Yudhie Haryono*
PIRAMIDA.ID- “Kalau tidak hati-hati dalam beragama, kita hanya akan jatuh jadi atheis atau fundamentalis.”
Kalimat di atas adalah saripati dari kehidupan Huston Smith. Dan, dari Huston Smith lah, aku belajar perbandingan agama-agama dunia. Bukunya sangat menginspirasikanku ketika menulis tentang kajian agama modern. Tokoh ini sangat produktif dan “gila” agama.
Begitu gilanya pada agama, ia sampai harus mempraktekannya di pusat sekulerisme dunia: Amerika Serikat. Tokoh ini juga lucu, lahir dari negeri komunis tetapi mengajarkan agama-agama. Tentu ini agak ironis, kalau tidak mau menyebut “keanehan dan keajaiban dunia.”
Huston Smith lahir di Soochow, Cina dan masuk ke sekolah metodis misionaris dan menghabiskan 17 tahun pertamanya di sana. Karir akademiknya dimulai dengan mengajar di Universitas of Colorado di Boulder dan Denver tahun 1944-1947, kemudian pindah ke Universitas Washington di St Louis, Missouri selama sepuluh tahun, dan kemudian menjadi Profesor Filosofi di MIT 1958-1973.
Sebagai profesor filsafat di MIT, ia berpartisipasi dan bekerjasama dalam beberapa percobaan mengenai entheogens bersama Profesor Timothy Leary di Harvard Project Harvard University, sebagai upaya untuk meningkatkan kesadaran rohani melalui kehidupan tanaman.
Ia kemudian pindah mengabdi ke Universitas Syracuse untuk menjadi Profesor Agama dan Para Adjunct Profesor bagian Filosofi hingga pensiun pada tahun 1983. Saat ini statusnya profesor emeritus dan tinggal di Berkeley, California Area (CA) sambil menjadi visiting Profesor Agama Studi di University of California, Berkeley.
Selama karirnya, Huston Smith tidak hanya belajar, tetapi mempraktekkan Vedanta Hinduisme, Buddhisme Zen (belajar di bawah Goto Zuigan), dan Sufism yang masing-masing selama lebih dari sepuluh tahun. Ia adalah pembelajar otodidak yang tekun, haus dan penyendiri yang kontemplatif. Huston Smith kala muda—setelah tiba-tiba beralih menjadi mistisisme atas kemauan sendiri—melayangkan surat untuk mengajukan pertemuan dengan penulis terkenal Gerald Heard.
Heard merespon surat Smith dan mengundangnya ke Trabuco College (yang akan didonasikan sebagai Ramakrishna Monastery) di Southern California, dan kemudian Heard mempertemukan Huston Smith dengan legendaris Aldous Huxley. Itulah saat di mana Huston Smith mulai bereksperimen dengan meditasi dan berasosiasi dengan komunitas Vedanta di Saint Louis di bawah naungan Swami Satprakashananda dari perintah Ramakrishna.
Melalui koneksi dengan Heard dan Huxley, akhirnya Huston Smith dapat bereksperimen dengan Timothy Leary, Richard Alpert Ram Dass, dan lain-lain di Pusat Penelitian Kepribadian, di mana Leary menjadi profesor penelitiannya. Huston Smith juga menjadi teman Dalai Lama XIV selama lebih dari empat puluh tahun dan berbincang-bincang dengan beberapa tokoh-tokoh yang besar, dari Eleanor Roosevelt sampai Thomas Merton.
Huston Smith juga mengembangkan minat terhadap pembangunan sekolah tradisional dan agama-agama tradisional seperti yang dirumuskan oleh Rene Guenon dan Ananda Coomaraswamy. Hal ini telah menjadi kajian terus di semua tulisannya. Gagasan agama tradisional menjadi tema sentralnya selama ia hidup.
Pada tahun 1996, Bill Moyers membuat berbagai dokumentasi atas perjalanan hidup dan karirnya. Pikiran, tindakan, ucapan dan karya-karyanya lengkap terdokumentasi. Selebihnya, Huston Smith telah menghasilkan tiga tayangan TV seri: “The Religions of Man,” “The Search for America,” dan (dengan Arthur Compton) “Science and Human Responsibility.” Filmnya tentang Hinduism, Tibetan Buddhism, dan Sufism memenangkan penghargaan pada festival film internasional. Hal ini karena ia dianggap sangat berkonstribusi pada perdamaian dan rekonsiliasi antar agama.
