Gading Simangunsong*
PIRAMIDA.ID- “Bintang narumiris tu ombun natumorop, asa anak pe dijamu riris jala boru pe tung mansai torop.” Sepenggal umpasa (pantun) Batak ini pastilah sering kita dengar pada upacara pernikahan adat Batak, biasanya pihak hula-hula (paman dari ibu) menyampaikannya sebagai ungkapan doa yang punya makna spiritual tersendiri bagi orang Batak.
Secara harfiah pantun yang berarti, “Bintang yang tersusun rapi, awan yang tersusun dipermukaan. Hendaknya kau punya anak lelaki yang tak terbilang, dan anak perempuan yang juga banyak,” itu menyiratkan bagaimana diskriminasi gender amat kental dalam konstruksi sosial budaya Batak. Kita dapat melihatnya dari diksi kata “riris” bagi anak laki-laki dan kata “torop” bagi anak perempuan.
Meski secara harfiah kedua kata ini memiliki arti yang sama, yakni banyak atau besar, tapi terdapat perbedaan dalam jumlah atau pembilangan. Kata “riris” mengartikan jumlah yang banyak sehingga tak dapat dihitung atau terbilang seperti bintang di awan, sedang kata “torop” mengartikan jumlah banyak dalam sebuah satuan atau grup yang bisa terhitung seperti jumlah orang di sebuah garis keluarga atau pinompar.
Ini menunjukkan bahwa orang Batak cenderung lebih mengharapkan (mendoakan) kehadiran anak lelaki lebih banyak dibanding anak perempuan.
Tak cukup di situ saja, ada juga umpasa lain yang berbunyi:
“Laklak ma diginjang pintu singkoru ginolomgolom,
Sai maranak ma hamu sampulu pitu, marboru sampulu onom.”
Secara harfiah umpasa (pantun) ini berarti “Kulit kayu diatas pintu, jali-jali dalam genggaman, lahirlah dikau anak lelaki tujuh belas, serta anak perempuan enam belas.” Umpasa perbandingan tak seimbang ini menguatkan asumsi peran laki-laki lebih besar dibanding peran perempuan, sehingga dalam jumlah kelahiran anakpun laki-laki diharapkan lebih banyak.
Mengapa perempuan (ina Batak) didiskriminasi demikian?
Sistem kekeluargaan masyarakat Batak menganut sistem patrilineal, sistem yang berdasarkan garis keturunan laki-laki sebagai penerus klan atau marga, sedang anak perempuan tidak bisa meneruskan marga ayahnya karena kelak akan dinikahkan (dipahuta) dengan marga lain. Selain itu falsafah dalihan natolu (tiga tungku) menghasilkan budaya patriarki yang ‘melegalkan’ ketidaksetaraan gender (gender inequality) karena mengatur hubungan laki-laki sebagai subjek, sedang perempuan hanya sebagai objek yang melengkapi dan pendukung.
Dengan kata lain apabila seorang keluarga Batak ‘hanya’ dikaruniai anak perempuan maka garis keturunan marga (sundut) dari pihak laki-laki akan putus atau terhenti untuk selamanya (napunu). Karena itulah dulunya mudah ditemui praktik poligami oleh suami dengan dalih ‘mencari’ anak laki-laki sebagai penerus klan atau marga.
Selain poligami, perempuan Batak juga didiskriminasi sejak dalam keluarga. Hak-hak perempuan dalam keluarga dibatasi termasuk hak berbicara dan dilibatkan dalam mengambil keputusan karna pengambilan keputusan tertinggi ada pada laki-laki, hal yang sama juga terjadi dengan pembagian warisan yang jatuh kepada anak laki-laki, kalaupun perempuan mendapat sepetak bagian, itu cuma manjalo (meminta) belas kasih dari anak laki-laki.
Dalam praktik adat pun, peran perempuan dituntut wajib untuk selalu membantu laki-laki dalam menggelar sebuah upacara adat-istiadat tetapi anehnya perempuan cuma dibatasi untuk urusan dapur, tidak bisa tampil ke depan sehingga boleh dikatakan menjadi pekerja ‘dibalik layar.’
