tetapi juga kasar dan biadab (tidak tahu sopan santun). Artinya, pendidikan bukan sekadar mengurusi wawasan dan keterampilan berlogika, tetapi ia juga bertugas untuk menata laku moral dan etika.
Ketika pendidikan tuntas menyinergikan antara pengetahuan dengan tata krama, pada saat itulah, seseorang akan menjadi bijaksana (Ams. 19:20). Dengan kata lain, pendidikan bertanggungjawab untuk menciptakan manusia cerdas sekaligus beradab.
Akan tetapi, tugas pendidikan bukan hanya membentuk manusia bijaksana belaka. Pendidikan juga harus menempa manusia untuk memiliki rasa simpati pada kenyataan realitas sosialnya. Amsal menuliskan bahwa didikan bertujuan bukan hanya untuk melatih manusia agar mengerti makna kata-kata, tetapi juga mengaplikasikan kebenaran, keadilan, dan kejujuran (Ams. 1:2–3). Selain berpengetahuan (Ams. 1:7), ciri-cirinya orang yang takut akan Tuhan adalah membenci kejahatan, kesombongan, kecongkakan, dan mulut penuh tipu muslihat (Ams. 8:13). Kesukaan orang benar adalah melakukan keadilan (Ams. 21:15).
Semangat pendidikan terhadap keadilan tetap terpelihara hingga Perjanjian Baru. Paulus menuliskan dalam 2Tim. 3:16, “Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam keadilan (Yun. dikaiosunen).” Jadi, pendidikan juga bertujuan untuk mendidik manusia agar berpihak pada keadilan.
Paparan di atas menunjukkan substansi pendidikan bukanlah terletak pada matriks akreditasi dan bukan pula untuk memenuhi pundi-pundi ekonomi. Hasil akhir dari pendidikan seharusnya menciptakan manusia cerdas, bermoral, dan memiliki tanggung jawab untuk memastikan keadilan hadir dalam realitas sosialnya. Oleh sebab itulah, pendidikan seharusnya menjadi sebuah aktivitas untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan baru.
Karena hanya dengan melontarkan pertanyaan barulah, realitas mampu bergerak maju. Dengan jawaban-jawaban baru, pendidikan akan menginstalasi keberanian untuk menapis sikap adaptif dan menggantikannya dengan pikiran progresif yang berdaya restoratif. Pendidikan seharusnya memompa semangat proaktif untuk mengubah keadaan menjadi lebih adil, bukan tunduk di hadapan penguasa-penguasa asing.
Pada Hari Pendidikan Nasional ini, PARKINDO menyerukan agar semua pihak terkait segera melakukan perombakan substansial dalam menentukan arah pendidikan di Indonesia. Pendidikan dengan orientasi birokrasi niscaya akan gagal membentuk manusia-manusia Indonesia bermoral yang berani menegakkan keadilan. Mimpi Ki Hajar Dewantara, yaitu menuju manusia merdeka, akan kandas oleh pendidikan dengan ciri birokratis. Jika pendidikan kita masih berkutat pada hal-hal superfisial—bukan substansial, selamanya sekolah hanyalah pabrik tenaga kerja semata. Selamat Hari Pendidikan Nasional!(*)