DVD terbaru yang dirilisnya adalah The Roots of Fundamentalisme, yang berisi percakapan dengan Huston Smith dan Phil Cousineau tentang gejala dan akar-akar fundamentalisme di dunia juga sudah dirilis. Buku Huston Smith yang terakhir adalah Tales of Wonder, buku ini berisi riwayat hidupnya sendiri terhadap kehidupan dan asosiasi yang selama ini dijalaninya.
Untuk komitmen dan jasa hidupnya yang panjang membawa agama-agama dunia bersama-sama untuk meningkatkan pemahaman, keadilan sosial dan perdamaian, Smith menerima Courage of Conscience Award dari The Peace Abbey di Sherborn, Massachusetts Amerika Serikat.
***
Karya-karya Huston Smith sangat banyak dan berkwalitas. Di antaranya, The Purposes of Higher Education. New York: Harper, 1955; The Search for America. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1959 yang ditulis bersama dengan Richard T. Heffron dan Eleanor Weiman Smith; Condemned to Meaning. New York: Harper & Row, 1965; The Religions of Man. New York: HarperCollins, 1970; Forgotten Truth: The Primordial Tradition. New York: HarperCollins, 1976; Primordial Truth and Postmodern Theology. New York: State University of New York P, 1989 ditulis bersama David R Griffin dan banyak karya lainnya.
Dalam beberapa kali wawancara, Huston Smith mengatakan, “Setiap masyarakat memiliki aturan-aturan agama, moral yang baik untuk undang-undang yang menggambarkan basis dari suatu tempat.” Memang, Huston Smith adalah fenomena dari iman yang berlimpah. Sebab, ia mempraktekkan ritual agama-agama yang metodis selama 26 tahun dengan melakukan salat lima kali sehari bahasa Arab, melakukan hatha yoga, dan mendatangi gereja dengan disiplin.
Melalui bukunya The World’s Religions (diterbitkan pertama pada 1958 dengan judul awal The Religions of Man, yang diterjemahkan ke dalam 12 bahasa), Smith percaya perannya untuk menjadi nabi pengetahuan agama-agama.
Ia merasa mendapat panggilan di dunia “hikmat tradisi” agar hidup sederhana yaitu untuk membantu manusia bersikap sopan terhadap satu sama lain. Tentu saja iman Huston sangat kuat sehingga mampu menjadikannya sebagai seorang yang berjuang dan bekerja dengan sopan. Hal ini karena ia berasal dari keluarga misionaris yang mengaasuh agama sebagai hal positif.
Dalam sebuah wawancara dengan wartawan, Huston pernah mengungkapkan bahwa, “Ketika membaca Upanishads, yang merupakan bagian dari Vedanta, saya menemukan sebuah worldview mendalam yang membuat kekristenan saya tampaknya seperti iman ketiga. Tetapi, saya tetap yakin bahwa kebenaran yang sama juga ada di kekristenan.”
Selanjutnya, Huston juga mengatakan bahwa Budha datang dan mengucapkan selamat untuk iman yang tercerahkan. Dari situ, Huston tahu bahwa kebenaran punya dasar yang sama di tiap-tiap agama. Sayangnya, menurut Huston, agama di Barat lebih kaku dibandingkan agama-agama di Asia. Akibatnya, dialog dan saling pengertian antar peradaban menjadi lambat dan kaku, sebaliknya bahkan saling curiga dan menyalahkan. Agama menjadi organisasi yang menyerupai “organisasi lainnya.”
Atas alasan itulah Huston benci agama terorganisir. Baginya, agama memang sebuah institutionalized spiritualitas, tapi itu hanya permukaan. Sebab, organisasi ini harus antiotoriter dan bercirikan humanisasi. Hal ini karena salah satu peran paling penting dari praktek-praktek spiritual adalah membantu manusia untuk bersikap sopan terhadap satu sama lain. Terlebih, agama juga mengatakan bahwa “segala yang kita tahu tentang alam adalah sesuai dengan ide dasar bahwa proses alam terletak di luar ruang-waktu” sebagaimana diungkap oleh ilmu pengetahuan.
Menurut Huston sendiri, agama adalah sumber yang berada di luar alam raya tetapi di dalam hati tiap manusia.
Dalam bukunya yang berjudul, “Ajal Agama di Tengah Kejayaan Sains,” Huston Smith punya hipotesa bahwa agama dan sains tidak saling membunuh, melainkan bekerjasama menyelamatkan masa depan bumi. Berangkat dari kegelisahannya akan krisis yang melanda kehidupan manusia, baik di Timur maupun Barat, terutama yang menimpa dunia spiritual dunia modern, buku ini ditulisnya.