Sistem pembagian kerja masyarakat Batak yang terbagi atas peran laki-laki di ruang publik (mencari nafkah, sekolah, melaksanakan adat) dan peran perempuan di ruang domestik (kasur, dapur, sumur) telah mengkerdilkan peranan anak perempuan dalam keluarga maupun masyarakat.
Anehnya, pada pelaksanaannya justru seringkali perempuan (ina Batak) dituntut menjalankan peran ganda sekaligus. Sebagai contoh, ketika Anda berkunjung ke desa akan sering mendapati puluhan kaum ayah (ama) cuma menghabiskan waktunya seharian di lapo (warung) untuk bersenang-senang (minum tuak, main catur, main judi, pasang togel). Diwaktu bersamaan kaum ibu (Ina) harus berjibaku menjadi buruh tani bekerja di sawah orang demi menafkahi anak-anaknya. Peran ganda ini sering ditemui dengan istilah ina pansari (ibu pekerja) yang dituntut menyeimbangkan peran mencari nafkah dan peran mengurus rumah tangga pada waktu bersamaan.
Mengapa ina Batak mau melakukannya?
Kegigihan perempuan (ibu atau ina) Batak dipengaruhi besar oleh pola pikirnya, ia meyakini bahwa penderitaan (akibat kemiskinan) yang dialaminya harus berhenti pada dirinya dan tidak boleh diwarisi kepada anak-anaknya. Cara terbaik adalah dengan pendidikan, lewat itulah orang bisa memperbaiki taraf hidup dan menyiapkan kehidupan yang lebih baik bagi generasi setelahnya. Walaupun terkadang hal itu butuh pengorbanan yang besar dari ibu, hal ini merupakan cara kaum ibu mengimplementasikan kesetaraan gender itu.
Banyak perempuan (ibu atau ina) Batak yang harus mengubur mimpinya dalam-dalam karena mereka sudah dihegemoni sejak kecil bahwa perempuan tidak layak berada dalam ruang publik termasuk mimpi bersekolah apalagi bekerja, karena pekerjaan ina batak tadi sudah dibagi untuk urusan domestik atau rumah tangga saja. Persis mimpi ina Batak yang tersisa ialah melihat anak-anaknya mendapat kehidupan yang lebih layak dari dirinya. Asa yang tersisa itu tersirat pada sebuah ungkapan, “Dang dao tubis sian bona na.” (Kesuksesan seorang ina Batak dilihat dari kesuksesan anak-anaknya.”
Itulah yang mendorong Ina Batak gigih bekerja sekalipun berperan ganda menjalankan fungsi ayah dan ibu bersamaan, falsafah “anakkonhi hamoraon di au atau anakku lah kekayaan bagiku.” memacu mereka berjuang membuka jalan bagi anak-anaknya. Ina Batak tidak ragu menyekolahkan anak-anaknya dari desa ke kota seperti Siantar dan Medan dengan biaya besar demi pendidikan yang layak. Karena ia percaya pendidikan adalah senjata paling ampuh memerangi kemiskinan, kemelaratan dan penindasan.
Semangat itu bisa kita lihat dari penggalan lirik beberapa lagu-lagu Batak seperti lagu ‘Anakkonhu’, ‘Anakkonhi hamoraon di au’, ‘Anakku naburju’, ‘Boru panggoran, ‘Boru buha baju’ dan banyak lainnya. Bila dicermati lagu-lagu itu berupa nasihat orangtua kepada anaknya untuk ulet menggapai pendidikan di kampung orang, agar kelak ia (sang anak) dapat menyekolahkan adik-adiknya.
Bagaimana ina Batak kini?
Saya percaya sebuah ungkapan bahwa apa yang terjadi hari ini tak lepas dari doa kita kemarin. Konteks hari ini berarti perubahan yang telah terjadi, sedang kemarin berarti buah dari perbuatan (kontribusi) orang-orang yang berjasa di masa lampau. Mungkin saja hasil jerih doanya nenek kita, ibu dari nenek kita puluhan tahun yang lalu.
