Kristian Silitonga*
PIRAMIDA.ID- Dalam era demokrasi padat modal dan politik biaya tinggi seperti saat ini, apa sesungguhnya yang bisa kita harapkan dari seorang pemimpin yang dipilih langsung oleh warganya?
Apakah sistem dan konstruksi politik seperti itu akan betul-betul mampu melahirkan pemimpin yang amanah dan sungguh peduli pada warga pemilihnya. Atau jangan-jangan kita sedang terjebak dan membangun ilusi tentang kepemimpinan yang utopis?
Kita seolah akan memilih seorang pemimpin yang akan mengubah kesejahteraan kita dan menyerahkan hitam-putih kehidupan pada kebijaksanaan pemimpin sembari pasrah dan berharap semua akan lebih baik. Namun pada saat yang sama kemudian kita tidak berbuat apa-apa.
Itu yang kemudian saya maksud dengan ilusi kepemimpinan yang cenderung lahir dari kemalasan berpikir.
Dalam sejarah peradaban sudah sangat lama syndrom ratu adil, satrio piningit, dan mesianisme hidup dalam pikiran kita. Para pemimpin besar itu seolah orang yang diutus Tuhan untuk menjadi pemimpin dalam keseharian kita. Hal ini telah lama disematkan dalam kesadaran kolektif kita.
Pola ini kemudian yang akan melahirkan mistifikasi kekuasaan dan pengkultusan kepemimpinan. Pada era ini pernyataan sejarawan Thomas Carlyle (1840) bahwa, “Pemimpin besar itu dilahirkan, tidak bisa dibentuk,” seolah mendapat relevansinya.
Namun sejalan dengan perkembangan zaman dan berkembangnya demokrasi modern, pendapat itu kemudian dibantah oleh sosiolog Herbert Spencer (1896) bahwa, “Pemimpin itu dibentuk oleh masyarakatnya.”
Efektifitas kepemimpinan akan sangat tergantung dengan dukungan dan kolaborasi warga masyarakatnya. Tidak ada pertunjukan “one man show” dalam alam demokrasi. Semua stake holder punya peran dan fungsi masing’masing. Baik para pemimpin maupun warganya. Kehidupan dan ruang publik berjalan dan diatur oleh rule of game (konstitusi) yang telah disepakati bersama.
Walaupun disadari kemudian bahwa sistem demokrasi juga tidak sempurna dan memiliki aneka kelemahan pula. Tanpa perawatan dan konsolidasi yang memadai dari segenap stake holdernya, demokrasi dapat dibajak segelintir orang dan kuasa modal.
Dengan kata lain prosesmya seolah tetap demokratis tapi substansi dan semangatnya cenderung oligarkis. Pada titik ini dari berbagai faktor yang ada maka kuasa modal adalah salah satu faktor yang paling dominan.
Demokrasi padat modal yang cenderung berlangsung saat ini hanya akan melahirkan kepemimpinan transaksional pula.
Kepemimpinan transaksional hanya akan melahirkan ilusi kebijakan dan kesuksesan semu. Tidak ada gagasan besar dan kepedulian di situ karena semua proses berlangsung dalam logika pragmatis dan kalkulasi untung rugi politik serta kuasa modal.
Yang terjadi sesungguhnya hanya parade industrialisasi politik melalui proses sirkulasi kepemimpinan yang seolah demokratis. Padahal sekali lagi itu hanya pertarungan kuasa modal dan kalkulasi kepentingan segelintir orang (elite) saja. Tidak lebih.
Maaf saja, para pemimpin itu sesungguhnya sedang membangun narasi kepentingan dan kisah kekuasaan diri dan kelompoknya, bukan semata soal kepentingan rakyatnya. Itu soal kedua. Memang begitulah logika kekuasaan bekerja. Tidak perlu juga kita terlalu serius menyikapinya.
Lantas apa yang semestinya harus dilakukan dalam menyikapi persoalan itu? Ada beberapa hal:
Pertama, pendidikan politik dan penguatan pemahaman kewargaan. Bahwa pemimpin itu adalah dari kita oleh kita dan untuk kita. Dia dibentuk dan lahir dari interaksi dan dinamika sosial politik masyarakat itu sendiri, tidak datang dari langit. Pada titik inilah rekam jejak, integritas, komitmen dan keberpihakannya menjadi penting dan dapat diverifikasi oleh warga pendukungnya dalam proses demokrasi yang akan berlansung kelak.
Pertimbangan dukungan akan menjadi jernih dan rasional, tidak lagi atas dasar pragmatisme (politik uang) dan sentimen primordialisme (politik identitas).