Kondisi tersebut menurut Smith dicirikan antara lain oleh rasa kehilangan, baik pada yang religius maupun pada Yang Transenden dalam cakrawala yang lebih luas. Dunia kehilangan dimensi manusiawinya, dan manusia kehilangan kendali atas dirinya.
Smith membagi bukunya ini menjadi dua bagian besar, bagian pertama berupaya untuk mendedahkan komplesitas permasalahan yang diakibatkan oleh modernisme dan bagian kedua berupaya untuk memberikan sebuah pandangan sebagai solusi atas permasalahan yang ada.
Dengan titik tolak dari tradisionalisme, Huston Smith membongkar beberapa kelemahan kosmologis dan sosial dari modernisme dan bahkan posmodernisme yang mencoba mengoreksi modernisme. Dinyatakannya bahwa modernitas pencapaiannya hanya sebatas pada pandangan dunia-ilmiah atau istilah yang lebih tepat menurutnya adalah kosmologi, sedangkan pencapaian posmodernitas sebatas pada revolusi keadilan.
Di sini, Smith mengunakan terowongan sebagai metafora untuk menggambarkan realitas dunia modernits ini termasuk segala sesuatu yang termasuk di dalamnya. Smith menyatakan lantai dasar terowongan realitas tersebut adalah saintisme yang menopang ketiga sisi lainnya, ia menyatakan sains itu baik tapi tidak ada yang baik dalam saintisme. Hal ini karena sains menganggap dirinya sebagai satu-satunya metode yang paling benar dalam mencapai kebenaran dan entitas material–yang ditangani saintisme—dianggap sebagai hal paling fundamental yang ada. Pada dinding kiri terowongan adalah pendidikan, Smith memotret pendidikan Amerika yang mulai kehilangan dimensi spiritualitasnya karena tarikan saintisme dalam ranah sosial, psikologi, humaniora, filsafat, dan kajian agama.
Kemudian atap terowongan adalah media yang turut menyebarkan pendangkalan pandangan dunia-tradisional. Pada samping kanan terowongan terdapat hukum yang direpresentasikan oleh negara dipandang mengklaim memiliki hak prerogatif atas agama. Dalam hal ini misalnya, Smith mengutip Carter mengenai pandangan kalangan liberal Amerika, bahwa tujuan ideal Amerika akan terancam jika kekuatan religius erat bergandengan dengan kekuatan politik.
Smith kemudian bergerak ke arah bahasan yang mencoba meredam saintisme yang meminggirkan agama ke sains yang berpotensi memperkaya pemikiran religius, terutama konsepsi cahaya yang diulas oleh Einstein. Huston Smith pun berharap pada fisika, bilogi, dan psiklogi kognitif.
Gagasan inti Huston Smith adalah kembali pada pandangan inti dunia-tradisional yang punya berjuta kearifan. Dengan bahasa yang renyah dengan sisipan pengalaman pribadi dan realitas kehidupan lainnya, Huston banyak memikat para peminat kajian keagamaan di seluruh dunia. Keunggulan Huston jelas, ia menghidupkan kembali refleksi filosofis-metafisis, dan solusinya adalah kembali pada jantung agama-agama.
Jika tidak dilakukan, kita hanya dapat memilih menjadi atheis atau fundamentalis. Atheis bukan dalam pengertian tidak percaya pada Tuhan, melainkan “perlawanan pada theologi tertentu” yang membelenggu. Fundamentalis bukan dalam pengertian “asasi dan benar” melainkan “perlawanan pada siapa saja yang berbeda darinya” Bagi Huston Smith, dua pilihan itu sangat ironi dan mengenaskan.
Sebab, atheis membawa dampak pada radikalisme sekuler yang residunya adalah fundamentalisme liberal. Sedang fundamentalisme membawa dampak pada radikalisme teks atau fundamentalisme literal. Kalau kita lihat pertempuran yang terjadi di beberapa negara, kesimpulannya sama: pertempuran karena basis atheisme dan fundamentalisme. Bukan pertempuran demi tegaknya keadilan, bukan pertempuran demi Tuhan, bukan pertempuran agama.
Penulis merupakan Direktur Eksekutif Nusantara Centre. Pendiri PKPK UMP (Pusat Kajian Pancasila dan Kepemimpinan Univ Muhammadiyah Purwokerto).