PIRAMIDA.ID- Aparatur Sipil Negara (ASN) sering dinilai menjadi faktor berpengaruh dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Apalagi jika salah satu calon yang bertarung adalah petahana. Kepala dinas, camat hingga lurah menjadi faktor penggerak yang bisa menentukan arah dukungan pemilih.
Pengamat politik dari Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP) Fisipol Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Abdul Gaffar Karim menilai, persepsi itu dipengaruhi kekuasaan ASN di wilayah tertentu.
“Kita bisa menyimpulkan, bahwa aparat negara yang punya kendali atas wilayah, itu punya potensi lebih besar untuk melanggar prinsip etik netralitas ASN dalam Pilkada. Sebab-sebabnya apa, ini masih bisa kita lacak lebih jauh, tapi kita bisa katakan bahwa kendali atas wilayah itu sangat terkait kendali atas pemilih,” kata Gaffar.
Gaffar menyampaikan itu dalam diskusi DPP Fisipol UGM mengenai netralitas ASN dalam Pilkada 2020, Senin (16/11) sore. Hadir pula sebagai pembicara, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto dan Sutrisno Wati dari Bawaslu DI Yogyakarta.
Isu Netralitas Berulang
Selama lima bulan terakhir, DPP Fisipol UGM telah memantau mahadata (big data) di internet terkait netralitas ASN dan Pilkada. Dari perayap web (crawling), mereka menemukan 8.662 artikel dari 189 portal media massa terkait isu ini. Banyaknya pemberitaan menunjukkan bahwa netralitas adalah isu langganan di setiap Pemilu atau Pilkada.
Dalam data kali ini, kata camat dan bupati menjadi paling dominan muncul. Surabaya dan Tangerang Selatan menjadi daerah paling banyak diperbincangkan terkait netralitas ASN. Sedangkan tokoh paling banyak disebut dalam isu ini adalah Agus Pramusinto, Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara, Presiden Joko Widodo dan Tito Karnavian sebagai Menteri Dalam Negeri. Sedangkan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menjadi lembaga paling banyak disebut terkait isu netralitas ASN dalam Pilkada 2020.
Surabaya dan Tangerang Selatan menarik perhatian karena salah satu calon yang bertarung adalah ASN. Di Surabaya, ada Eri Cahyadi yang sebelumnya menjabat Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko). Sedangkan di Tangerang Selatan, Benyamin Davnie yang sebelumnya wakil walikota kali ini maju sebagai calon walikota.
Gaffar juga membahas platform pelanggaran ASN, yang kini justru berpindah ke media sosial daripada isu penyalahgunaan fasilitas, kewenangan atau anggaran negara.
“Di internet sebenarnya ditemukan peluang menguatnya resiko tidak netralnya ASN. Di ruang inilah sering terjadi pelanggaran netralitas. Pesan yang disampaikan harus tegas kepada ASN agar menjaga jempol. Bahwa jempol bisa mengantarkan pada tindakan yang melanggar prinsip netralitas,” tambah Gaffar.
Dua Pihak Punya Peran
Ketua Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) Agus Pramusinto menyebut ada dua sudut pandang dalam hal ini, yang berasal dari ASN dan politisi. Kalangan ASN beranggapan, bahwa jika mereka tidak mendukung salah satu calon, maka ke depan karir mereka akan mandeg. Di sisi lain, kata Agus, para politisi yang dia temui mengatakan bahwa mereka tidak mau menyeret ASN dalam urusan dukung-mendukung. Namun, pada ASN itu sendiri yang ingin setor muka, dengan harapan jika calon yang didukungnya menang, kelak dia bisa memperoleh promosi jabatan.
“Sampai sekarang ini masih ada mispersepsi dalam pilkada. Nanti setelah selesai, akan ada politik balas budi dan politik balas dendam. Kalau yang didukung itu menang, dia dianggap berkeringat maka berhak untuk dapat promosi . Sebaliknya kalau tinggal diam dan netral, itu kira-kira akan ada balas dendam, tidak pernah berkeringat, ya tidak berhak untuk menduduki jabatan,” kata Agus.
Karena mispersepsi semacam itu, banyak ASN akhirnya menjual janji dukungan kepada calon yang berlaga di Pilkada. Agus memberi contoh, Kepala Dinas Pendidikan misalnya, menjanjikan dukungan dari seluruh guru dan keluarganya di seluruh wilayah kepada salah satu calon. Janji semacam ini disebut Agus sebagai klaim yang berlebihan, dan pada kenyataanya tidak ada.
Dukungan semacam itu diberikan sebab ASN menganggap kepala daerah adalah faktor utama kenaikan jabatan. Padahal, lanjut Agus, dalam konteks undang-undang nomor 5/2014 yang berlaku saat ini, manajemen ASN terkait promosi, mutasi, rotasi, dan pe-nonjob-an sudah diatur.
“Kepala daerah tidak bisa sewenang-wenang memberikan pe-nonjob-an tanpa prosedur. Promosi harus melalui proses panitia seleksi, ada macam-macam. Sehingga tidak ada alasan, terjadi politik balas budi dan balas dendam,” kata Agus.
Pengalaman KASN, lanjut Agus, jika ada pengisian 10 kursi jabatan, setidaknya hanya 1 atau 2 posisi saja yang berbau titipan kepala daerah. Tidak ada kepala daerah yang berani mempertaruhkan kinerjanya, dengan memasang ASN tidak kompeten meski dia pendukung secara politik.
Selama proses Pilkada, KASN telah menerima 857 laporan terkait netralitas ASN. Dari jumlah tersebut, 626 kasus sudah ditindaklanjuti oleh gubernur, walikota atau bupati. Jumlah 75 persen kasus sudah diberikan sanksi itu terhitung sangat tinggi, karena biasanya penindakan hanya dilakukan kurang dari 30 persen kasus. Jika kepala daerah tidak melakukan penindakan, pemerintah pusat dapat melakukannya dengan pemblokiran data sehingga kesulitan naik pangkat atau penundaan kenaikan gaji berkala.
Berbagai Bentuk Ketidaknetralan
Sutrisno Wati dari Bawaslu DIY menyebut, ketidaknetralan ASN menurut temuan mereka ada yang dilakukan secara sengaja atau tidak. Misalnya dalam kasus di media sosial, ada yang dilakukan sadar tetapi banyak juga yang karena ketidaktahuan. Bawaslu DIY sudah menerima cukup banyak laporan terkait dugaan ketidaknetralan ASN.
“Ada 218 dugaan pelanggaran yang dilakukan ASN dengan memberikan dukungan melalui media sosial. Bentuk pelanggaran kedua dari ASN adalah melakukan pendekatan atau mendaftarkan diri pada salah satu partai politik. Ada 104 dugaan kasus terkait hal ini,” kata Wati.
Selain itu, dugaan pelanggaran yang jumlahnya cukup tinggi di Yogyakarta adalah ASN yang mengikuti acara silaturahmi, sosialisasi atau bakti sosial pasangan calon atau partai politik. Wati memastikan, Bawaslu secara aktif sudah melakukan tindak lanjut terhadap laporan atau temuan dugaan ketidaknetralan ASN semacam itu.(*)
VOA Indonesia.