Kedua, konsolidasi dan penguatan kelembagaan partai politik. Sudah saatnya parpol yang notabene satu-satunya lembaga yang memproduksi para politisi mesti dikelola secara profesional dan akuntabel. Sebagai organisasi kaderisasi calon pemimpin, parpol tidak boleh lagi menempatkan dirinya sebagai “perusahaan politik” yang cenderung berorientasi pragmatis transaksional.
Parpol mesti memiliki platform politik dan ideologinya sendiri yang memiliki distingsi dengan parpol lainnya. Aneka platform politik itulah kelak yang akan memperkaya khasana demokrasi sekaligus referensi politik warga dalam memberi dukungan politiknya. Tidak seperti saat ini yang cenderung streotipe satu dengan yang lain.
Yang membedakannya hanya pemilik dan elit pemimpinnya plus jargon dan simbolnya saja. Selebihnya sama, yakni pragmatis dan hegemonial. Regenerasi politik harus mampu diwujudkan, bukan malah membangun dinasti politik dan personalisasi kepartaian. Parpol itu instrumen penting dalam demokrasi, bukan komoditas ekonomi.
Regenerasi kepemimpinan harus berjalan dalam prinsip meritokratis dan rekam jejak politik yang jelas. Tidak boleh dikunci dengan unsur nepotisme yang berujung politik dinasti. Jika proses ini berjalan baik, maka para calon pemimpin politik yang dihasilkan kelak tentu akan teruji rekam jejak politiknya dan kapasitas kepemimpinannya.
Demokrasi kemudian akan diisi oleh dinamika dan pettarungan platform, ide dan gagasan-gagasan besar antar parpol itu sendiri. Dan di sini rakyatlah yang kemudian paling diuntungkan.
Ketiga, reevaluasi sistem demokrasi kita saat ini yang cenderung tidak memiki akar dan sistem nilai yang kuat. Kita cenderung tergesa-gesa mengadopsi konsep demokrasi luar agar disebut negara demokrasi modern tanpa kesabaran mengujinya dengan sistem nilai yang ada dalam keseharian kita. Seringkali justru implementasi demokrasi yang kita belum sungguh-sungguh kita pahami dan kuasai itu malah berbenturan dengan sistem nilai yang kita anut dan pahami.
Dengan kata lain pemahaman yang parsial dan sepenggal-sepenggal membuat pelaksanaan demokrasi tidak utuh dan cenderung terdistorsi. Misalnya apakah pelaksanaan sistem pemilu langsung atau mekanisme ‘one man one vote’ betul- betul berangkat dari sistem nilai kita dan berjalan sesuai yang kita harapkan. Atau barangkali kita cenderung ingin segera tinggal landas namun abai membenahi landasannya.
Bukankah kesiapan dan tingkat pemahaman politik warga juga perlu disiapkan dalam suatu negara demokratis? Karena hakekat demokrasi itu sejatinya menghadirkan persatuan, bukan keterbelahan. Tentu banyak varian yang juga mesti diurai. Namun paling tidak tulisan ini mencoba untuk mengajak kita lebih dalam merefleksikan dan mengkoreksi kembali sistem demokrasi yang sudah kita jalani.
Setidaknya memperteguh jika memang sistem ini telah sesuai dengan sistem nilai kita dan kita tidak sedang berilusi tentang itu.
Terakhir, dan menurut saya ini yang terpenting: “teruslah berpikir kritis, bukan sinis”. Semua percakapan tentang kepemimpinan dalam ruang publik seringkali tergelincir pada ilusi kepemimpinan tadi. Dalam negara demokratis, pemimpin publik mulai dari tingkat RT, bupati/wali kota, gubernur sampai dengan presiden itu sesungguhnya pemimpin formal dan afministratif saja.
Mereka dipilih dari, oleh, dan untuk rakyat untuk bertugas memimpin sekaligus melayani rakyat dalam penyelenggaraan negara yang kesemuanya diselenggarakan, diatur dan diawasi oleh aturan yang kita sepakati bersama, yakni konstitusi dan segenap turunannya. Kepemimpinan global juga berlangsung dalam logika yang kurang lebih sama.
Lantas, jika mereka itu hanya pemimpin formal dan administratif saja, siapa sesungguhnya pemimpin sejati dalam peri kehidupan kita sehari-hari?
Barangkali itu lebih kepada pemimpin- pemimpin informal atau komunitas yang berkaitan langsung dengan hidup keseharian kita.
Atau bisa jadi itu ada dalam diri Anda. Karena pada akhirnya hidup keseharian kita sangat tergantung dan ditentukan oleh usaha dan inisiatif diri Anda sendiri. Selebihnya hanya faktor-faktor pendukung saja. Dan itu bukan ilusi. Anda setuju..?(*)
Penulis merupakan pengasuh rubrik Sopolitika.