Supriadi Harja*
PIRAMIDA.ID- Dari bibir gadis sederhana yang pemalu itu, meluncur vokal yang benar-benar bening. Hampir semua yang hadir di ruangan ini menikmati dan menghayati lagu indah Dolly Parton yang dilantunkannya.
If I … should stay
I would only be on your way
So I’ll go
But I know
I’ll think of you every step of the way
Aku terpukau memandang gadis bersuara indah bertubuh ramping, yang sedang bernyanyi di atas panggung diiringi organ tunggal itu. Hingga senandung lagu terakhir, kuterpesona pada sosoknya.
Tepuk tangan para tamu yang memberi aplaus, menyadarkanku, bahwa lagu itu telah berakhir dinyanyikan. Kulihat gadis yang membuatku mabuk kepayang itu, mengembalikan mikrofon kepada MC.
Pandangan mataku mengikuti langkah gadis itu, menuruni panggung dan duduk di sebuah meja, yang sudah ada dua gadis lainnya di situ. Mungkin ia salah satu tamu yang diundang pada acara ini, sama sepertiku. Kuduga ia tadi diminta menyumbangkan sebuah lagu, karena didaulat naik ke atas panggung oleh MC.
Kedua gadis yang terlebih dulu ada di meja itu, mungkin saja teman-temannya, menyalami gadis yang baru selesai menyanyi itu. Kulihat teman-temannya memberi selamat atas keberhasilannya membawakan lagu itu dengan baik, sampai-sampai mendapatkan aplaus yang meriah dari para tamu, yang hadir pada acara pisah sambut pejabat baru ini.
Sebuah tangan dari belakang menyentuh bahuku.
“Hai, Bro, kok bengong kayak gitu! Naksir Rini, ya?” Bram, rekan sekantorku, menyapa secara tiba-tiba. Ia juga datang menghadiri undangan di sini.
“Hahh, siapa Rini yang kau maksud itu?” ujarku. Jujur, aku jadi bertanya balik, karena tak mengenal nama yang disebutkannya tadi.
“Itu, tuh, si mungil ramping yang baru saja nyanyi. Sedari tadi matamu menatap ke sana, kan?” Bram pun mengarahkan pandangannya ke tiga gadis di meja itu. Rupanya, yang tadi menyanyikan lagu “I Will Always Love You” itu bernama Rini. Nama yang sederhana, namun bersuara “wah”.
“Kamu kenal dia, Bram?” tanyaku agak malu-malu.
“Aku tadi baru dikenalkan oleh Sofi, kok. Itu yang berambut pendek dan berparas manis, yang satu meja dengan gadis yang kau taksir tadi, itulah Sofi. Aku kenal dekat dengan Sofi. Yuuk, kita ke sana! Supaya aku bisa memperkenalkanmu dengan Rini juga!” Tanpa menunggu persetujuanku, Bram menarik lenganku, membawaku berjalan menuju ke arah meja yang ada tiga dara manis, di sana itu.
***
Itulah awal perkenalanku dengan Rini ketika penempatan pertamaku, setelah lulus pendidikan tinggi kedinasan. Waktu itu, aku bertugas di sebuah instansi di Jakarta, pada tahun 1985. Kala itu aku masih jomblo, pun sedang tak punya pacar.
***
Perkenalanku dengan Rini, yang bernama lengkap Rini Anggraeni itu berjalan lancar. Setelah dikenalkan oleh Bram, aku pun sering bertemu dengan Rini. Aku juga sudah mengunjungi rumahnya, di jalan Jatinegara Kaum, Jakarta Timur. Begitulah, akhirnya aku berpacaran dengan gadis bersuara merdu itu. Ternyata ia bekerja sebagai PNS di Departeman Keuangan yang lokasi kantornya dekat Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.
Ketika itu berlaku 6 hari kerja seminggu, jadi jam 2 siang sudah boleh pulang kerja. Aku pulang kerja langsung meluncur dengan sepeda motor Tiger-ku, untuk menjemput Rini. Gadisku itu pun sudah menunggu di pintu gerbang kantor Depkeu. Seperti biasa ia minta diantar ke kampus Salemba, karena ia nyambi kuliah di kelas “extension” Fakultas Ekonomi U.I., yang belajarnya dimulai sore hari. Kalau segalanya lancar, dua tahun lagi ia akan diwisuda.
