Oleh: Irma Thobias*
PIRAMIDA.ID- Hari Perempuan Internasional atau International Women’s Day setiap tahunnya selalu diperingati pada tanggal 8 Maret oleh negara-negara di dunia termasuk Indonesia.
Perayaan ini bermula dari sejarah panjang yang dilacak pada awal tahun 1900-an, ketika dunia sedang bergejolak dengan industrialisasi sehingga menempatkan posisi perempuan ada dalam tekanan yang besar serta mengalami diskriminasi atau pelanggaran hak-hak perempuan. Hal ini berujung pada aksi protes oleh sekitar 15.000 pekerja perempuan yang melakukan aksi dengan menuntut adanya hak untuk memilih, jam kerja yang manusiawi dan upah yang lebih layak.
Gerakan yang berbasis di New York ini kemudian menjadikan gerakan perempuan mulai jadi sorotan. Banyak peristiwa ikutan terjadi setelah itu, bahkan perayaan Hari Perempuan Internasional mulai dilakukan pertama kali pada tahun 1911 di Austria, Denmark, Jerman dan Swiss di tanggal 19 Maret. Secara resmi baru di tahun 1975, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menjadikan Hari Perempuan Internasional sebagai perayaan tahunan.
Jika diulas satu per satu, begitu banyak catatan sejarah yang menggambarkan nilai perjuangan perempuan. Bahwasanya kesetaraan gender adalah milik setiap manusia yang tinggal di bumi.
Tahun ini, UN Women mengangkat tema kampanye International Women’s Day 2022, yakni #BreakTheBias, dengan tujuan meningkatkan kesadaran terhadap bias gender agar tercipta dunia yang terbebas dari bias, stereotip, dan diskriminasi; dunia yang beragam, adil, dan inklusif; serta dunia ketika ada perbedaan dihargai dan dirayakan. Untuk mewujudkannya tentu saja dengan perjuangan yang masih panjang.
Di Indonesia banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi, berkaca dari data yang ada, masih banyak kesenjangan dan ketimpangan yang terjadi.
Pertama, indeks pembangunan manusia (IPM) Indonesia menunjukkan adanya perbedaan antara laki-laki (76.2) dan perempuan (69.5), untuk jumlah penduduk di atas 10 tahun yang buta huruf jauh lebih besar perempuan, yakni 4.9, sedangkan laki-laki 2.3, untuk indikator rata-rata lama sekolah lebih tinggi pada laki-laki, yakni 8.9, sedangkan perempuan 8.1 (Data BPS, 2021). Hal ini menunjukkan bahwa kesempatan dan akses pendidikan lebih besar ada pada laki-laki, terbukti dengan indeks pembangunan manusia laki-laki yang lebih tinggi dibanding perempuan.
Kedua, kasus kekerasan terhadap perempuan masih sangat tinggi. Dalam catatan tahunan Komnas Perempuan 2021, jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2020 sebesar 299.911 kasus, di mana kekerasan diranah personal paling menonjol, yakni 79%.
Di akhir tahun 2021, begitu banyak kasus pelecehan menghebohkan terjadi baik di lingkungan agama, sekolah, keluarga dan masyarakat umum. Kasus kekerasan berbasis cyber pun mengalami peningkatan. Sayangnya payung hukum yang komprehensif berpihak pada korban, belum jelas nasibnya.
Ketiga, perkawinan anak yang masih tinggi di Indonesia. Ada sekitar 2 juta dari 7,3 perempuan Indonesia di bawah umur 15 tahun sudah menikah dan putus sekolah. Jumlah ini diperkirakan akan meningkat menjadi 3 juta orang di tahun 2030 (Unicef, 2020).
Budaya patriarki dan bias gender yang terjadi di masyarakat membuat posisi perempuan menjadi terpojok dalam kasus pernikahan dini. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk melakukan penolakan karena stigma dan pandangan negatif masyarakat.
Keempat, kesehatan perempuan dan anak. Angka kematian ibu dan anak yang tinggi, risiko stunting menjadi dampak panjang ketimpangan yang terjadi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 mencatat 1 dari 3 anak Indonesia mengalami stunting atau kondisi gagal tumbuh yang mempengaruhi perkembangan otak.
Dalam masyarakat patriarki, laki-laki merupakan pengambil keputusan dan merupakan asset keluarga, sehingga tidak heran pola makan dan pola asuh antara laki-laki dan perempuan berbeda. Beberapa hal ini merupakan sebagian kecil dari dampak bias gender yang terjadi di masyarakat, hal-hal lainnya mencakup aspek politik, sosial, ekonomi, pendidikan, teknologi dan lain sebagainya tentu akan semakin menambah catatan panjang uraian benang kusut dalam mewujudkan kesetaraan gender.
Setiap ketimpangan, setiap ketidakadilan, setiap diskriminasi yang terjadi harus terus memacu perempuan untuk lebih aktif menyuarakan perubahan. Euforia perayaan Hari Perempuan Internasional yang meningkat dan beragam gencar dilakukan lewat berbagai media, semoga menjadi spirit baru dalam perjuangan, bukan hanya semata “ikut arus”.
Hari ini ada dan dirayakan, mengingatkan kita bahwa perjuangan kesetaraan gender adalah demi masa depan yang lebih baik. Bahwasanya dunia yang beragam, adil dan inklusif semestinya tumbuh subur di era serba modern ini. Oleh karenanya, suara-suara perjuangan masih harus terus digaungkan hingga semua insan sadar bahwa diskriminasi dalam bentuk apapun tidak dibenarkan. Selamat Hari Perempuan Internasional!
Penulis merupakan Sekfung Pemberdayaan Perempuan PP GMKI.