Oleh: Ados Aleksander Sianturi*
PIRAMIDA.ID- Dewasa ini, Indonesia sampai kepada suatu kondisi di mana para pemimpin dan rakyatnya sama-sama kebingungan dalam memahami, menerjemahkan, dan mengimplementasikan Pancasila sebagai ideologi negara.
Kebingungan ini jelas terlihat dari banyaknya perdebatan mengenai Pancasila. Misalnya, Pancasila itu adalah ideologi atau bukan, adanya klaim Pancasila itu dirumuskan dari suatu agama, apakah Pancasila itu anti komunis atau tidak, dan masih banyak lagi.
Tak hanya itu kebingungan ini juga terlihat dari praktik kehidupan yang jauh dari acuan yang telah ditawarkan oleh Pancasila. Fenomena ini adalah bukti kehadiran negara yang inkonsisten dalam memumpuk Pancasila sebagai ideologi yang harus dipedomani dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi, fenomena ini nampaknya tidaklah dianggap menjadi suatu permasalahan yang serius karena adanya anggapan bahwasanya Pancasila sudah dipahami apabila mampu menghapal sila-silanya. Kemudian, anggapan Pancasila sudah dilaksanakan dalam kehidupan apabila sudah menjalankan beberapa praktik yang dianggap relevan berlandaskan tafsir personal saja.
Misalnya, di sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagian besar orang akan merasa hebat jika bersikap “baik” terhadap penganut agama lainnya tetapi di satu sisi mencela orang yang tidak menganut agama.
Anggapan yang sempit ini terus berkembang di kalangan masyarakat bahkan di kalangan pemimpin bangsa ini. Hal ini tentu akan berdampak negatif pada perjalanan bangsa Indonesia. Secara logis, Indonesia akan kehilangan arahnya secara perlahan dan memperlambat Indonesia sampai pada cita-cita luhur kemerdekaan. Sehingga harus segera diambil langkah konkret guna mengembalikan pengertian yang benar terhadap Pancasila dan memperkokoh kedudukannya sebagai ideologi bangsa.
Kedudukan Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia adalah hal yang mutlak dan tidak sepatutnya diperdebatkan lagi. Perdebatan-perdebatan mengenai Pancasila hanya akan membuka ruang yang akan mendistorsi pemaknaan Pancasila itu sendiri. Baik itu secara historis maupun secara filosofis.
Sebaliknya, apabila Pancasila dihantarkan dalam ruang-ruang diskursus yang terarah, Pancasila akan semakin terbuka, menyebar, dan merasuk menjadi keyakinan ideologis bagi orang banyak.
Adapun ideologi adalah satu istilah yang dapat dimaknai dalam berbagai macam pengertian. Akan tetapi, secara etimologis ideologi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “eidos” dan “logos”. “Eidos” berarti “pengertian”, “ide” atau “gagasan” dan ”logos” artinya “ilmu”. Jadi dapat diterangkan bahwa ideologi berarti “pengetahuan tentang ide-ide” (science of ideas).
Dengan demikian ideologi bisa dikatakan sebagai sebuah ilmu tentang ide (science of ideas). Ide yang dimaksud dalam ideologi adalah ide mengenai suatu cita-cita atau suatu tujuan. Terlepas dari mungkin (rasional) atau tidak mungkin (utopis) cita-cita tersebut untuk dicapai, idelogi memiliki metode-metode khusus sebagai tata pelaksanaannya. Selain itu, dalam praktiknya ideologi haruslah memiliki penganut (massa) baik kelompok, golongan, maupun suatu bangsa yang mampu memahami metode untuk melakukan praktik-praktik (aksi) sebagai usaha untuk meraih cita-cita ideologi. Oleh karena itu dapat disimpulkan ada empat hal penting yang harus ada untuk menyempurnakan suatu ideologi, yakni ide, metode, massa, dan aksi.
Indonesia yang menjadikan Pancasila sebagai ideologi bangsa yang didasarkan pada konsensus para pendiri bangsa adalah suatu keputusan yang sangat tepat. Karena Pancasila digali dari kultur dan kepribadian bangsa Indonesia yang sudah ada sejak ribuan tahun silam dan kemudian formulasikan menjadi lima mutiara yang indah.
Selain itu, Pancasila juga merupakan ideologi terbuka (dinamis) yang mampu mengikuti perkembangan zaman tanpa mengalami perubahan ide dan metode yang menjadi dasar ilmiahnya. Melainkan pada aksi pencapaian tujuannya.
Kembali ke permasalahan. Akibat kebingungan yang terjadi, para elit politik pun berpotensi memanfaatkan situasi ini untuk keuntungan pribadi dan golongannya. Ini bisa tercermin dari banyaknya produk undang-undang yang menyeleweng daripada nilai-nilai Pancasila. Alhasil, yang jadi korban adalah dan hanyalah rakyat.
Kebingungan terhadap Pancasila ini juga mengakibatkan eksistensi Pancasila sebagai ideologi sakti hanya sebatas omongan belaka yang hampir tak bisa membendung banyaknya ideologi transnasional yang siap menghantam bangsa Indonesia.
Maka daripada itu, Indonesia bisa mengambil langkah-langkah konkret untuk meminimalisir potensi terjadinya masalah yang lebih besar lagi. Setidaknya ada dua hal yang harus segera di ambil oleh pemerintah dan segenap elemen masyarakat, yaitu revitalisasi Pancasila dan reaktualisasi Pancasila. Revitalisasi Pancasila adalah proses menghidupkan atau memahami dan menghayati kembali nilai-nilai luhur Pancasila. Sedangkan reaktualisasi Pancasila adalah kembali mewujudkan nilai-nilai pancasila yang terabaikan dalam setiap pribadi perorangan, warga negara, penduduk, penguasa dan orang indonesia dalam aspek kehidupan berbangsa dan bernegara.
Revitalisasi Pancasila bisa dilakukan seperti dengan internalisasi dan indoktrinasi Pancasila kepada seluruh masyarakat Indonesia yang dipelopori pemerintah. Baik dalam sektor pendidikan, sosial, ataupun birokrasi. Dalam pelaksanaanya pemerintah harus tetap merujuk pada rumusan Pancasila yang asli atau Pancasila yang dirumuskan oleh penggalinya, yakni Bung Karno.
Banyak pidato dan tulisan Bung Karno yang bisa dijadikan rujukan dan bahkan bisa menterjemahkan konsepsi Pancasila itu sendiri. Jika kedua hal tersebut dilaksanakan secara konsisten dan sistematis, Pancasila pasti mampu bertransormasi dari ide menjadi sebuah praktik kolektif bangsa Indonesia.
Dengan demikian, ideologi Pancasila akan kokoh dan tidak mudah rapuh. Ia akan menjelma menjadi sesuatu kekuatan yang tak akan terkalahkan dan mampu menggiring bangsa Indonesia menjadi suatu bangsa yang progresif dan terarah. Apabila bangsa Indonesia sudah menjadi bangsa yang progresif, masyarakat yang adil dan makmur tidak lagi sebatas utopi melainkan realita yang dapat dinikmati.
Sebagai penutup, suatu ideologi sama sekali tidaklah berdaya tanpa daya para penganutnya. Hilangnya suatu ideologi diakibatkan oleh hilangnya ide dan metode dalam ruang pemikiran dan aksi penganutnya. Ideologi akan sempurna apabila ide mampu bertranformasi menjadi praktik (aksi) kolektif penganut-penganutnya demi mencapai tujuan ideologi itu sendiri.(*)
Penulis merupakan Ketua Umum Lingkar Studi Mahasiswa Marhaenis (LSMM) Jambi.