Nico Nathanel Sinaga*
PIRAMIDA.ID- “Apakah bumi bulat atau datar?”
“Jika bumi bulat, kenapa manusia yang berada di bawahnya tidak jatuh?”
“Sistem Ptolemic.”
“Bumi berada di pusat peredaran benda langit.”
“Mengapa lingkaran bisa saling cocok dengan bentuk yang tidak sempurna?”
“Irisan kerucut: Lingkaran, elips, parabola, hiperbola.”
“Bumi bisa saja mengelilingi matahari tanpa kita sadari.”
“Model heliosentris?”
“Jika Bumi bergerak Setiap kali benda jatuh, maka benda akan jatuh ke arah belakang”
Kalimat-kalimat dialog kelas mata pelajaran astronomi maupun filsafat di atas, akan kalian dapatkan dalam sebuah scene movie drama berjudul “Agora”
Kisah ini berlatar tentang situasi kehidupan politik dan agama masyarakat pada akhir abad ke-4, di salah satu kota Mesir bernama Alexandria—saat itu di bawah kekuasaan Kekaisaran Romawi.
Diceritakan, bahwa pada periode tersebut, berlangsung kehidupan masyarakat yang secara relatif “normal” yang terdiri dari 3 agama berbeda: Paganisme (Yunani), Yahudi, dan Kristen (Katolik).
Namun situasi normal tersebut tidak berlangsung lama, diawali ketika kaum paganisme merasa terhina oleh olok-olok kaum Kristen terhadap dewa mereka—Serapis.
Arogansi kaum Kristen lewat penghinaan-penghinaan pada kaum pagan tersebut, sebenarnya menandai pesatnya pertumbuhan Kristen pada saat itu. Pengikutnya sudah sekian banyaknya. Mereka sudah berani memberontak. Kaum pagan berupaya menghindari potensi dominasi Kristen, hingga memutuskan untuk mengawali kekerasan dengan niat pembantaian.
“Jika mereka (Kristen) tidak takut pada dewa kita, kita buat mereka takut pada pedang kita.”
Pertarungan “berdarah” itu pun dimulai, dan “upss”—seperti antara minyak dan air, hanya akan kelihatan perbedaannya setelah keduanya dipertemukan—secara tiba-tiba saja, beberapa budak dan rakyat biasa angkat senjata melawan pagan.
Mereka telah menjadi Kristen. Kaum pagan yang terkejut melihat situasi tersebut, lari dan bersembunyi di balik gedung yang kelihatan seperti kastil besar yang mampu menghalau laskar jubah hitam untuk sementara waktu, menunggu pemerintah Kekaisaran berupaya mengamankan.
“Tapi tunggu dulu, apa hubungan semua cerita ini dengan lukisan seorang wanita di ilustrasi tulisan ini?”
“Oh, aku lupa, hampir saja aku akan bercerita panjang tentang adegan panjang film Agora ini, jika tidak mengingat Hypatia.”
Iya, nama gadis itu Hypatia. Dia akan tampil mendominasi dalam adegan film tersebut. Bisa dikatakan bahwa, kisah tragisnya lah yang menjadi tema utama film itu. Seorang perempuan yang hidup di tengah-tengah konflik fanatisme agama dan dogmatisme dangkal dari para penganut Perjanjian Lama, penyembah berhala, hingga pahlawan laskar salib.
“Perang – Bunuh – Bantai – Demi Agama”, seperti itu kalau digambarkan alurnya.
Awalnya, aku mengira bahwa film ini hanya sebuah kisah fiksikal, yang dibuat sedemikian rupa dengan meromantisisasi kehidupan di zaman pra abad pertengahan tersebut. Hingga film usai, rasa penasaran selalu tidak mampu dikalahkan.
Apakah Hypatia nyata? Apakah benar kisah pembantaiannya? Apakah benar tubuhnya dipenggal-penggal atau dimutilasi? Apakah benar tubuh yang termutilasi itu dibakar? Apakah benar pahlawan laskar salib yang melakukan itu? Hingga kemudian aku mencoba menelusuri beberapa literatur, dan ternyata jawabannya, “Ya”.