Percaya atau tidak, langsung atau tidak langsung kontribusi ina Batak terdahulu yang membukakan jalan kemajuan bagi anak-anaknya lewat pendidikan sudah berhasil mengubah tatanan sosial pada masyarakat hari ini. Dengan lahirnya generasi Batak terpelajar telah mendorong perubahan pada praktik kebudayaan batak, perubahan itu didorong oleh pelaku budaya itu sendiri yang telah mempelajari dan memandang budaya sebagai ilmu yang bersifat terbuka dan mengakomodir perubahan.
Mereka sudah menyesuaikan praktik kebudayaan yang lebih memberikan ruang setara kepada laki-laki dan perempuan. Contohnya dalam sebuah acara adat, kaum Ina sudah mendapat kesempatan tampil diacara publik untuk berbicara (jambar hata) dan membentuk komunitas kecil (pungutan Ina). Dalam pembagian warisan juga, sudah didorong prinsip kesetaraan hak anak laki-laki maupun anak perempuan, pun demikian dalam partisipasi publik sudah melibatkan perempuan sebagai peserta bahkan ihutan (memimpin) kelompok masyarakat dari terkecil (kepala desa) bahkan besar (kepala daerah).
Bagaimana ina Batak di masa mendatang?
Buah dari kegigihan seorang ibu Batak memperjuangkan anaknya beroleh pendidikan itu adalah meningkatnya taraf hidup orang Batak dengan menyusutnya angka kemiskinan, buta huruf dan penyakit busung lapar di pedesaan terutama bona pasogit meliputi Toba, Samosir dan Tapanuli. Apalagi adanya falsafah marsipature hutana be (kembali pulang memperbaiki kampung halaman) membuka ruang para perantau Batak berpartisipasi membangun kampungnya masing-masing.
Peningkatan taraf hidup itu tentunya dibarengi peningkatan kapasitas manusianya, kita sudah bisa melihat heterogenitas profesi yang persis semua profesi yang didominasi laki-laki sudah bisa dikerjakan perempuan.
Perempuan Batak juga sudah menyadari pentingnya bersatu dalam sebuah kelompok pemberdayaan.Tercatat banyak komunitas-komunitas sosial yang digagas untuk melawan diskriminasi yang dialami perempuan. Isu-isu perempuan juga sudah kuat digaungkan untuk mendapat simpati dan partisipasi publik, baik lewat jalur konstitusi (aturan yang menguatkan peran perempuan) maupun jalur diplomasi (dorongan dari masyarakat itu sendiri).
Dipercayai kedepan perempuan batak akan terus saling mendukung lewat pendekatan pendidikan yang mendorong semua orang setara. Dan lewat itulah suatu waktu kelak perempuan batak dapat mengisi ruang-ruang publik lainnya. Contohnya dalam sektor pendidikan perempuan sudah menjadi guru besar dan rektor, dalam keagamaan menjadi pimpinan pusat gereja, dalam politik menjadi bupati dan dalam sosial masyarakat banyak yang mengabdikan diri dalam lembaga sosial sebagai aktivis yang berpengaruh.
Lahirnya tokoh-tokoh perempuan diatas harapnya menjadi inspirasi bagi perempuan terus memacu dirinya, karena dengan kapasitas yang tinggilah mereka dapat mengubah tatanan di masyarakat yang diskriminatif tadi. Jangan mengubur mimpi 2 kali, cukuplah ibu dan nenek kita mengorbankan mimpinya terkubur demi membuka jalan untuk anak-anaknya punya cita-cita agar kelak setiap orang bisa memiliki kesempatan untuk bercita-cita dan mewujudkan cita-citanya.
“Ijuk dipara-para, hotang diparlabian. Nabisuk napuna hata, naoto itu panggadis-gadisan.”
Selamat Hari Perempuan Internasional!(*)
Penulis merupakan Peserta Pertukaran Mahasiswa Kampus Merdeka dari Universitas Simalungun tahun 2002.
Mantap
Luar biasa