Valentino Lumowa*
PIRAMIDA.ID- Layar sang fiksiwan kembali terkembang. Satu buku tentang pandemi COVID-19 berselancar di ruang publik. Menggoda nalar untuk kembali bergeliat. Lahir dari nalar matang, buku Homodemic: COVID-19 vs. Budaya mewakili cairnya budi sang penulis.
Tampak luar realitas fisik yang biasanya mengecoh tidak mendapatkan kesempatan dursilanya dalam antologi esai ini. Buku setebal 113 halaman memang mendeskripsikan luasnya rimba kelana nalar penulisnya, sang fiksiwan Reiner Emyot Ointoe.
Sang “rubah”
Salah satu esai Isaiah Berlin (1909-1997), seorang filsuf Inggris, yang akur dengan penerimaan publik merujuk pada The Hedgehog and the Fox (Si Landak dan Sang Rubah). Esai ini menggemakan fragmen puisi Archilochus (sekitar 680-645 SM), seorang pujangga Yunani Kuno.
Ia menggambarkan bahwa seekor rubah mengetahui banyak hal, sedangkan seekor landak fokus pada satu hal penting.
Berlin kemudian berselancar dalam dunia sastra dan menunjuk karakter dasar “landak” sebagai personifikasi karya Plato, Lucretius, Dante Alighieri, Blaise Pascal, Georg Wilhelm Friedrich Hegel, dan Fyodor Dostoyevsky. Menurutnya, mereka melihat dunia dan manusia melalui lensa tunggal. Pluralitas realitas berdamai dalam satu perspektif.
Di sisi lain, belajar dari kekayaan pengalaman, kelompok berkarakter “rubah” tunduk pada ragam sudut pandang untuk memaknai realitas. Berlin menunjuk Herodotus, Aristoteles, Desiderius Erasmus, William Shakespeare, Michel de Montaigne, dan Molière, sebagai representasi personifikasi “rubah”.
Mereka memberontak dari hegemoni satu teropong dan berempati pada kemajemukan perspektif.
Menggunakan personifikasi Berlin, nalar Ointoe mewujud dalam personifikasi “rubah”. Alasannya sudah sedemikian jelas bagi mereka yang pernah terpapar dengan tulisan-tulisannya. Nalarnya menjadi rahim ide majemuk dan gudang lapang perspektif, opini, dan teori dari pusparagam pemikir dan tokoh.
Sang “rubah” telah menguyah dan meninggalkan jejak seni, sastra, sejarah, ideologi, ilmu pengetahuan, dan filsafat.
Ointoe secara lincah menyebut sastrawan dan kritikus kultural seperti Paul Virilio, Raymond Kurzweil, John Naisbitt, James Canton, William Empson, Mary Wollstonecraft Shelley, Quintus Horatius Flaccus, Sîn-lēqi-unninni, Sarah Ban Breathnach, Milan Kundera, Rolf Dobelli, John Keats, Gregg Braden, dan Dean Ray Koontz.
Idenya menari dengan teori-teori ilmu pengetahuan alam dan sosial dari Hans Rosling, Yuval Noah Harari, Bruce H. Lipton, Agustín Fuentes, Stephen Jay Gould, Edward O. Wilson, Elisabeth Kübler-Ross, David Walter Runciman, Franciscus Bernardus Maria “Frans” de Waal, Atul Gawande, Frantz Omar Fanon, Edward Wadie Said, Muhammad ibn AL Hasan ibn Khaldun, Robert Christopher Lasch, Todd Dufresne, Francis Fukuyama, Marvin Harris, Hamid Dabashi, Joseph Eugene Stiglitz, Kate Jones, Peter Ludwig Berger, Albert Einstein, Stephen Hawking, Huston Cummings Smith, Jared Mason Diamond, Margaret J. Wheatley, Charles Robert Darwin, Richard Dawkins, Daniel Goleman, Paul Bloom, Peter Lewyn Bernstein, Ernst Friedrich Schumacher, Richard Robison, Karl August Wittfogel, John Arundel Barnes, Fritjof Capra, dan Rolf Dobelli.