Kisah Hypatia menjadi salah satu fakta sejarah dalam dunia pengetahuan (Filsafat, Astronomi, dan Matematika). Salah satu fakta kisah kelam atas betapa dangkalnya oknum patriarkh Kristen pada saat itu.
Beberapa adegan dialog di atas, yang mengawali tulisan ini, menunjukkan bahwa Hypatia lebih fokus untuk melelahkan pikirannya pada hal-hal yg sulit diterima orang-orang pada saat itu.
Filsafatnya berbeda dengan filsafat pendahulunya, dia dinyatakan telah membuat pencapaian besar dalam dunia sastra dan ilmu pengetahuan.
Sekali lagi, “Jika Bumi bergerak Setiap kali benda jatuh, maka benda akan jatuh ke arah belakang.”
Hypatia menguji pernyataan ini, dengan mencoba menjatuhkan karung yang tidak kosong. Cukup untuk dijadikan sebagai “benda jatuh”, di atas sebuah kapal yang bergerak maju di atas laut.
Dengan mensejajarkan karung tersebut setinggi ujung tiang layar kapal di atas, dia telah menentukan titik jatuhnya, seakan-akan karung itu akan jatuh ke belakang mengikuti garis diagonal seiring majunya kapal tersebut.
Hingga pada waktu yang tepat, karung itu lalu dijatuhkan, dan brukkk….! Benda itu jatuh pada titik tegak lurus, sejajar dengan posisi awal karung saat berada di atas sebelum dijatuhkan. Dan argumen “benda jatuh ke belakang” terpatahkan.
Hypatia begitu senang, seakan-akan dia sudah lama meragukan argumen tersebut.
Sepertinya aku sudah pernah mendengar teori “benda jatuh” ini sudah lama sekali; kalau tidak salah topiknya mengenai gravitasi. Ohh ya, aku baru ingat, Isaac Newton.
Ternyata 1200 tahun sebelum Newton, perempuan ini telah menciptakan kemajuan besar dalam teori ilmu gravitasi.
Namun tidak hanya itu, penemuannya ini justru menguatkan keyakinannya terhadap gagasan Heliosentris Aristarkhos. Hal ini jauh sebelum era Copernicus atau bahkan jauh sebelum Giordano Bruno.
Hypatia juga telah mendahului Johannes Kepler 1200 tahun sebelumnya, dalam penemuan teorema lingkaran elips pergerakan bumi mengelilingi matahari.
Lagi dan lagi, indahnya pengetahuan justru tak seindah kisah penemuan pengetahuan itu sendiri. Sebaik apapun dikemudian hari pencapaian Hypatia di bidang pengetahuan, pada saat itu, oleh karena arogansi dan faktor kecemburuan dari oknum patriarkh Gereja, Hypatia dianggap sebagai wanita fasik yang akan menyesatkan orang-orang Kristen, dan dituduh sebagai wanita penyihir dan penghasut, dengan alasan dianggap sebagai dalang perpecahan konflik pemerintahan Romawi dan gereja. Sungguh kemalangan yang tragis!
Menjelang akhir kisah hidupnya, dengan mengambil bagian paling menarik dari scene film tersebut, yakni ketika dia harus ditanyai tentang agamanya—seakan-akan ada kompensasi atas tuduhan yang disematkan padanya, jika dia menjawab sesuai dengan keinginan “si penanya”.
Dia pun menjawab, “Aku mempercayai Filsafat.”
Tentu jawaban seperti itu, dianggap sebagai sesuatu yang tidak bisa lagi ditolerir. Dengan mempertegas kembali cara kematiannya, bahwa memang dia dieksekusi oleh para laskar parabolani Kristen secara sadis, tubuhnya dikuliti, dimutilasi, diarak-arak di kota, lalu dibakar.
Iya, Hypatia martir untuk pengetahuan ilmiah dan filsafat.*
Penulis merupakan pegiat sosial dan lingkungan hidup.