Setiap jam 10 malam, kujemput ia dari kampusnya. Kebetulan, aku indekos di jalan Pemuda, tak jauh dari kampus Salemba. Ia kuantar pulang ke rumahnya di jalan Jatinegara Kaum, dekat terminal Pulau Gadung. Kadang ia minta dijemput dari kampusnya lebih cepat—bila ada dosen yang absen mengajar—maka sesampainya di rumahnya, aku mampir dulu, menyempatkan diri bercengkrama dengannya di ruang tamu.
Meski sedemikian seringnya aku dibuatnya sibuk, mengantarnya ke sana ke mari, hingga seperti jadi “tukang ojek” pribadinya, anehnya aku tak merasa lelah dan tak pernah bosan melakukan semua itu.
Bagiku, semakin sering mengantar jemput dirinya, berarti semakin sering pula ketemu dengannya. Setiap kali memandang wajah manisnya, sirnalah rasa capekku. Setiap kali dekat dengannya, aku merasa nyaman dan bahagia. Apakah ini yang dinamakan cinta?
Begitulah. Di usiaku yang 24 tahun kala itu, kondisi fisikku sangat sehat dan bugar. Apalagi, aku rutin dua kali seminggu ikut berlatih bela diri Merpati Putih di cabang Pasar Pramuka.
Di Jakarta tahun 1985-an tempat pacaran yang sering kukunjungi berduaan dengan Rini antara lain: Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki, Taman Impian Jaya Ancol dan Taman Mini Indonesia Indah.
Kadang, aku bersamanya melakukan kunjungan silaturahmi ke rumah rekan-rekan kantor yang selama ini menjadi sobat kentalku, seperti Bram dan juga ke rumah teman wanitanya Rini.
Aku bangga memperkenalkan gadis pujaanku itu ke teman-teman di berbagai komunitasku. Barangkali Rini juga ada perasaan bangga punya pacar sepertiku. Buktinya, setiap kali ada acara undangan resepsi pernikahan temannya dan acara-acara hajatan di lingkungan sanak saudaranya, ia senantiasa memintaku mendampinginya.
***
Akhirnya Rini, pacarku itu, di-wisuda dan lulus S1 jurusan Ekonomi dan Studi Pembangunan U.I. Katanya dengan ijazah sarjananya itu, bisa diajukan untuk memperoleh penyesuaian pangkat/golongan di Depkeu—kantor tempatnya bekerja. Ketika ikut seleksi CPNS, lima tahun yang lalu, ia hanya berijazahkan sarjana muda, dan baru naik pangkat sekali, jadi Rini adalah pegawai golongan II/C. Bila permohonan penyesuaian pangkatnya disetujui kelak maka ia akan berstatus PNS golongan III/A.
***
Setahun kemudian permohonan penyesuaian pangkatnya di setujui kantor. Rini ditugaskan pada bagian moneter luar negri, masih di kantor Depkeu, dekat Lapangan Banteng itu. Tak disangka, aku pun mendapat surat mutasi, pindah dinas ke Palembang. Segera kuberkunjung ke rumah pacarku untuk mengabarinya. Setelah ngobrol panjang lebar, akhirnya sampai pada esensi yang ingin kuutarakan.
“Bagaimana kalau sebelum aku berangkat ke Palembang, kita nikah dulu?”
“Aku enggak bisa mendadak ditodong nikah kayak gini, Mas. Apalagi setelah nikah, Mas segera harus ke Palembang, meninggalkanku hidup di Jakarta tanpa suami. Enggak kebayang, gimana perasaanku nanti. Sedih … kesepian dalam kesendirian. Aku saat ini belum bisa ambil keputusan …,” ujar kekasihku.
Beginilah akhirnya. Aku yang selama dua tahun lebih ini menjadi “budak cinta” (bucin), ternyata sebentar lagi harus berada jauh darinya, disebabkan pindah dinas ke luar Pulau Jawa. Betul-betul “bucin ambyar”!
Penulis merupakan pegiat literasi media sosial. Bekerja sebagai Kepala Area di salah satu BUMN di Jawa Timur.