Ia terpapar dengan aneka radiasi pemikiran filosofis dari Thomas Khun, Bertrand Russell, Henry Bergson, Pierre Bourdieu, Slavoj Žižek, Michel Foucault, Jeremy Bentham, Daniel Bell, Friedrich Nietzsche, Giorgio Agamben, Albert Camus, Jean-Paul Sartre, Niccolò di Bernardo dei Machiavelli, Sigmund Freud, Gilles Deleuze, Pierre-Félix Guattari, Edmund Husserl, Rene Girard, G.W.F. Hegel, Jürgen Habermas, Plato, Martha Nussbaum, Herbert Marcuse, Isaiah Berlin, Moses Maimonides, Aristoteles, Avicenna, John Nicholas Gray, Mircea Eliade, Julian Baggini, Ivan Dominic Illich, Paulo Reglus Neves Freire, dan Pythagoras.
Ointoe tidak berhenti pada rujukan akademik dan konvensional. Ia ramah terhadap pandangan tokoh publik seperti Mark Zuckerberg, Phillipe Seymour Hoffmann, Etsuko Shihomi, Yasuaki Kurata, dan Bruce Lee. Ia pun tidak jauh dari tokoh-tokoh historis misalnya Hernando de Soto, Soekarno, Albert Arnold Gore, dan Sutami.
Sang “rubah” secara piawai meneropong pandemi COVID-19 bersama dengan segala dampak sosial, politik, kulturalnya melalui ragam lensa. Dalam menggunakan aparatus nalar itu, Ointoe secara harmonis bergaya eklektik dan terkadang sintetis.
Terhadap rimba ide inilah, para pembaca Homodemic akan merelakan nalarnya berselancar. Sangat mungkin sesekali terantuk tanya, namun yang pasti di ujung pengembaraannya, nalar pembaca pasti terentang. Bentangan pengetahuan baru dari perjalanan nalar ini dapat berwujud tesis baru, antitesis terhadap tesis yang ditawarkan, atau sintesis yang berempati penuh pada tawaran Ointoe.
Selancar ide
Ointoe meletakkan Homodemic bak bandul yang bentangannya menyasar dua sisi, yaitu COVID-19 dan budaya. Walau nalar Ointoe berkarakteristik “rubah”, tulisannya ramah terhadap keingintahuan para peselancar budi. Ia bermurah ide dalam prolegomenanya, “The End of Homo Deus toward New Anthropology”.
Di sini, ia membentangkan peta jalan nalarnya. Berangkat dari pemberontakannya terhadap nubuat Harari akan kemunculan Homo Deus sebagai pencipta baru amortalitas dan kehidupan berbasis kecerdasan artifisial, Ointoe melahirkan orok Homodemic (sebagai buku).
Ia tak ragu menggambarkan konteks dan kondisi dari mana homodemic melihat hari pertamanya, yaitu “dua prestasi besar yang dianut dan memengaruhi kepercayaan umat manusia di mana pun. Kedua prestasi itu dikenal sebagai sains (scientia) dan agama (religio)” (hlm.1-2). Karena itu, homodemic (sebagai konsep nemesis bagi Homo Deus) tak lain adalah “proses kreativitas evolusi yang lahir dari rahim sains dan agama” (hlm. 111).
Di sini, ia menggaungkan kembali kegelisahan Dabashi (hlm. 49-52). Pengalihan tahta dari Homo Deus ke homodemic berbasis narasi kemunculan pandemi covid-19. Pandemi ini hadir sebagai interupsi fatal terhadap rezim Homo Deus dengan mimpi keabadiannya dan kematangan teknologi dan kecerdasan manusia sebagai aparatusnya.
Hampir setiap esai menyentuh ruang-ruang yang dirombak oleh pandemi dan secara alamiah mengukuhkan kedudukan homodemic. Ointoe merujuk ide Bourdieu tentang habitus sosial berbasis pada identifikasi dan harmonisasi setiap disposisi partikular individu sebagai anggota komunitas sosial.
Bak seorang bidan, ia menggunakan pisau konseptual Bourdieu untuk melahirkan habitus sosial baru dalam wujud sang homodemic. Menurut Ointoe, sang homodemic, sebagai wajah baru homo sapiens, sedang tertatih-tatih mengikuti semua perubahan, baik pranata maupun perilaku.
