Oleh: Pranoto*
PIRAMIDA.ID- Sejak dalam kandungan seorang ibu, manusia telah dibekali seperangkat organ tubuh bernama otak, di mana di dalamnya terdapat ribuan bahkan jutaan sel saraf neuron guna menunjang fungsi otak sebagai alat berkumpulnya perintah-perintah organ tubuh yang lain. Ibarat sebuah perangkat komputer, otak manusia ialah Central Prosesing Unit (CPU).
Tentu penemuan-penemuan benda, aksi dan reaksi kimia, rumus-rumus dan penemuan mutakhir lainnya, tidak dapat dilepaskan dari tingkat intelegensi manusia. Teori ilmu pengetahuan klasik maupun modern, juga ditemukan dan kemudian diyakini sebagai sebuah kebenaran oleh manusia, tidak luput dari peranan otak dalam mencerna, menganalisa, bahkan menyimpulkan setiap gejala-gejala.
Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dalam keadaan yang sebaik-baiknya (Q.S. At Tin : 4). Dengan penemuan-penemuan yang beragam itu, otomatis manusia telah menciptakan budaya-budayanya yang beragam pula. Jika menurut pelajaran sejarah di sekolah, manusia purba belum sempurna dalam menutupi badannya, kini, kita hidup dalam balutan pakaian yang sempurna.
Bahkan saking sempurnanya, Wakil Presiden pun ikut berkomentar, kalau kita diharapkan jadi pusat fashion dunia. Wah.. wah.. Pak Kiyai sepertinya kepingin kita seperti kota Paris, ya? Tapi pak Kiayi, bukankah kita sudah punya Paris Van Java?
Kemajuan teknologi saat ini semakin cenderung kepada pemusatan sebuah basis data individu pada perangkat dan aplikasi tertentu. Seseorang dapat melakukan berbagai tindakan tanpa harus bertatap muka langsung, kecanggihan ini patut dihargai sebagai upaya panjang manusia dalam memudahkan dirinya, tetapi harus juga diwaspadai karena di balik kemudahan yang diciptakan terdapat ranjau-ranjau yang menjebak.
Tentu jebakan-jebakan itu telah dan akan kita rasakan, sebagai konsekuensi atas apa yang kita kerjakan. Hampir seluruh aspek kehidupan telah menanggung dampak atas pemahaman manusia yang “mendewakan” dirinya sendiri atas berbagai penemuannya. Secara sadar, manusia meyakini bahwa apa yang diperbuat telah sesuai dengan pemikiran dan gagasan yang terkadang dilegitimasi pakai embel-embel ilmiah.
Padahal, paham antroposentris seperti itu tidak selamanya dapat dibenarkan begitu saja.
Mungkin ini salah satu alasan mengapa dahulu para malaikat protes saat Tuhan berfirman, “Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sungguh, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. Al Baqarah ayat 30).
Manusia hendaknya harus percaya diri, atas segala potensi jasad dan akal yang telah dianugerahkan Tuhan. Kemampuan inilah yang tidak dimiliki makhluk lain, tetapi apakah atas dasar kemampuan dan kepercayaan diri itu lantas kita lalai dengan kemampuan-kemampuan mahluk lain atau bahkan kepada pemilik kemampuan sejati?
“Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung”. (Q.S Al Isra Ayat 37).
Kepercayaan diri yang seperti apa yang telah kita bangun hari ini? Jika kenyataannya kita sendiri yang membunuh kepercayaan itu? Di masa pagebluk, koruptor hanya perlu menangis dan menulis pledoi di pengadilan karena ia telah dihina, dihujat dan diumpat, kemudian diringankan hukumannya, padahal sebelumnya ia dengan sadar telah menggerogoti hak rakyatnya.
Kenyataan pahitnya, pagebluk tidak juga menyadarkan bahwa ada kekuatan lain di luar diri manusia dan kita masih bertahan pada egosentris, bahwa manusia mampu mengendalikan dan mengembalikan keadaan.
Dalam perspektif tertentu, antroposentrisme mendorong manusia bersikap subjektif. Hal ini bisa saja dilandasi atas kepercayaan diri yang berlebihan atau kekuasaan atas manusia lain. Dengan kekuasaan itu manusia kemudian beranggapan mampu secara utuh berdasarkan pemikirannya sendiri, dapat menyelesaikan beragam persoalan.
“Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah adalah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (Q.S. Al Ankabut : 41).
Budayawan Emha Ainun Najib berpendapat, kekalahan paling memerosotkan manusia pada derajat hidup yang paling rendah, terjadi ketika orang yang kalah merasa menang hanya karena perutnya kenyang.(*)
Penulis merupakan Konsultan Hukum Pada Kantor Bantuan Dan Kajian Hukum Utilitarians Righibran.