Ikhsan Yosarie*
PIRAMIDA.ID- Bulan lalu Majelis Hakim Pengadilan Militer Jakarta menjatuhkan vonis ringan kepada 11 prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) dalam pengeroyokan seorang laki-laki yang kemudian tewas di Tanjung Priok, Jakarta, pada Februari.
Para prajurit itu dijatuhi vonis paling lama 1 tahun 2 bulan penjara. Hanya dua dari mereka dijatuhi hukuman tambahan berupa pemecatan dari kedinasan TNI Angkatan Darat (AD).
Para pelaku terbukti melakukan tindak pidana penganiayaan yang menyebabkan kematian – yang menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dapat dihukum penjara paling lama tujuh tahun.
Mereka bahkan mendapatkan rekomendasi peringanan hukuman dari atasan mereka, Mayor Jenderal (Mayjen) Isdarmawan Ganemoeljo, lewat surat Kapusbekangad R/622.06/12/293/subditpamoster tanggal 30 Juni 2020.
Lebih lanjut, respons Markas Besar (Mabes) TNI tidak sejalan dengan semangat penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) dan penegakan hukum yang berkeadilan. Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI Mayjen Achmad Riad mengatakan tak ada yang salah dari rekomendasi itu.
Vonis ringan dan tidak berkeadilan ini menunjukkan kembali perlunya revisi Undang-Undang No. 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer dengan segera.
Mandeknya revisi UU Peradilan Militer
Dalam hal revisi UU Peradilan Militer, dua dekade reformasi TNI masih menemui jalan buntu.
Sejak 2005, desakan untuk merevisi UU itu telah mengemuka lantaran dianggap menjadi alat langgengnya impunitas: peradilan militer memiliki kewenangan mengadili aparat militer yang melakukan tindak pidana umum.
Padahal, idealnya mereka harus diadili di pengadilan umum.
Alhasil, berbagai kasus pelanggaran HAM berat justru diadili di pengadilan militer.
Prosesnya tertutup, tidak transparan, dan tidak mengakomodisai kepentingan korban sehingga hasilnya mudah ditebak. Pelaku yang diadili hanyalah pelaku lapangan alih-alih atasan mereka yang memberi perintah, pelaku juga mendapat hukuman rendah, sementara kebenaran tidak terungkap.
Lebih jauh, hak-hak korban juga tak kunjung dipenuhi.
Pada 2006, pembahasan rancangan UU (RUU) Peradilan Militer tidak menemukan titik temu.
Semua fraksi DPR berpendapat tindak pidana umum yang dilakukan oleh prajurit harus diadili dalam lingkup peradilan umum.
Di pihak lain, pemerintah menghendaki semua tindak pidana yang dilakukan oleh semua prajurit TNI dibawa ke pengadilan militer.
Memasuki dekade kedua Reformasi, pembahasan revisi UU Peradilan Militer tidak menemui kemajuan.
RUU Peradilan Militer bahkan tidak termasuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2015-2019. Padahal, revisi itu selalu tercantum pada Prolegnas sebelumnya.
Revisi UU Peradilan Militer juga tak disinggung lagi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN).
Pemerintah lewat Kementerian Pertahanan justru mengusulkan RUU Keamanan Nasional dan RUU Rahasia Negara kembali masuk daftar Prolegnas 2015-2019. Padahal, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan sudah lama memprotes dan mengingatkan pemerintah tentang bahaya kedua RUU tersebut.
Militer dikhawatirkan mencoba masuk ke ranah keamanan dalam negeri dengan cara menjalin kesepakatan dengan sejumlah lembaga pemerintahan dan lewat proses legislasi dengan masuknya dua RUU itu ke dalam RPJMN dan Prolegnas.
RUU Kamnas juga dikhawatirkan akan digunakan untuk menggabungkan TNI dan polisi seperti masa Orde Baru; atau memberikan kewenangan kepada TNI agar bisa bertindak seperti polisi yakni menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat.