Dalam mencapai otentisitasnya, homodemic diawasi oleh pandemi bak panopticon. Ideologi mapan à la homo sapiens atau bahkan Homo Deus à la Harari runtuh tanpa sisa keangkuhan. Pilkada disasar kritik tajam karena tak acuh pada rongrongan pandemi untuk menyembunyikan liarnya mimpi kuasa.
Ointoe juga mengidentifikasi kegamangan yang dihadirkan oleh komunikasi gagap dan absurdnya informasi berbasis pascakebenaran. Kegagapan ini sering menghasilkan gagal paham, gagal disposisi rasa, dan gagal aksi. Ini menghambat kelancaran identifikasi diri homodemic. Homodemic juga menginisiasi pendekatan baru sebagai disrupsi terhadap kemapanan dunia pendidikan.
Ointoe kemudian menyapa lagi bentangan bandul pandemi dan budaya dalam “Pandemi vs. Budaya” dan “Turbulensi Budaya”. Ia kemudian mengakrabi lagi kondisi ketegangan ilmu dan agama dalam “Theology of Discontent”, “Discontent”, “Rene Girard dan Kambing Hitam”, “Scientia Sacra”. Dalam “Homo Politicus, Sains, Religiositas”, Ointoe mengesah tentang ketidakpedulian dunia politik dan aktornya. Dalam ketegangan ilmu dan agama, homo politicus secara liar merombak jejak-jejak prestasi dan kekalahan yang ditinggalkan oleh keduanya.
Ointoe rupanya tidak terbelenggu oleh keruhnya kontestasi ilmu dan agama. Dalam kejernihan ekspresi, ia mendeteksi runtuhnya kejemawaan sang ilmu.
Di salah satu ruang historis, Ointoe menyakini “entah spiritual maupun material, kita kehilangan semua kemampuan yang selama ini kita angkuhi dan yakini dengan [jemawa] dan sering dibarengi dengan sinisme pengetahuan yang tacit” (hlm. 102).
Ointoe juga melampaui jebakan saintisme dan ateisme, di satu sisi, dan formalisme religius, di sisi yang lain. Tanpa memberikan jawaban tertutup, ia mencoba untuk menyentuh masa depan ilmu dan agama.
“Tanpa menafikkan peran keduanya…, kepentingan dan pemenuhan harapan manusia, kini dan nanti, sangat terpulang pada keandalan terpadu keduanya dalam menghasilkan penemuan dan pencapaian dari pengalaman mendalam pada ikhtiar dan prakarsa umat manusia” (hlm. 110).
Benang merah
Dari percikan sporadis, penulis mencoba mengais benang merah. Tanpa pretensi, tarikan pemaknaan identitas manusia di masa dan pascapandemi sedemikian kentalnya dalam rancang bangun konsep homodemic. Pencarian ini sama sekali tidak menyamarkan sikap kritis sang “rubah” yang menolak stereotip sosial.
Sebagai sebuah interpretasi fenomena dan kritik sosial, tulisan ini tak lepas dari penegasan Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), seorang filsuf Jerman. Sebagai interpretasi tentang dunia, interpretasi filosofis muncul ketika sebuah fenomena telah mencapai kepenuhan aktualisasinya. Hegel mendeskripsikannya secara elegan “the owl of Minerva begins its flight only with the onset of dusk (Burung Sang Dewi Minerva terbang ketika senja hadir).
Epilog
Fenomena pandemi belum mencapai kepenuhan aktualisasinya. Ia masih bergeliat. Puncak dan ekor kehadirannya masih luput dari indentifikasi dan intervensi manusia.
Pencarian wujud penuh pandemi melalui penelitian dan interpretasi masih akan memenuhi ruang penelitian dan interpretasi ilmu pengetahuan, serta renungan religius. Sebagai pemicu nalar, buku ini jelas punya andil. Namun, ia tidak ditakdirkan sebagai titik henti interpretasi.(*)
Penulis merupakan Dosen Filsafat Unika De La Salle. Homodemic merupakan karya buku Reiner Emyoet Ointoe.