Hal ini mengancam kebebasan sipil masyarakat Indonesia dan meningkatkan risiko pelanggaran hak sipil dan hak asasi negara oleh tentara.
Pada 2012, sejumlah tokoh pembela hak asasi manusia seperti Usman Hamid dan Todung Mulya Lubis menolak RUU Keamanan Nasional.
Mereka mendesak parlemen mengembalikan usulan RUU itu ke pemerintah karena tak jelas maksudnya, dipenuhi pasal karet, bertentangan dengan UU lain, dan dinilai dapat mengancam hak asasi manusia serta demokrasi.
RUU Keamanan Nasional, misalnya memberikan presiden wewenang untuk mengerahkan TNI dalam status tertib sipil tanpa melalui pertimbangan parlemen dalam menghadapi ancaman keamanan nasional.
Ini bertolak belakang dengan UU TNI bahwa pengerahan kekuatan TNI harus didasarkan kepada keputusan politik negara, yang berarti harus mendapat pertimbangan dari parlemen.
Kegagalan revisi sistem peradilan militer yang ada menjadi penanda bagaimana akuntabilitas atas pelanggaran HAM yang dilakukan aparat militer masih menjadi masalah besar.
Dalam Almanak Hak Asasi Manusia di Sektor Keamanan Indonesia pada 2014 yang dikeluarkan lembaga kajian Institute for Defense, Security, and Peace Studies, dijelaskan bahwa menurut standar HAM internasional, sistem peradilan militer seharusnya dikesampingkan atau bahkan tidak diperkenankan untuk mengadili personel militer yang diduga melakukan pelanggaran HAM serius, seperti penghilangan paksa, eksekusi di luar hukum, dan penyiksaan.
Peradilan militer juga tidak diperkenankan untuk menuntut dan mengadili orang-orang yang dituduh melakukan kejahatan semacam itu.
Amanat perundang-undangan
Dalam laporan dua dekade reformasi TNI pada 2019, SETARA Institute mencatat bahwa reformasi TNI belum menyentuh titik-titik penting.
Salah satunya adalah penyelesaian dan pertanggung-jawaban hukum terhadap kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu, seperti kasus kekerasan, penganiayaan, dan penembakan dalam kerusuhan Mei 1998; kasus Trisakti; penghilangan atau penculikan aktivis 1997/1998, Semanggi I dan II, serta deretan kasus lainnya di Aceh dan Papua ada dalam daftar kasus kekerasan dan pelanggaran HAM berat masa lalu yang diduga melibatkan aparat militer.
Mandeknya revisi UU Peradilan Militer juga termasuk titik-titik penting itu.
Selain kegagalan penuntasan kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu, kegagalan revisi sistem peradilan militer menjadi penanda bahwa akuntabilitas atas pelanggaran HAM oleh aparat militer masih menjadi masalah besar.
Patut diakui, TNI telah melakukan beberapa upaya penguatan pemahaman berkaitan dengan HAM dan hukum kemanusiaan.
Misalnya, pada 2011, TNI AD dan Komisi Nasional (Komnas) HAM meningkatkan kerja sama pendidikan HAM dan hukum bagi para prajurit TNI.
Namun, amanat agar TNI tunduk kepada peradilan umum jika melakukan tindak pidana di wilayah sipil merupakan amanat peraturan perundang-undangan.
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. VII/MPR/2000 pada tahun 2000 telah menyatakan bahwa prajurit TNI tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum militer, dan tunduk kepada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum.
UU No. 34 tahun 2004 tentang TNI juga mengatur hal yang sama.
Amanat undang-undang tersebut adalah perwujudan prinsip kesamaan di muka hukum (equality before the law).
Dengan demikian, tentu sebenarnya sudah tidak ada alasan lagi revisi UU Peradilan Militer ini tidak dilakukan.(*)
Penulis merupakan peneliti di SETARA Institute. Artikel pertama kali publikasi untuk The Conversation.